Sepanjang era Orde Baru, intelijen mengalami beberapa kali perubahan yang memengaruhi fokusnya. Sayangnya, ambisi untuk melanggengkan rezim membuat perubahan tersebut tidak berdampak pada profesionalisme intelijen.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·4 menit baca
UNDEFINED
Halaman muka buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto
Judul: Intelijen dan Kekuasaan Soeharto
Penulis: Tim Kajian Keamanan Nasional, Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (Diandra Megawati Mengko, Hermawan Sulistyo, India Samego, Muhamad Haripin, Putri Aziza Kristimanta, Sarah Nuraini Siregar, Sri Yanuarti
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xiv+165 halaman
ISBN:978-623-321-110-93
Intelijen berperan memberi peringatan dini bagi para pengambil kebijakan sehingga para pengambil kebijakan memiliki cukup informasi untuk membuat keputusan atau langkah yang tepat dalam menghadapi suatu ancaman.
Berbeda dengan aktor keamanan lainnya, yakni polisi dan militer, intelijen bekerja dalam ruang tertutup/rahasia (covert). Kerahasiaan sebagai kebutuhan dasar bagi intelijen mencakup fungsi-fungsi penyelidikan (collecting and analysis), fungsi pengamanan (contraintelligence), dan fungsi penggalangan (covert operation).
Meski memiliki mandat dan fungsi yang serupa, pada praktiknya karakter intelijen bisa berbeda-beda. Di titik ekstrem, karakter intelijen bisa dibagi menjadi dua. Pertama, adalah intelijen profesional. Secara sederhana, intelijen profesional akan bertindak sebagai instrumen keamanan negara yang bertanggung jawab kepada rezim pemerintahan demokratisyang sah, menghasilkan produk intelijen melalui proses yang akuntabel, dan terikat secara konstitusional untuk melayani kepentingan keamanan nasional, termasuk menjaga masyarakatnya.
Kedua adalah intelijen politik. Berbeda dengan intelijen profesional, intelijen dengan karakter ini biasanya terpolitisasi sedemikian rupa untuk melayani kepentingan rezim atau kelompok bahkan melakukan politisasi terhadap suatu rezim/kelompok dan tidak bersifat responsif terhadap pengawasan. Dalam konteks ini, obyek utama yang berusaha dilindungi adalah rezim atau kelompok itu sendiri, bukan keamanan nasional.
Dari kedua karakter tersebut, buku berjudul Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022), yang ditulis oleh Tim Kajian Keamanan Nasional, Pusat Riset Politik, BRIN, intelijen pada era Orde Baru cenderung menunjukkan karakter intelijen politik.
Transisi kekuasaan
Pada awal kekuasaan Orde Baru (1966-1971), intelijen dibangun sebagai basis kekuatan Soeharto untuk mendapat legitimasi kekuasaan pada Pemilu 1971. Tumpang tindih kewenangan dan ruang lingkup, serta sifat badan intelijen (baik formal maupun nonformal) tidak terlalu dihiraukan selama Soeharto dapat melakukan kontrol penuh terhadap intelijennya.
Pada tahap awal, kerja-kerja intelijen fokus untuk melemahkan kekuatan politik Soekarno. Hal ini dilakukan dengan cara membersihkan PKI sebagai salah satu basis massa pendukung Soekarno, menggalang kekecewaan rakyat melalui Tritura, melemahkan dan mengambil alih Badan Pusat Intelijen (BPI) yang didirikan Soekarno, hingga upaya melegitimasi Supersemar dalam Tap MPRS.
Militerisasi intelijen yakni penataan perwira militer pada kelompok intelijen sipil KIN/BAKIN dilakukan. Upaya tersebut dilakukan karena militer menjadi satu-satunya basis kekuatan yang dipercaya Soeharto kala itu. Langkah ini bertujuan untuk memusatkan seluruh kekuatan (power) dan kewenangan pada Soeharto.
Melembagakan kekuasaan
Pada masa awal konsolidasi politik Orde Baru (1971-1988) kerja intelijen difokuskan untuk membantu pemerintah melembagakan kekuasaan melalui pemilu. Intelijen tidak hanya memobilisasi partai pemerintah untuk mendapatkan kemenangan dalam setiap pemilu, tetapi elite intelijen terlibat langsung dalam mendesain partai baru yang sepenuhnya akan menjadi media legitimasi kekuasaan Orde Baru. Intelijen pada masa konsolidasi juga sering menggunakan trauma masa lalu untuk memanipulasi kepentingan politik rezim dan kelompoknya.
Sementara itu, untuk mendukung stabilitas nasional dan mengurangi perlawanan di tingkat daerah atas ketidakpuasan kebijakan pemerintah pusat, intelijen bersama-sama dengan militer melakukan operasi-operasi khusus. Berbagai operasi militer yang melibatkan intelijen di wilayah Aceh, Papua, dan Timor Leste adalah bagian dari upaya intelijen untuk menjaga stabilitas nasional dari rezim baru yang bernama Orde Baru.
Setidaknya ada tiga bentuk kegiatan yang dilakukan oleh intelijen pada masa konsolidasi kekuasaan Soeharto, yakni melakukan rekayasa peristiwa, melakukan kekerasan fisik dan mental, serta penggalangan melalui media propaganda dan penyusupan. Kerja-kerja intelijen pada masa konsolidasi diarahkan pada dua hal, yakni penghancuran oposisi dan menciptakan kolaborator.
Degradasi kerja intelijen
Pada periode akhir kekuasaan (1988-1998), kekhawatiran Soeharto akan keamanan rezimnya semakin tinggi. Ia melakukan pelemahan kekuatan politik dari komunitas intelijen. Secara organisasi, pelemahan Komando Operasi Pengamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Badan Intelijen Strategis (Bais) menjadiBadan Intelijen ABRI (BIA) berdampak pada diferensiasi fungsi intelijen.
Sayangnya, diferensiasi fungsi tidak bertujuan untuk terbentuknya spesialisasi intelijen. Terbukti, mereka yang duduk di jabatan strategis tidak dipilih secara obyektif. Faktor loyalitas dan karakter yang tunduk sepenuhnya kepada Soeharto menjadi indikator utama. Akibatnya, intelijen menjadi normatif dalam melakukan kerja-kerjanya.
Kondisi tersebut membuat kemampuan deteksi intelijen melemah. Intelijen kemudian hanya memberi perhatian pada situasi keamanan dan politik domestik, tetapi ketajaman dalam sektor ekonomi menurun. Padahal, berbagai sektor tersebut saling bersinggungan. (DRA/LITBANG KOMPAS)