Penghapus Nilai Demokrasi Itu Bernama Dinasti Politik
Semua orang memiliki hak yang sama dalam berpolitik. Nilai demokrasi terancam terhapus ketika ada pihak mendapat keistimewaan tertentu di tengah kontestasi politik yang semestinya berjalan adil.
Melintasi gerbang lengkung di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto tampak bergegas menuju mobilnya, Selasa (10/10/2023). Airlangga yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut baru saja mengikuti rapat.
Pada hari itu ada beberapa rapat internal yang digelar di Istana Kepresidenan, termasuk menyangkut lumbung pangan. Melihat Airlangga keluar, para wartawan yang menunggu di pilar, area luar ruangan yang biasanya menjadi lokasi penyampaian keterangan pers, pun segera mengerumuninya.
Belakangan, wacana duet Prabowo-Gibran untuk maju di Pemilihan Presiden 2024 mencuat di tengah rencana MK membacakan putusan mengenai pengujian konstitusionalitas syarat usia capres dan cawapres.
Baca juga: Putusan Uji Materi Usia Capres-Cawapres Tinggal Tunggu Hari
”Pak, nanya soal politik, dong, Pak,” kata seorang jurnalis.
”Apa itu?” jawab Airlangga sambil tak menghentikan langkah kakinya menuju mobil.
Jurnalis itu pun menanyakan pertimbangan Golkar perihal nama Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, yang masuk sebagai salah satu calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto, bakal calon presiden (capres) yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju di mana Airlangga merupakan salah satu pimpinan partai politik yang tergabung dalam koalisi itu.
Airlangga pun menjawab singkat. ”Ya, kita tunggu dari MK (Mahkamah Konstitusi),” ujarnya.
Belakangan, wacana duet Prabowo-Gibran untuk maju di Pemilihan Presiden 2024 mencuat di tengah rencana MK membacakan putusan mengenai pengujian konstitusionalitas syarat usia capres dan cawapres. Ada sejumlah gugatan terkait syarat usia capres-cawapres itu yang diajukan oleh berbagai kalangan, baik itu partai politik maupun perseorangan. Salah satu permohonan yang diajukan adalah agar syarat usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun. Adapun Gibran saat ini berumur 36 tahun.
Tak terbantahkan, di ranah politik dan hukum, salah satu yang kini ditunggu banyak pihak adalah putusan MK terkait pengujian konstitusionalitas syarat usia capres-cawapres. Putusan mengenai syarat usia capres-cawapres tersebut menurut rencana akan dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023.
Baca juga: Konsistensi MK Dinanti
Syarat usia capres-cawapres itu diatur dalam Pasal 169 Huruf q di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu menyebutkan antara lain usia capres-cawapres minimal 40 tahun. Pihak yang mengajukan uji materi ke MK terkait dengan pasal itu adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, lima kepala daerah, dan sejumlah pihak lainnya.
Salah satu pemohon tersebut meminta MK menurunkan syarat usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.
Kembali ke kompleks Istana Kepresidenan, para wartawan pun mencoba mencari tanggapan dari figur lain perihal disebut-sebutnya nama Gibran sebagai pendamping Prabowo. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, yang juga menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), pun dianggap sebagai orang yang tepat untuk ditanya perihal nama Gibran yang menguat menjadi cawapres pendamping Prabowo. Seperti halnya Golkar, PAN merupakan salah satu dari sejumlah partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.
”Gibran, kan, keren. Wali kota sukses. Apa-apa sukses. Tapi, saya ngusulkan Pak Erick (Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir), kan? Iya, gitu,” kata Zulkifli seusai mengikuti rapat di Istana Kepresidenan.
Baca juga: PAN Tetap Usung Erick Thohir sebagai Bakal Calon Wakil Presiden
Pandangan tiap orang atau pihak memang beragam, tak terkecuali menyangkut nama-nama yang digadang menjadi capres dan cawapres pada Pilpres 2024. Beragam pula pandangan menyangkut proses-proses politik dan hukum yang kini tengah berjalan, khususnya proses pengujian di MK menyangkut ketentuan usia capres-cawapres.
Pandangan Presiden Jokowi
Lalu bagaimana pandangan Presiden Joko Widodo terkait isu-isu tersebut? Jawaban pertanyaan ini kiranya dapat didekati dari penelusuran terhadap pernyataan Jokowi ketika menjawab pertanyaan seputar isu tersebut.
Berdasarkan catatan Kompas, perihal uji materi usia capres-cawapres di MK, yakni agar batas minimal diturunkan menjadi 35 tahun, ini sempat ditanyakan kepada Jokowi saat mengunjungi Pasar Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, pada 4 Agustus 2023.
Saat itu Presiden menuturkan bahwa dirinya tidak mengurusi soal tersebut. ”Saya enggak mengintervensi, itu urusan yudikatif,” katanya.
Adanya dugaan bahwa uji materi itu untuk meloloskan Gibran, yang merupakan anak sulungnya, menjadi pasangan Prabowo, Jokowi pun menolak berandai-andai. ”Jangan menduga-duga. Jangan berandai-andai,” jawabnya menanggapi pertanyaan tersebut.
