Penyidik Dalami Dana Biodiesel di Kasus Dugaan Korupsi BPDPKS
Penyidik Kejaksaan Agung menduga terjadi perubahan melawan hukum dalam penentuan harga indeks pasar biodiesel sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dalam jumpa pers daring dan luring, Selasa (30/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Meski sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, penyidik Kejaksaan Agung belum menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS tahun 2015-2022. Penyidik masih mendalami penggunaan dana BPDPKS untuk pengembangan biodiesel.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah, pada (20/9/2023), menyampaikan, dalam penyidikan dugaan korupsi di BPDPKS, penyidik mendalami tujuan dibentuknya lembaga BPDPKS dengan realita yang terjadi dalam kurun waktu 2015-2022. Salah satu yang didalami adalah tentang pengembangan biodiesel.
”Kita lagi teliti, kira-kira kepentingan untuk program pemerintah untuk pengembangan biodiesel itu berjalan atau enggak dengan anggaran yang besar itu,” tutur Febrie.
Dikutip dari laman resmi BPDPKS, badan layanan umum tersebut dibentuk pada 2015 berdasarkan amanat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, untuk menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan. Lembaga tersebut menghimpun dana dari penerimaan pungutan ekspor kelapa sawit yang kini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2022.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana yang dihimpun oleh BPDPKS digunakan untuk membiayai peremajaan sawit rakyat (PSR); sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit; pengembangan sumber daya manusia; penelitian dan pengembangan; promosi dan kemitraan; pemenuhan kebutuhan pangan dan hilirisasi industri, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.
Sejak dinaikkan ke tahap penyidikan pada 7 September lalu, menurut Febrie, penyidik kini mempelajari mekanisme dan proses penunjukan perusahaan yang menjadi penerima dana dari BPDPKS. Selain itu, penyidik mendalami tentang besaran harga indeks pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel.
Terkait dengan hal itu, diduga terjadi perubahan melawan hukum dalam penentuan HIP biodiesel sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
”Kerugian keuangan negara sedang dihitung karena ini masih didalami,” ujar Febrie.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, dalam kasus tersebut, penyidik sudah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi. Karena terkait dengan proses penyidikan ke depan, Ketut menolak untuk menyebutkan lokasi penggeledahan dan barang atau dokumen yang telah disita penyidik.
”Nanti kita ungkapkan setelah ada penetapan tersangka dari perkara ini,” kata Ketut.
Hari ini ini, kata Ketut, penyidik meminta keterangan empat saksi yang salah satunya adalah Staf Asistensi Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berinisial NL. Tiga lainnya adalah S selaku Pengurus Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, HH selaku Direktur PT Bayas Biofuel PT Darmex Biofuel, dan F selaku Direktur PT LDC Indonesia.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, kasus dugaan korupsi di BPDPKS merupakan pengembangan dari kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah beberapa waktu lalu. Kasus yang menetapkan lima terdakwa tersebut telah diputus di Mahkamah Agung dan telah berkekuatan hukum tetap. Sementara, saat ini penyidik masih melakukan penyidikan terhadap tiga tersangka korporasi, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mendatangi Gedung Badan Reserse Kriminal Polri, Selasa (28/3/2023), di Jakarta.
Menurut Boyamin, dalam kasus dugaan korupsi di BPDPKS, diduga terdapat korporasi yang mendapatkan dana untuk pengembangan biodiesel, tetapi hasilnya tidak sesuai atau di bawah dari yang seharusnya. Kekurangan itulah yang kemudian diduga akan diklasifikasikan sebagai kerugian keuangan negara. Terkait kasus ini, Boyamin memastikan akan mengawalnya karena dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit yang sudah diproses sebelumnya, MAKI merupakan pihak pelapor ke Kejagung.
”Kami mendukung Kejagung untuk melakukan penyidikan kasus ini karena nyatanya dari rangkaian kasus ini telah merugikan rakyat, mulai dari minyak goreng yang langka dan mahal. Iuran sawit di BPDPKS yang harusnya menjadi subsidi bagi rakyat, termasuk petani sawit, itu malah dinikmati korporasi besar dan itu tidak sesuai jumlahnya,” ujar Boyamin.
Di sisi lain, Boyamin menyoroti wewenang badan layanan umum seperti BPDPKS untuk menghimpun dana publik tetapi tanpa didukung pengawasan yang ketat. Padahal, tanpa pengawasan yang ketat, lembaga yang mengelola dana non-budgeter semacam BPDPKS rawan disalahgunakan. Lembaga semacam itu tidak hanya BPDPKS untuk sektor kelapa sawit, tetapi juga seperti Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) di Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk bidang telekomunikasi.
”Iuran yang dihimpun lembaga ini karena tidak masuk APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), maka pengawasannya menjadi longgar,” kata Boyamin.