Koalisi Masyarakat Sipil Ingatkan Presiden soal Data Intelijen
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR memanggil Presiden beserta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan pernyataan Presiden bahwa dia memegang data intelijen soal arah dukungan parpol.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F19%2Fe87cd10b-9ec0-4b3c-98ac-f599e7d569f6_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo foto bersama sukarelawan pendukungnya dalam acara pembukaan Rembug Nasional Solidaritas Merah Putih (Solmet) di Kota Bogor, Sabtu (16/9/2023).
BOGOR, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengritik Presiden Joko Widodo yang menyatakan memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik di Pemilihan Presiden 2024. Informasi intelijen yang sejatinya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan dikhawatirkan disalahgunakan untuk kepentingan politik.
”Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik Presiden,” demikian dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Minggu (17/9/2023).
Koalisi ini terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat sipil, yakni Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, dan Setara Institute.
Sabtu (16/9/2023) lalu, Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan tersebut saat membuka acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Sukarelawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, Jawa Barat. Saat itu, Presiden menyampaikan bahwa dirinya telah mengetahui semua data hingga arah dukungan semua parpol dari informasi intelijen Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen Polri dan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.
”Saya tahu dalamnya partai saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu. Ini mereka menuju ke mana saya ngerti. Informasi yang saya terima komplet. Dari intel, saya ada, BIN. Dari intel di Polri, ada. Dari intel TNI, saya ada BAIS. Dan info-info di luar itu. Angka data survei semuanya ada dan itu hanya milik Presiden. Karena langsung ke saya,” tutur Presiden.
Presiden menyampaikan hal tersebut saat mengingatkan kelompok sukarelawan pendukungnya agar tidak salah memilih pemimpin pada pilpres mendatang. Faktor kepemimpinan dinilainya sangat penting dalam memastikan Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045.
Baca Juga: Presiden Jokowi Perbolehkan Sukarelawannya ”Memanaskan Mesin”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F16%2F1d2ea3c4-2f10-4199-b8d6-bf5656f85dd3_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rembug Nasional Solidaritas Merah Putih (Solmet) di Kota Bogor, Sabtu (16/9/2023).
Terkait hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai apa yang dilakukan Presiden sebagai masalah serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, Presiden beserta perangkat intelijennya menjadikan partai politik (parpol) sebagai obyek dan target pemantuan intelijen.
Intelijen memang merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden. Namun, informasi itu seharusnya terkait dengan musuh negara, yakni soal masalah keamanan nasional, dan bukan terkait dengan masyarakat politik seperti parpol serta juga masyarakat sipil seperti disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Lebih lanjut koalisi memandang, pernyataan presiden mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya. Hal ini tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Persoalan ini juga merupakan bentuk penyalahgunaan intelijen untuk tujuan politik Presiden dan bukan tujuan politik negara. Padahal, lembaga intelijen dibentuk untuk kepentingan keamanan nasional dalam meraih tujuan politik negara dan bukan untuk tujuan politik presiden.
Baca Juga: Parpol Ingatkan agar Cawe-cawe Presiden Tak Salah Gunakan Kekuasaan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F16%2F505ad2d6-c801-427f-8f8a-92ff4de9af62_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo menjelaskan pentingnya kepemimpinan nasional di tahun 2024, 2029, dan 2034 untuk Indonesia dalam pembukaan Rakernas Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Kota Bogor, Sabtu (16/9/2023) pagi.
Dengan demikian, pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadi Presiden.
Dalam negara demokrasi, lanjut koalisi, parpol bukanlah ancaman keamanan nasional sehingga sulit untuk memahami alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data, arah perkembangan parpol. Hal ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan intelijen.
Pernyataan Presiden mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hukum dan undang-undang seperti Undang-Undang (UU) Intelijen, UU HAM, dan UU Parpol.
”Kami menilai ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga wajib untuk diusut tuntas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya DPR memanggil Presiden beserta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan masalah ini kepada publik secara terang benderang,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F17%2F17d49c18-1ab0-4799-a1f3-0f6f94293c54_jpg.jpg)
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Menurut Direktur Elsam Wahyudi Jafar, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengingatkan Presiden dan DPR karena belajar dari Amerika Serikat sekitar tahun 1970, Presiden AS kala itu, Richard Nixon mengundurkan diri, bahkan sempat hendak dimakzulkan, karena pencurian data di kantor Komite Nasional Demokrat di Kompleks Watergate yang terkait dengan kampanye pemilihan kembali Nixon.
