Aturan terbaru soal kenaikan pangkat ASN, termasuk soal kenaikan pangkat lebih cepat bagi ASN di daerah 3T, dimasukkan dalam revisi UU ASN. Aturan ini untuk mendorong ASN agar mau ditugaskan di daerah 3T.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparatur sipil negara atau ASN yang bertugas di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T bisa naik pangkat lebih cepat, yakni setiap dua tahun sekali. Hal itu termuat dalam Rancangan Undang-Undang ASN yang ditargetkan disahkan pada akhir September atau awal Oktober 2023.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan, pendistribusian ASN ke daerah 3T dan pulau-pulau kecil belum baik, misalnya di Maluku dan Papua. Dua daerah itu belum mendapatkan tenaga kesehatan, dokter, dan guru yang sesuai kebutuhan dan berkualitas.
”Jadi apa yang perlu dilakukan? RUU ASN solusinya. Sebab, salah satu poinnya berkaitan dengan reward kelas jabatan. Kalau dulu di Jawa itu untuk naik pangkat perlu 4 tahun, nanti di luar Jawa, terutama di 3T, mereka (ASN) hanya butuh 2 tahun sudah bisa naik pangkat atau naik kelas jabatannya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Saat perekrutan ASN di daerah 3T, tahun 2021, lanjut Azwar, terdapat 170.000 formasi yang kosong karena tidak ada yang mau ditempatkan ke daerah perbatasan atau terpencil. Apabila ini berlanjut, ketimpangan antara kawasan perkotaan, khususnya di Pulau Jawa, dan daerah terpencil akan terus terjadi.
Selain itu, RUU ASN diklaim Azwar bisa menyederhanakan lebih dari 1.000 regulasi yang ada untuk mendorong ASN menjadi profesional dan berkelas dunia. Revisi UU ASN itu nantinya akan mendorong perubahan peraturan pemerintah tentang manajemen pegawai ASN yang bisa mencabut 307 peraturan secara menyeluruh dan 16 peraturan secara sebagian.
Adapun terkait penuntasan tenaga honorer, pihaknya berfokus untuk menyelamatkan mereka sebelum tenggat penghapusan status honorer pada 28 November 2023. Hal itu terwujud dalam Surat edaran (SE) bernomor B/1527/M.SM.01.00/2023 agar instansi pusat dan daerah tetap mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan bagi tenaga non-ASN atau honorer.
Artinya, 2,3 juta tenaga honorer merupakan jumlah kasar yang tidak bisa diterima seluruhnya sebagai ASN–terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sebab, perlu ada semacam sensus kompetensi dan relevansi kebutuhan tenaga honorer.
”Yang penting mereka (tenaga honorer) kami selamatkan dulu. Mereka tetap bisa bekerja untuk tahun yang akan datang,” ungkapnya.
Mengutip data Kemenpan dan RB, total tenaga honorer atau non-ASN per 1 April 2023 berjumlah 2,36 juta orang. Honorer didominasi tenaga administrasi (31 persen), pendidik (31 persen), dan tenaga teknis (26 persen). Adapun honorer yang bekerja sebagai tenaga medis berjumlah 204.902 (9 persen), dan penyuluh 3 persen.
Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) Eko Prasojo, permasalahan tenaga honorer merupakan masalah klasik yang tidak akan terselesaikan tanpa kebijakan tepat. Jumlah mereka juga terus meningkat setiap tahun.
”Kalau memang tidak memenuhi syarat dan kompetensi, (tenaga honorer) itu dilepas saja. Pelepasannya tergantung masa habis kontrak,” katanya.
Saat ini, para tenaga honorer tengah mengikuti seleksi penerimaan calon ASN 2023 dengan masa pendaftaran 20 September-9 Oktober 2023. Kompetensi dan kelaikan mereka akan ditentukan pada rangkaian proses seleksi tersebut.
Artinya, kata Eko, 2,3 juta tenaga honorer merupakan jumlah kasar yang tidak bisa diterima seluruhnya sebagai ASN, baik sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sebab, perlu ada semacam sensus kompetensi dan relevansi kebutuhan tenaga honorer.
”Jadi, tenaga honorer perlu membuat sejumlah pernyataan yang bisa diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kompetensi mereka akan dinilai. Perlu ditanyakan, dengan tidak ada saya (tenaga honorer sektor tertentu) apa dampaknya,” tuturnya.