Dalam persaingan politik DKI Jakarta, penguasaan parpol berideologi ataupun berbasis massa Islam cenderung susut. Tanpa gebrakan signifikan menampilkan kekuatan tokoh, sulit menantang dominasi partai-partai nasionalis.
Oleh
Bestian Nainggolan, Litbang Kompas
·4 menit baca
Arena persaingan politik di DKI Jakarta menjadi saksi bagaimana partai politik bernuansa keislaman tidak dapat dipandang sebelah mata sepak terjang politiknya. Partai keislaman yang sudah berurat berakar sejak awal sejarah kepartaian di negeri ini, ataupun partai-partai keislaman yang baru saja terbentuk semenjak era Reformasi, terbukti mampu berjaya di tengah kepungan partai-partai beraliran nasionalis kebangsaan.
Terbilang fenomenal apa yang terjadi pada ajang pemilu era Reformasi tatkala arus kebebasan politik bergelora di negeri ini. Dari 48 partai politik yang berlaga di Pemilu 1999, misalnya, sedikitnya tercatat 17 partai politik bernuansa keislaman, yakni partai yang secara tegas menyatakan berideologi Islam dan partai yang mengandalkan dukungan massa Islam. Dengan jumlah itu, 36,7 persen suara pemilih nasional berhasil dikuasai.
Menariknya, di Ibu Kota negara, DKI Jakarta, penguasaan partai-partai politik Islam kala itu tampak lebih dominan, di atas proporsi penguasaan suara di tingkat nasional. Pada Pemilu 1999, hampir separuh bagian pemilih (46,5 persen) terkuasai. Dua dari tiga besar partai politik peraih suara terbanyak ialah partai bernuansa keislaman.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hasil fusi partai-partai keislaman pada 1973, kali ini menduduki peringkat kedua teratas setelah PDI-P yang ada di urutan pertama. Saat itu, PPP mampu menguasai dukungan 17,1 persen pemilih. Menyusul kemudian Partai Amanat Nasional (PAN) dengan penguasaan hingga 16,8 persen pemilih di DKI Jakarta.
Pada Pemilu 2004, kekuatan partai Islam masih berlanjut. Besaran proporsi penguasaan pemilih di Jakarta masih bisa dipertahankan. Saat itu, 46,6 persen pemilih di Jakarta masih mampu dikuasai. Bahkan, untuk pertama kalinya, suara terbanyak di DKI Jakarta dimenangi partai Islam, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebanyak 23 persen suara pemilih dikuasai PKS. Tiga dari enam wilayah kota dan kabupaten di DKI Jakarta terkuasai. Kiprah politik partai-partai Islam di DKI Jakarta pada pemilu masa-masa awal Reformasi tampak agresif, yang sekaligus mengingatkan masa kejayaan partai-partai Islam di Pemilu 1955. Saat itu, partai-partai Islam mampu menguasai 43,5 persen suara pemilih nasional.
Pergeseran
Setelah Pemilu 2004, penguasaan elektoral partai-partai keislaman cenderung redup. Pada Pemilu 2009, misalnya, turun jadi 31,1 persen. Sampai Pemilu 2019, tak tampak perubahan signifikan. Penguasaan partai-partai keislaman di DKI Jakarta relatif melemah. Tiga pemilu yang dilewati, tanpa ada perluasan dukungan, makin menunjukkan terjadinya keseimbangan baru, yang menempatkan posisi dan kekuatan partai-partai keislaman yang tak lagi kompetitif. Mengapa kondisi demikian dapat terjadi?
Mencermati perubahan yang berlangsung, tampak seluruh partai keislaman di DKI Jakarta menurun performa penguasaan elektoralnya. PKS yang di Pemilu 2004 menjadi pemenang, pada Pemilu 2009 tersingkir oleh Demokrat. Saat itu, penguasaan suaranya turun menjadi 18,4 persen, lalu di Pemilu 2019 tinggal 17,7 persen. Padahal, dalam Pilkada 2017 PKS (bersama PAN dan Gerindra) berhasil mengantarkan Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Kondisi paling problematik dihadapi PPP. Sejak Pemilu 1999 hingga 2019, secara konsisten terjadi penurunan. Pemilu 2019, PPP hanya dapat 2,7 persen di DKI Jakarta. Partai lain, seperti PAN, cenderung senasib kendati di beberapa pemilu terakhir ada perbaikan walau belum mampu melebihi capaiannya di Pemilu 1999. Terakhir, pada Pemilu 2019, PAN menguasai 6,7 persen pemilih di DKI Jakarta.