“Harusnya menjadi suatu pembelajaran bagi DPR, bagi komunitas politik agar kemudian memberikan warning kepada Presiden dalam konteks bagaimana menggunakan alat-alat intelijen negara dalam satu sistem negara yang demokratis,” kata Wahyudi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menambahkan, pernyataan Presiden berbahaya mengingat adanya indikasi kuat bahwa data intelijen bukan mau digunakan untuk kepentingan keamanan nasional, melainkan untuk kepentingan politik praktis.
Baca Juga: Relasi Intelijen dan Kekuasaan Orde Baru
Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro juga mengingatkan Presiden agar hati-hati dalam menggunakan informasi intelijen. ”Karena bila tak hati-hati, Presiden Jokowi bisa terjebak dalam bibit-bibit otoriterianisme sebagaimana pernah kita alami di era Orde Baru,” ujarnya.
Menurut dia, secara institusional lembaga kepresidenan memang berhak menerima laporan dari lembaga-lembaga terkait untuk memastikan stabilitas keamanan negara. Namun, seluruh pihak diharapkan bisa mengingatkan agar Presiden tidak menggunakan laporan itu untuk kepentingan politik pribadi.

(Dari kiri) Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono saat menghadiri Silaturahmi Ramadhan di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023).
”Apakah secara personal Presiden Jokowi punya arahan pribadi saat menerima laporan-laporan tersebut? Di titik inilah peran partai, masyarakat sipil, media, dan para pihak lainnya dituntut untuk mengingatkan,” kata Agung.
Ia juga mengingatkan agar jangan sampai konsolidasi demokrasi berjalan mundur. Jika demokrasi berjalan mundur, narasi Indonesia Maju yang dibayangkan Presiden Jokowi akan menjadi paradoks ketika negara justru bergerak berdasarkan kekuasaan.
”Secara elektoral, saat Presiden memang ingin memainkan peran sebagai king maker. Perlu diingat bahwa netralitas aparat negara menjadi utama. Karena inilah basis suara yang menjadi dasar pemerintahan. Bila tidak, pemilu kita dalam bahaya,” ujarnya.
Ia tidak mempersoalkan jika Presiden cawe-cawe dalam kontestasi politik jika untuk memastikan keberlanjutan kebijakan dan program pemerintahannya. ”Namun, yang jelas, keterlibatan beliau mesti tetap ditempatkan dalam derajat proporsionalitas dan netralitas bahwa tak ada mobilisasi sumber daya negara dalam pemilu esok,” tambahnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F12%2F27d7f32a-50c7-4fea-b014-d49ac3f1031e_jpg.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jakarta, Senin (12/9/2022).
Harus dilaporkan ke Presiden
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menampik jika Presiden dinilai melanggar aturan perundang-undangan. Justru menurutnya, Undang-Undang Intelijen Negara mengamanatkan setiap informasi intelijen dilaporkan ke Presiden secara berkala.
"Namanya Presiden bisa tahu apa saja. termasuk parpol, itu tugasnya Presiden, soal keamanan, masalah isu hukum, apa-apa yang sensitif di masyarakat, Presiden setiap hari mendapat laporan dari intelijen, di mana pun Presiden harus begitu, jadi itu benar," tambahnya.
Bukan hanya Presiden, pembantu presiden yakni menteri, apalagi menteri koordinator, juga memeroleh informasi intelijen itu secara berkala. Hanya saja intensitasnya tidak sesering Presiden yang bisa setiap hari, dan data yang diperoleh pun tidak selengkap seperti yang diterima Presiden. "Jadi, itu biasa, punya data parpol itu biasa, dah tahu semua. Tidak ada pemilu pun presiden tahu data tentang parpol, apalagi pemilu," tambahnya.
Ia pun menampik adanya penilaian bahwa data intelijen parpol yang dipegang Presiden merupakan bentuk cawe-cawe Presiden di pilpres atau bisa mempengaruhi arah dukungan parpol untuk pilpres mendatang. "Siapa saja harus punya kalau presiden, tidak hanya Pak Jokowi. Bukan cawe-cawe, tidak ada kaitannya," ujarnya.
Catatan Redaksi:
Berita ini telah ditambahkan komentar dari Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, dan tanggapan dari Menko Polhukam Mahfud MD.