Baca juga: Prabowo Klaim Duet dengan Gibran Aspirasi Publik
Di tempat terpisah, pada sesi keterangan pers pada Hari Konstitusi sekaligus Hari Ulang Tahun Ke-78 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) di Gedung MPR RI, Jakarta, Jumat (18/8/2023), pertanyaan senada juga ditujukan kepada Presiden.
Namun, saat itu pertanyaannya adalah terkait tanggapan Presiden mengenai pernyataan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani terkait peluang Gibran sebagai pendamping Ganjar Pranowo apabila gugatan batasan usia capres-cawapres menjadi 35 tahun dikabulkan MK. Menanggapi pertanyaan tersebut, Jokowi menjawab singkat sambil tersenyum, ”Tanyakan Bu Puan.”
Konsep dinasti versus nilai demokrasi
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, Feri Amsari, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (11/10/2023), mengatakan, dinasti politik adalah dinasti yang memberikan karpet merah pada keluarga tertentu untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan politik. Persaingannya berbasis kepada kepentingan keluarga tertentu yang menguasai atau mendominasi wilayah atau kekuasaan tertentu.
”Kalau kita lihat, ya, ruang itu sudah sangat terasa, tidak hanya berada di daerah-daerah tertentu. Sampai sekarang kita bisa lihat kebiasaan dinasti politik itu muncul di tingkat nasional, terutama dalam keluarga Istana,” kata Feri.
Kalau kemudian syarat suatu proses demokrasi diubah untuk memberi jalan kepada keluarga istana atau elite kepentingan tertentu, itulah yang disebut dinasti yang merusak.
Ketika sistem pengisian jabatan berbasis keluarga, menurut Feri, demokrasi menjadi kehilangan nilai. Hal ini karena konsep dinasti adalah konsep kerajaan yang menempatkan keluarga bangsawan dalam posisi-posisi yang signifikan. Proses ini berjalan secara garis keturunan.
Sebaliknya, persaingan dalam konsep demokrasi harus fair atau adil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi jabatan atau posisi signifikan. Kesempatan ini termasuk untuk keluarga yang mempunyai kepentingan atau elite politik.
”Tidak ada salahnya anak presiden punya kesempatan. Tetapi jangan kesempatan itu diistimewakan sehingga menutup kesempatan yang lain. Itu sebabnya syarat-syarat menjadi penting. Kalau kemudian syarat suatu proses demokrasi diubah untuk memberi jalan kepada keluarga istana atau elite kepentingan tertentu, itulah yang disebut dinasti yang merusak,” kata Feri.
Ada berbagai syarat, semisal menyangkut syarat ketentuan orang masuk partai politik atau aturan mengenai batasan berapa tahun seseorang bisa menjadi ketua umum partai politik. ”Misalnya, dia harus mengabdi dulu lima atau tujuh tahun di partai baru (kemudian) bisa dicalonkan” ujar Feri.
Baca juga: Antara Partai Kader dan Partai Massa
Atau, untuk dapat mengikuti pemilu, maka seseorang harus mengabdi dulu tiga tahun di partai agar bisa menjadi peserta pemilu di tingkat kabupaten kota. ”(Harus mengabdi) tujuh tahun di tingkat provinsi, tujuh tahun untuk bisa jadi calon DPR RI, dan mungkin sepuluh tahun mungkin untuk bisa jadi calon presiden. Ini juga untuk perlindungan partai agar jauh lebih baik, agar kemudian orang tidak diberikan keistimewaan,” kata Feri.
Adapun Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo saat dimintai pandangan menuturkan, dinasti politik yang kerap dikaitkan dengan terminologi beternak kekuasaan itu adalah perilaku untuk memasukkan keluarga ke dalam posisi-posisi penting di kekuasaan. ”Dan, (dinasti politik) ini bukan hanya merusak demokrasi, menurut saya, melainkan juga merupakan pembusukan demokrasi karena mencederai prinsip kesetaraan dan kesamaan. Sebab, dalam perilaku dinasti politik ada privilege, fasilitas, dan koneksi,” katanya.
Dari sisi kelembagaan, independensi dan posisi MK dalam menjalankan marwah sebagai penjaga konstitusi dan prinsip-prinsip bernegara kini menjadi hal yang dipertaruhkan. ”Tapi yang utama juga adalah bagaimana mengembalikan posisi kekuatan masyarakat sipil untuk dapat menjalankan fungsi check and balance dalam dinamika demokrasi,” ujar Ari.
Secara kelembagaan, lembaga demokrasi di negara kita secara prosedural baik karena sudah ada semua.
Menurut Ari, kekuatan kelompok kepentingan, entah itu politik atau modal, yang sangat dominan menguasai kelembagaan demokrasi dapat menghambat fungsi yang semestinya diemban. ”Secara kelembagaan, lembaga demokrasi di negara kita secara prosedural baik karena sudah ada semua. Tapi memang, katakanlah, menjadi disfungsi jika penempatan posisi orang-orangnya atau dalam relasi kelembagaannya dikuasai kelompok kepentingan,” katanya.
Penguasaan secara amat dominan oleh kelompok kepentingan, baik itu oligarki, partai politik, maupun kelompok modal, dapat menjadikan lembaga demokrasi tidak kemudian membela atau menjalankan praktik bernegara dan berpolitik dalam konteks kepentingan rakyat. Di titik ini, demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat pun menghadapi ancaman serius.