Diwarnai ”Dissenting Opinion”, MK Tetapkan UU Cipta Kerja Konstitusional
MK menyatakan dapat memahami DPR membutuhkan waktu yang cukup untuk mengkaji Perppu Cipta Kerja sebelum menerima dan menetapkannya menjadi undang-undang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akhirnya menyatakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang konstitusional. Namun, putusan itu tidak bulat karena ada empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
MK menolak lima permohonan uji formil UU No 6/2023 yang diajukan oleh sejumlah serikat pekerja dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023). Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut molor dari jadwal semula pukul 13.00 dan baru dimulai pukul 14.24 WIB. Anwar meminta maaf atas keterlambatan itu dan mengungkapkan ada kendala teknis yang membuat persidangan tidak dapat dilakukan secara tepat waktu.
Uji formil UU No 6/2023 diajukan lantaran para pemohon menilai proses penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU tidak sesuai dengan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur, persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberikan pada masa persidangan berikutnya. Presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 dan mengajukannya kepada DPR pada 9 Januari 2023 atau pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Namun, DPR baru menyetujui RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU pada 21 Maret 2023, bertepatan dengan Masa Persidangan IV 2022-2023.
Para pemohon mendalilkan, seharusnya persetujuan DPR ditetapkan paling lambat pada Masa Persidangan III 2022-2023. Hal ini merujuk pada Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur persetujuan DPR diberikan pada masa sidang berikutnya sejak perppu diajukan ke DPR.
Tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-membuang waktu ( wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan.
MK menilai seluruh dalil pemohon tidak beralasan. MK pun menyatakan, dalam tataran implementasi, proses pembentukan UU yang berasal dari perppu memiliki perbedaan satu sama lain. Sebab, tiap-tiap perppu memiliki karakter yang tentu berbeda. Ini terutama terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules).
MK juga menyatakan, dapat memahami DPR membutuhkan waktu yang cukup untuk membahas dan mengkaji Perppu Cipta Kerja. Ini karena perppu tersebut memiliki cakupan substansi pengaturan yang luas, yaitu 78 UU dari berbagai sektor.
”Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU No 6/2023 yang memerlukan dua kali masa sidang setelah penetapan Perppu No 2/2022, yaitu masa sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-membuang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan,” kata hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh saat membacakan pertimbangan.
Bukan hanya itu, MK juga menyatakan partisipasi bermakna merupakan hal yang wajib dilakukan pada seluruh tahapan pembentukan UU. Namun, menurut MK, pelaksanaan partisipasi bermakna dinilai sudah tidak relevan lagi dalam proses pemberian persetujuan RUU yang berasal dari perppu.
Pendapat berbeda
Kendati menetapkan UU No 6/2023 konstitusional, tidak semua hakim konstitusi menyatakan hal yang sama. Empat dari sembilan hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Keempat hakim itu adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Secara terpisah, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zaenal Arifin Mochtar, menilai, pertimbangan MK rancu. ”Isunya juga bukan tentang wasting time, melainkan soal bagaimana menanggapi konsep kegentingan. Makanya harus cepat,” ungkap Zainal.