Di sisi lain, kekuatan partai-partai bernuansa kebangsaan tak tergoyahkan, bahkan cenderung makin dominan. Apabila di Pemilu 1999 mampu menguasai hingga 53,5 persen pemilih di DKI Jakarta, pada pemilu berikutnya meningkat secara konsisten. Pemilu 2019, tidak kurang dua pertiga bagian pemilih (68,6 persen) terkuasai.
Jika dicermati, ada beberapa kelebihan pada partai-partai nasionalis yang tidak dijumpai di partai-partai bernuansa keislaman. Paling menonjol, kehadiran aktor-aktor politik pada partai-partai nasionalis yang menjadi daya tarik bagi pemilih.
Sebagai gambaran, kemunculan sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang terepresentasikan pada Partai Demokrat dalam sekejap mampu mendongkrak partai yang baru didirikan 9 September 2001 ini menjadi pemenang Pemilu 2009 secara nasional ataupun di DKI Jakarta. Begitu juga kehadiran Prabowo Subianto di Partai Gerindra yang baru berdiri sejak 6 Februari 2008 langsung mengerek partai pada posisi papan atas persaingan perebutan suara pemilih.
Kondisi yang serupa pada kehadiran sosok Joko Widodo pada PDI-P. Apabila selepas kemenangan spektakuler di Pemilu 1999 dukungan terhadap PDI-P menyusut, kehadiran Joko Widodo yang menjadi kader PDI-P mampu membuat partai ini kembali menguasai posisi atas dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Tokoh berpengaruh
Kehadiran aktor-aktor politik pada partai-partai nasionalis, kendati cenderung menjadikan karakter partai menjadi bersifat clientelism, bersandar pada kekuatan patron, yang sebagian besar merupakan para pendirinya, terbilang ampuh. Kekuatan semacam ini tidak terlalu kuat dimiliki partai-partai Islam di negeri ini.
Di sisi lain, posisi semacam ini pula yang diperkirakan jadi penghambat penguasaan suara pemilih pada pemilu mendatang. Merujuk hasil survei Litbang Kompas, misalnya, tampak jika pilihan responden pada partai disertai pertimbangan utama yang tidak lepas dari kehadiran tokoh berpengaruh pada partai itu. Selanjutnya, terkait dengan visi, misi, ataupun program kerja partai. Faktor ideologi, yang dalam hal ini tampak relevan pada kehadiran partai-partai keislaman, tidak menjadi pertimbangan utama para pemilih.
Terkait keberadaan tokoh berpengaruh, dalam pemilu mendatang pun diperkirakan tokoh politik, seperti Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati Soekarnoputri, yang terafiliasi pada partainya masing-masing, masih menjadi daya tarik para pemilih. Begitu pula, tokoh-tokoh populer yang digadang sebagai calon presiden, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan para tokoh yang ditempatkan dalam persaingan calon wakil presiden, seperti Ridwan Kamil ataupun Sandiaga Uno.
Terhadap tokoh-tokoh itu, belum satu pun yang diidentikkan sebagai tokoh pimpinan ataupun kader partai Islam. Itulah mengapa, menatap Pemilu 2024, jadi pekerjaan rumah yang berat bagi partai-partai Islam mendorong kembali bandul penguasaan politik pada posisi keseimbangan seperti dulu.
Pengantar Redaksi: Tiga kali dalam sepekan, harian Kompas akan menurunkan hasil analisis peta politik dari sejumlah wilayah yang memiliki basis jumlah pemilih yang besar disertai dengan data rekam jejak politik pemilu dan pilkada di wilayah tersebut pada periode sebelumnya. Wilayah-wilayah dengan jumlah pemilih besar itu menjadi basis pertarungan bagi peserta pemilu untuk mendulang dukungan di Pemilu 2024. Ada 12 tulisan yang disiapkan peneliti Litbang Kompas.