Mengawal Kepentingan dan Suara Pemilih
”Kompas” berbincang dengan delapan perwakilan masyarakat sipil yang kerap bersentuhan dengan isu pemilu dan demokrasi untuk menanyakan ekspektasi mereka terhadap Pemilu 2024, serta upaya mereka mewujudkannya.
Ibarat meja, sejatinya, sebuah pemilihan umum yang demokratis dapat dikatakan memiliki ”kaki-kaki” penting yang harus seimbang untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Selain penyelenggara pemilu, para pemilih, dan peserta pemilu, juga ada ”kaki” keempat yang berperan penting mengawasi, sekaligus mengadvokasi agar pemilu berjalan dalam koridor yang benar, yakni masyarakat sipil yang intens mengawal isu-isu pemilu.
Kompas berbincang dengan sejumlah elemen masyarakat sipil untuk mengetahui ekspektasi dan kontribusi mereka pada Pemilu 2024. Sebagian besar menaruh perhatian pada kepentingan pemilih yang belum diakomodasi peserta pemilu. Bahkan, situasi belakangan memunculkan kekhawatiran potensi munculnya manipulasi suara.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta berharap, Pemilu 2024 berlangsung secara demokratis. Seluruh pihak mulai dari peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan pemilih memastikan proses pemilu hingga terbentuknya parlemen memenuhi standar yang baik. Mulai dari peserta pemilu memberikan ide dan gagasan kepada pemilih, penyelenggara yang independen, serta pemilih bisa menggunakan hak pilihnya sesuai keinginan, tanpa ada paksaan maupun politik uang dari peserta pemilu.
”Dengan demikian, hasil Pemilu 2024 benar-benar menggambarkan kepentingan dan kebutuhan pemilih,” ujarnya.
Kaka melihat gaung pemilihan presiden sangat mendominasi wacana di Pemilu 2024. Elite politik cenderung mengisi ruang publik dengan kontestasi elektoral berupa penentuan bakal capres-cawapres. Belum banyak yang mengadu gagasan. Sementara interaksi antara pemilih dengan bakal caleg justru sangat rendah karena parpol lebih mengikuti genderang besar pencapresan.
Di tengah situasi tersebut, KIPP berkomitmen mengadvokasi kebutuhan pemilih agar lebih berdaya. Pihaknya terus membangun wacana publik agar terbangun kesadaran pemilih agar pilihannya rasional dan berdasarkan kepentingan.
”Pemilih muda menjadi target utama kami karena menjadi investasi jangka panjang dalam memberikan pendidikan pemilih,” tutur Kaka.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan berharap, penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan dengan damai dan lancar. Proses pergantian kekuasaan harus dilaksanakan sebagaimana tahapan dan jadwal yang sudah ditetapkan karena hal itu merupakan amanat konstitusi. Namun, hingga empat bulan menuju pemungutan suara 14 Februari 2024, ia menilai narasi-narasi yang dibangun peserta pemilu masih belum kuat. Narasi yang digaungkan parpol, bakal capres-cawapres, ataupun bakal caleg masih cenderung normatif. Adu gagasan masih belum terlihat, justru yang menguat adalah kalkulasi parpol untuk memenangkan pilpres.
Di tengah pendeknya masa kampanye selama 75 hari, pemilih membutuhkan informasi mengenai para peserta pemilu yang akan dipilih di tempat pemungutan suara. Masa sosialisasi yang panjang cenderung tidak digunakan peserta pemilu ataupun calon peserta pemilu untuk memperkenalkan diri ke pemilih. Gaung politik gagasan di ruang publik cenderung sayup, bahkan hanya didominasi pertarungan pilpres. Padahal, Pemilu 2024 tidak hanya memilih presiden-wapres, melainkan ada lima jenis pemilihan.
Oleh karena itu, lanjut Erik, SPD berkomitmen mencanangkan jubir warga ketika masa kampanye. Pemilih sebagai salah satu elemen penting pemilu harus berani mengidentifikasi kepentingannya kepada peserta pemilu. Dengan demikian, pemilih tak sekadar jadi obyek suara dalam kontestasi, melainkan bagian utama dalam proses demokrasi.
”Stigma buruk politik membuat publik apolitis dan bersikap bodo amat. Padahal, pemilih bisa menentukan siapa yang menduduki jabatan politik lewat pemilihan,” ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpendapat, Pemilu 2019 menyisakan persoalan suara tidak sah yang cukup tinggi. Artinya, ada problem besar masyarakat tidak mampu mengikuti proses pemilu secara substantif. Pemilih memang menggunakan hak suara ke tempat pemungutan suara dengan gembira, tetapi hal itu sekadar melaksanakan kebiasaan lima tahunan.
