Jelang Tenggat Penggantian Bakal Caleg, Dua Soal Mendesak Dituntaskan
Persoalan pertama, belum direvisinya peraturan KPU terkait keterwakilan caleg perempuan, padahal MA telah meminta KPU merevisinya. Persoalan kedua, belum adanya putusan uji materi terkait pencalonan mantan narapidana.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU No 10/2023 di Kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat sipil mendesak Komisi Pemilihan Umum untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung terkait kuota calon anggota legislatif perempuan. Tak hanya itu, mereka juga mendesak Mahkamah Agung untuk segera menyelesaikan uji materi peraturan KPU terkait pencalonan mantan narapidana. Kedua hal itu penting untuk segera diselesaikan karena tidak lama lagi daftar calon anggota legislatif ditetapkan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, Senin (25/9/2023), memasuki tahap akhir tahapan pencalonan anggota legislatif, Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya sudah merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, utamanya Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2022 terkait penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan, dengan putusan Mahkamah Agung.
Sejak akhir Agustus lalu, Mahkamah Agung (MA) telah memerintahkan KPU mencabut pasal dimaksud karena bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Aturan yang diperintahkan dicabut yakni terkait penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap daerah pemilihan. Apabila angka pecahan dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Adapun jika angka pecahan dua tempat desimal di belakang koma bernilai 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Menurut Fadli, tidak sulit bagi KPU untuk merevisi norma di PKPU No 10/2022 yang dibatalkan MA. Sebab, KPU hanya perlu merevisi satu norma terkait penghitungan 30 persen keterwakilan bakal caleg perempuan. Terlebih, amar putusan sudah diberikan MA ke KPU sejak 8 September sehingga ada waktu yang memadai untuk membuat aturan peralihannya. Pengabaian KPU untuk merevisi PKPU No 10/2022 merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum.
Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat memberikan keterangan pers seusai audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) di Kantor MK, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Lebih jauh, keengganan KPU tidak segera merevisi mengakibatkan implementasi putusan MA sulit dilakukan. Sebab, waktu terakhir bagi partai politik untuk mengganti bakal caleg di subtahapan pencermatan rancangan daftar calon tetap (DCT) sudah berlangsung pada 24 September hingga 3 Oktober. Jika revisi dikeluarkan setelah tahapan tersebut, tidak akan bisa diimplementasikan karena dapat mengganggu tahapan pemilu.
”Itikad baik KPU untuk merevisi PKPU No 10/2022 sudah tidak ada, padahal putusannya sudah keluar hampir satu bulan yang lalu,” ujar Fadli.
Pencalonan mantan narapidana
Selain terkait kuota keterwakilan caleg perempuan, kelompok masyarakat sipil juga mengkritisi MA yang belum juga memutus uji materi syarat pencalonan mantan terpidana yang diatur dalam PKPU No 10/2022 dan PKPU No 11/2022 tentang Pencalonan Anggota DPD.
Padahal, usia perkara tersebut sudah 50 hari atau melebihi batas waktu penyelesaian pengujian PKPU selama 30 hari yang ditetapkan dalam Pasal 74 Ayat (4) UU Pemilu.
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kedua dari kanan) dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (kanan), saat bersama beberapa perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih keluar dari Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (12/6/2023). Kedatangan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih ini untuk mengajukan uji materi pasal terkait pencalonan mantan narapidan dalam peraturan KPU.
Fadli menilai, sikap yang dilakukan KPU dan MA untuk tidak segera menyelesaikan polemik pencalonan anggota legislatif menunjukkan kepatuhan terhadap hukum pemilu yang rendah. Keduanya dinilai tidak menjaga norma hukum secara konsisten, bahkan menimbulkan preseden buruk terhadap prinsip kepastian hukum dalam pemilu. Situasi tersebut bisa membuat legitimasi proses dan hasil pemilu lemah.
”Pemilu 2024 dihadapkan pada rendahnya kepatuhan terhadap norma hukum pemilu,” tuturnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menambahkan, MA telah melanggar UU Pemilu karena tidak mematuhi batas waktu maksimal pengujian PKPU. Pelanggaran tersebut akan membuat caleg yang seharusnya tidak memenuhi syarat bisa berkontestasi di Pemilu 2024. Semakin lama uji materi tidak segera diputuskan, bisa membuat implementasinya sulit dilakukan.
”Peran MA sangat dibutuhkan untuk membenahi tata kelola pembentukan aturan hukum di KPU yang amat pro terhadap koruptor,” ucapnya.
Anggota KPU, Idham Holik, saat diwawancarai wartawan di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Anggota KPU, Idham Holik, menyatakan, KPU terus mengomunikasikan putusan MA terkait keterwakilan caleg perempuan ke 18 parpol peserta pemilu. Ia berharap parpol memiliki komitmen yang lebih kuat terhadap keterwakilan perempuan di Pemilu 2024.
Sementara saat dikonfirmasi mengenai uji materi tentang syarat pencalonan mantan terpidana di PKPU No 10/2022 dan PKPU No 11/2022, juru bicara MA Suharto tidak merespons.