Masyarakat Sipil Nilai Revisi UU ASN sebagai Langkah Mundur Reformasi Sektor Keamanan
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan revisi UU ASN yang baru saja disetujui di DPR itu bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan setelah reformasi 1998.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan tentang prajurit TNI dan anggota Polri aktif bisa mengisi jabatan aparatur sipil negara tertentu dalam revisi Undang-Undang ASN dinilai sebagai langkah mundur terhadap semangat reformasi sektor keamanan. Masyarakat sipil meminta pembentuk UU membatalkan pasal tersebut. Sementara itu, pemerintah mengatakan ada perbaikan prinsip resiprokal atau timbal balik dalam aturan tersebut.
Dalam Pasal 19 draf Revisi UU ASN versi 26 September 2023 Ayat (1) tertulis bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kemudian, Pasal 19 Ayat (3) menjelaskan pengisian jabatan tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri itu dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan tertentu dan tata cara pengisian jabatan ASN itu diatur dalam peraturan pemerintah.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra, Selasa (10/10/2023), mengatakan, revisi UU ASN yang baru saja disetujui di DPR itu bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan setelah reformasi 1998. Selain itu, hal ini juga bertentangan dengan UU TNI dan UU Polri.
Pasal 28 Ayat (3) UU Polri secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Sementara itu, Pasal 47 Ayat (1) UU TNI juga mengatur prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun, hasil kajian Imparsial menemukan sudah ada 2.569 prajurit TNI aktif yang duduk di jabatan sipil. Dari jumlah itu, 120 orang duduk di jabatan sipil di luar yang diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU TNI. Norma itu mengatur bahwa prajurit TNI aktif hanya boleh menduduki jabatan di 10 bidang kementerian/lembaga.
”Revisi UU ASN seolah-olah ingin melegalisasi praktik ’ilegal’ yang bertentangan dengan undang-undang itu. Sebelumnya kami khawatir itu akan dilakukan di revisi UU TNI, ternyata kami semua kecolongan di revisi UU ASN,” kata Ardi.
Ia mempertanyakan pembuat UU yang tidak menyelaraskan antara satu aturan dan aturan yang lain sehingga aturan baru justru kontradiktif dengan aturan yang lama. Padahal, pemberian jabatan sipil kepada TNI/Polri aktif juga jelas-jelas bertentangan dengan TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Selain itu, juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri sebagai aparat pertahanan dan keamanan NKRI.
”Revisi UU ASN justru memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di jabatan sipil,” kata Ardi.
Kemunduran
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras Andi Muhammad Rezaldy menuturkan, revisi UU ASN sealah mengembalikan lagi Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Penempatan TNI/Polri sebagai ASN dikhawatirkan justru akan menempatkan kedua institusi itu menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Sebab, jika merujuk pada konstitusi, TNI dimandatkan untuk mengurusi bidang pertahanan, sedangkan kepolisian bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Bukan urusan birokrasi dan pelayanan publik.
”Di tengah tantangan pertahanan dan keamanan yang semakin berat dalam konteks global, kedua institusi ini malah diperbolehkan menduduki jabatan sipil. Alih-alih fokus pada tupoksi di sektornya masing-masing,” kata Andi.
Ia menilai muatan revisi UU ASN yang telah disahkan justru merupakan kemunduran pemahaman dengan doktrin reformasi sektor keamanan. Revisi itu akan memperkuat fenomena militerisasi sipil. Ia meminta DPR membatalkan pengesahan revisi UU ASN, terutama pasal yang mengatur prajurit TNI dan anggota Polri aktif bisa menempati jabatan ASN tertentu.
Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo, diminta tidak menandatangani dan tidak mengundangkan revisi UU ASN sampai muatan Pasal 19 itu dicabut. ”Ini demi menjaga dan menjamin profesionalitas aparat keamanan dalam tugas keamanan pertahanan negara,” tegas Andi.
Revisi UU ASN justru memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di jabatan sipil.
Senada, Ardi Manto juga meminta agar pasal tersebut dibatalkan karena jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI dan UU Polri.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Mohammad Averrouce mengatakan, pasal mengenai prajurit TNI dan Polri bisa menduduki jabatan sipil tertentu sebenarnya sudah ada sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Dalam revisi UU ASN ini, justru ada pengaturan tentang asas resiprokal atau timbal balik karena ASN bisa menduduki jabatan di TNI dan Polri sepanjang memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi.
”Misalnya, Deputi Sumber Daya Manusia itu, kan, ilmu umum, bukan khusus TNI dan Polri, bisa diambil dari ASN. Begitu juga di TNI/Polri bisa jadi dibutuhkan penyidik yang ahli kimia karena perkembangan zaman. Ini disebut demiliterisasi,” terang Averrouce.
Terkait dengan jabatan ASN tertentu yang bisa dimasuki TNI/Polri, ia belum mengetahui detailnya karena saat ini draf UU yang disetujui di DPR sedang dimintakan tanda tangan kepada Presiden Joko Widodo dan diberi nomor pada lembaran negara. Aturan pelaksanaan yang lebih teknis juga akan diatur dalam peraturan pemerintah yang penyusunannya akan melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Averrouce juga menampik spekulasi bahwa revisi UU ASN dibuat untuk memberikan jabatan dan posisi bagi perwira tinggi dan menengah Polri yang tidak memiliki jabatan struktural. Menurut dia, pengisian jabatan sipil oleh TNI/Polri itu akan dilakukan dengan sistem yang sangat selektif dan terbatas. Seleksi juga memperhatikan urgensi kebutuhan jabatan dan kompetensi setiap individu.
”Sifat resiprokal ini yang dijaga karena menjadi salah satu agenda dalam transformasi SDM aparatur dalam lingkup pengembangan talenta dan karier,” katanya.