Pendidikan pemilih
Namun, antusiasme penggunaan hak pilih tersebut tidak diimbangi narasi tentang gagasan, visi, dan misi peserta pemilu. Peserta pemilu masih belum aktif menyebarkan ide sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya sebagai sumber informasi. Padahal, informasi yang diberikan langsung oleh peserta pemilu melalui berbagai media bisa menjadi titik awal mengenali calon pemimpin.
Pemilih muda menjadi target utama kami karena menjadi investasi jangka panjang dalam memberikan pendidikan pemilih.
”Ruang publik gaduh tentang kontestasi pilpres dan minim gagasan dari caleg. Terlebih, sekarang KPU dan Bawaslu minim informasi,” ucapnya.
Oleh karena itu, JPPR berkomitmen memperkuat pendidikan pemilih. JPPR menggelar sosialisasi mengenai pendidikan pemilih dan pelatihan memantau di sekolah-sekolah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi. Anggota JPPR juga membuat pelatihan sadar konten bersih serta membuat forum warga muda untuk mencegah disinformasi dan misinformasi di kalangan pemilih muda.
Anggota JPPR yang tersebar di berbagai daerah mengajak pemilih untuk ikut mengawal suara di tempat pemunguran suara (TPS), hingga kecamatan. Pihaknya juga menginformasikan berbagai modus kecurangan pemilu agar pemilih bisa melindungi suaranya tanpa ada manipulasi. JPPR juga akan memantau pemungutan suara di TPS lokasi khusus, seperti lembaga pemasyarakatan, pondok pesantren, panti asuhan, dan daerah tambang.
Keprihatinan lain disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi) Jerry Sumampouw yang menilai pendekatan dalam penyelenggaraan pemilu lebih berfokus pada aspek administratif dan prosedural. Padahal, penyelenggaraan pemilu juga harus bisa memastikan aspek substansi tercapai.
”Memang teknis prosedural penting, tetapi belajar dari pemilu selama ini, ada ruang-ruang kosong yang sering kali jauh dari prinsip serta nilai-nilai kepemiluan dan demokrasi, tetapi karena secara prosedural dianggap sudah selesai, maka itu sering kembali terjadi,” katanya.
Baca juga: Hasyim Asy’ari: Menjembatani Pemilih dengan Partai Politik
Baca juga: Rahmat Bagja: Mengawasi Pemilu Tanpa Pandang Bulu
Baca juga: Heddy Lugito: Membawa Integritas Penyelenggara Pemilu di Level Tertinggi
Ia mencontohkan, bakal capres-cawapres dan bakal caleg banyak melakukan sosialisasi dengan memasang baliho dan mengunjungi konstituen. Dalam kegiatan tersebut, sosialisasi sejatinya tidak jauh berbeda dengan kampanye karena bertujuan untuk mempengaruhi pemilih. Begitu pula dengan bakal caleg yang tidak memberikan latar belakang informasi yang memadai kepada pemilih.
Mereka cenderung memberikan informasi yang minim sebagai bagian untuk melaksanakan kewajiban menginformasikan diri ke pemilih. Padahal, substansi dari informasi yang diberikan masih jauh dari kebutuhan pemilih.
Selain itu, kecenderungan melihat pemilu sebagai sebuah prosedur juga tampak dari sikap KPU dalam ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan. Sejak awal, KPU mestinya memahami substansi keterwakilan perempuan merupakan kebijakan afirmasi. Namun, KPU berkukuh tak merevisi Peraturan KPU Pencalona Legislatif meskipun sudah ada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan pengaturan yang merugikan perempuan tersebut.
”Kalau pemilu sekadar memenuhi prosedur, publik bisa sinis terhadap hasil pemilu dan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap hasil pemilu,” kata Jerry.
Lebih jauh, ia memprediksi tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi hal yang patut diwaspadai. Sebab, ada potensi suara yang diberikan pemilih dimanipulasi oleh kolaborasi penyelenggara dan peserta. Padahal, suara yang diberikan di TPS merupakan mandat yang harus dikawal hingga terpilihnya para wakil rakyat hasil pemilihan.
Oleh sebab itu, TePI berkomitmen mengajak sebanyak mungkin pemilih untuk ikut mengawal suara. Perlu ada data pembanding hasil penghitungan suara dari TPS dengan rekapitulasi yang dilakukan KPU. Sistem pengawasan berbasis daring sedang disiapkan untuk memudahkan masyarakat aktif melaporkan hasil pengawasan dan pengawalan suara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, KPU tidak bisa selalu menggunakan dalih kepercayaan publik yang tinggi untuk menunjukkan kinerja dalam melaksanakan tahapan pemilu. Sebab, tahapan pemilu masih setengah perjalanan, bahkan tahapan-tahapan krusial belum dimulai. Kepercayaan publik semestinya ditunjukkan dengan kerja yang makin transparan dan akuntabel agar keraguan publik terhadap independensi dan kemandirian KPU bisa dipatahkan.
