Komisi II DPR Minta KPU Jelaskan Percepatan Pendaftaran Capres-Cawapres
Komisi II DPR mengungkapkan, belum menerima permohonan konsultasi PKPU Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang salah satunya berisi percepatan masa pendaftaran capres-cawapres pada Pemilu 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat belum menjadwalkan rapat konsultasi membahas Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang salah satunya mengatur percepatan jadwal pendaftaran pasangan kandidat peserta Pemilihan Presiden 2024. Komisi II masih menunggu surat permohonan KPU untuk mengonsultasikan rancangan PKPU tersebut. Sebab, Komisi II juga ingin mendapat penjelasan mengenai perubahan jadwal tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sebelumnya, KPU merancang untuk mempercepat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024. Jika sebelumnya tahapan itu direncanakan berlangsung 19 Oktober-25 November 2023, dimajukan menjadi 7 Oktober-14 November 2023. Pendaftaran pasangan bakal calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) pun diusulkan maju, dari sebelumnya 19 Oktober 2023 menjadi 10 Oktober. Masa pendaftaran juga diusulkan hanya satu pekan, yakni pada 10-16 Oktober 2023.
Percepatan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden itu merupakan konsekuensi dari ketentuan dalam Perppu Pemilu yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No 7/2023 dan diusulkan KPU dalam rancangan PKPU tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. PKPU itu diuji publik pada Senin (4/9/2023).
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, saat dihubungi, Minggu (10/9/2023), mengatakan, setiap perubahan PKPU harus dikonsultasikan dengan DPR. Sebab, DPR perlu mengkaji, mendalami alasan-alasan rasional dari majunya jadwal dan tahapan tersebut.
”Jangan sampai masyarakat menilai seolah-olah kami tidak komprehensif dalam menetapkan tahapan pemilu. KPU agar segera mengajukan surat kepada sekretariat DPR untuk melakukan rapat dengar pendapat umum atau berkonsultasi dengan DPR mengenai hal itu,” kata Guspardi.
Sejauh ini, belum ada jadwal rapat dengar pendapat dengan KPU untuk membahas rancangan PKPU. Agenda Komisi II DPR yang terjadwal baru soal pembahasan soal anggaran Pemilu 2024 dengan Sekretaris Jenderal KPU pada Selasa (12/9/2023).
”Tidak tertutup kemungkinan dalam kesempatan itu, Komisi II juga akan menyinggung soal jadwal pendaftaran yang berubah tersebut,” kata Guspardi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, juga mengatakan jadwal rapat yang sudah teragendakan pada Selasa pekan depan adalah rapat membahas tentang anggaran Pemilu 2024 bersama KPU.
Agar lebih jelas, memang harus dibahas dan dikonsultasikan dengan DPR.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menambahkan, sesuai dengan UU Pemilu, setiap rancangan PKPU memang harus dikonsultasikan kepada DPR. Namun, sejauh ini agenda konsultasi PKPU itu belum keluar. Justru yang sudah teragendakan adalah pembahasan anggaran Pemilu 2024 karena saat ini siklus di DPR memang sedang pembahasan anggaran.
”Tetap harus dijelaskan kepada DPR walaupun, menurut saya, itu juga tidak akan menjadi isu besar. Sebab, itu hanya konsekuensi Perppu Pemilu yang sudah disahkan menjadi UU No 7/2023. Jika tidak dimajukan, justru malah konsekuensinya kampanye Pilpres bisa dimajukan. Namun, agar lebih jelas, memang harus dibahas dan dikonsultasikan dengan DPR,” kata Arsul.
Caleg perempuan
Sementara itu, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 24 P/HUM/2023 mengabulkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dkk. Putusan itu diputus oleh majelis hakim yang diketuai oleh Irfan Fachrudin, dan dua hakim anggota Cerah Bangun serta Yodi Martono Wahyunadi.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 10/2023 di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Tuntutan ini bertujuan agar terwujud pemenuhan hak politik perempuan dan meminimalisasi terjadinya instabilitas politik yang berujung pada wacana penundaan Pemilu 2024.
MA menyatakan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. MA memutuskan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.
”Memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,” sebagaimana bunyi amar putusan tersebut.
Pemohon uji materi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, KPU harus segera menindaklanjuti putusan uji materi yang dikabulkan oleh MA tersebut. Sebab, amar putusan itu jelas mengatakan bahwa KPU harus mencabut Pasal 8 PKPU 10/2023. Artinya, kebijakan pembulatan ke bawah tidak berlaku lagi. Untuk itu, KPU perlu meminta partai yang belum memenuhi ketentuan itu agar melengkapi daftar perempuannya sehingga mencapai sekurang-kurangnya 30 persen perempuan.
”Tidak perlu ada tafsir yang lain lagi mengenai putusan MA ini,” ujar Khoirunnisa.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari belum mau memberikan komentar mengenai putusan MA tersebut. KPU masih mempelajari salinan putusan yang baru saja diterima tersebut.
Dalam PKPU No 10/2023 sebelumnya diatur dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembuatan ke bawah. Adapun, pada Ayat (b) disebut apabila dua desimal di belakang koma bernilai 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Dalam pertimbangannya, MA berpandangan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur jumlah keterpenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Setelah dilakukan simulasi dengan aturan Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023, alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan, jumlah bakal calegnya tidak ada yang memenuhi hasil penghitungan tepat 30 persen. Persentase keterwakilan perempuan di beberapa daerah pemilihan dengan jumlah bakal caleg ada yang menjadi kurang dari 30 persen.