Di tengah keraguan tersebut, pengawalan dari banyak pihak menjadi sangat dibutuhkan. Seluruh tahapan pemilu, tidak hanya saat pemungutan suara, harus mendapat perhatian parpol maupun pemilih. Sebab, pemilu merupakan hajat seluruh warga negara sehingga semua pemangku kepentingan mesti mengawal dengan maksimal.
Integritas
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay juga mengatakan, Netgrit memiliki ekspektasi tinggi agar kualitas Pemilu 2024 meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya. Namun, dalam perjalanannya muncul keraguan akibat faktor penyelenggara yang menunjukkan kecenderungan tidak mandiri dan tidak berintegritas. Beberapa di antaranya terlihat pada tahapan verifikasi parpol dan penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan.
Penyelenggara yang tidak berintergitas dikhawatirkan berdampak pada suara pemilih yang tidak murni. Sebab, ada potensi manipulasi suara yang dilakukan penyelenggara pemilu. Tindakan manipulasi itu bisa mencederai pemilu dan berdampak pada kepercayaan terhadap hasil pemilu.
Sayangnya, dua lembaga pemilu lainnya, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang memiliki kewenangan memperbaiki situasi ini tidak mengambil peran mengembalikan KPU pada koridor yang semestinya. Karena itu, masyarakat sipil dengan segala keterbatasannya terus berupaya mengawal tahapan pemilu dilaksanakan dengan berintegritas.
”Saya sangat prihatin dengan situasi ini, dan kami di Netgrit berusaha keras untuk mengembalikan kualitas pemilu berjalan baik sehingga ekspketasi kami masih bisa tercapai,” ujarnya.
Hadar mengatakan, Netgrit berkomitmen tidak akan berhenti melakukan upaya advokasi demi memastikan ekspektasi pemilu berkualitas bisa tercapai. Netgrit akan terus mengadukan penyelenggara pemilu yang diduga melanggar etik dalam menjalankan tugasnya.
”Presiden juga semestinya ikut memastikan penyelenggara pemilu menjalankan tugasnya dengan berintegritas,” tuturnya.
Ketua Umum Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Indonesia Muh Afit Khomsani berharap, pelaksanaan seluruh tahapan pemilu berlangsung jujur dan adil. Karena itu, tiga pilar utama pemilu harus menjalankan perannya dengan baik. Penyelenggara pemilu mesti bersikap independen, berintegritas, dan mandiri. Peserta pemilu tidak boleh mengintervensi penyelenggara serta pemerintah dan birokrasi harus netral. Partisipasi pemilih harus tinggi dan berkualitas.
Sayangnya, Netfid melihat salah satu pilar pemilu yakni pemilih masih belum mendapatkan pendidikan politik yang memadai. Meskipun partisipasi pemilih dalam beberapa pemilu terakhir tinggi, pihaknya menemukan sebagian pemilih belum menentukan pilihannya sesuai rasionalitas dan hati nurani. Ada faktor politik uang yang membuat pemilih menentukan pilihannya.
”Bahkan, informasi yang dimiliki pemilih tentang pemilu masih belum optimal. Riset Netfid menemukan ada sekitar 9 persen yang tidak tahu kapan hari pemungutan suara. Padahal, itu adalah hal paling mendasar,” ujar Afit.
Karena itu, Netfid berkomitmen melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Pihaknya mulai menyiapkan relawan pemantau pemilu untuk memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung langung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, secara prosedur Pemilu 2024 berlangsung dengan baik, tetapi secara substansi, kelompok yang memenangkan pilpres mulai terlihat. Padahal, hasil pemilu seharusnya tidak diketahui. Situasi ini akhirnya mirip dengan pemilu di masa Orde Baru yang pemenangnya sudah bisa diketahui bahkan sebelum pemungutan suara.
”Secara umum, kelompok yang akan memenangkan pemilu sudah ditebak, yakni bagian dari status quo,” ucapnya.
Di sisi lain, LP3ES melihat pemilu belum diisi pembahasan nasib warga negara. Sekalipun ada suara dari masyarakat yang meminta pemenuhan hak-hak itu, ada kecenderungan suara-suara publik diberangus. Situasi ini menunjukkan adanya kemunduran demokrasi.
Karena itu, LP3ES terus menyuarakan hal-hal penting warga negara yang belum menjadi perhatian peserta pemilu. Hal ini agar peserta pemilu memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dirasakan masyarakat. Pihaknya terus melakukan riset untuk menyuarakan kebutuhan tersebut ke negara agar menjadi perhatian pemerintah. ”Kajian yang kami lakukan diberikan kepada pemerintah untuk memengaruhi kebijakan,” ucapnya.