Koalisi Parpol Masih Sebatas Kemenangan Pemilu, Belum Perjuangkan Ideologi dan Visi ke Depan
Dinamika politik masih tak bisa dipastikan dan bisa saja berubah dalam waktu yang begitu cepat. Koalisi yang dibangun pun masih belum menunjukkan ideologi dan visi, masih sebatas memenangi pemilu.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi partai politik yang saat ini sudah mulai bermunculan dinilai masih terfokus pada upaya mendominasi kekuatan elektoral. Koalisi parpol berlomba untuk memenangkan calon presiden dan calon wakil presiden yang bakal diusung pada Pilpres 2024. Pembentukan koalisi parpol juga belum mengedepankan perjuangan ideologi dan visi yang diusung.
Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk ”Peta Koalisi Pilpres 2024: Potensi Calon Tunggal, Realistiskah?” yang digelar oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) pada Kamis (7/9/2023). Webinar menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Prof Dr Firman Noor, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional; Chusnul Mariyah Phd, pengajar ilmu politik Universitas Indonesia; serta Ferry Daud Liand, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi.
Ferry menilai bahwa Presiden Joko Widodo memiliki peran besar dalam mengutak-atik koalisi parpol. ”Coba lihat semua koalisi yang sebelum terbentuk, biasanya ada pertemuan-pertemuan dengan Pak Jokowi. Setelah keluar dari istana, kemudian tiba-tiba ada koalisi baru. Peran beliau itu cukup kuat,” ucapnya.
Apalagi, hasil survei kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi tergolong tinggi. Dengan demikian, wajar jika kemudian banyak partai politik yang meminta saran-saran kepada Jokowi. Persentase koalisi pemerintah saat ini pun masih 82 persen dengan 471 kursi DPR. ”(Sebanyak) 82 persen kursi dari beberapa partai politik ada di tangan beliau,“ kata Ferry.
Menurut Ferry, dinamika politik masih tidak bisa dipastikan dan bisa saja berubah dalam waktu begitu cepat. Nama bakal capres dan cawapres yang sudah muncul pun masih cair dan belum pasti akan didaftarkan ke KPU. ”Ketika PKB bergabung dengan Nasdem, saya juga belum begitu yakin. Bukan tidak mungkin suatu saat akan berubah lagi,” tambahnya.
Ketika PKB bergabung dengan Nasdem, saya juga belum begitu yakin. Bukan tidak mungkin suatu saat akan berubah lagi.
Berkaca dari pilpres sebelumnya, koalisi parpol cenderung berkompetisi sehingga muncul polarisasi tajam. Namun, ketika pemilu selesai, pihak yang kalah justru bergabung dengan pemenang pemilu dalam menjalankan pemerintahan. ”Lalu ngapain juga ada kompetisi. Sudah capek-capek kompetisi, tapi selesai pemilu ternyata pihak yang kalah dilibatkan dalam kekuasaan,” kata Ferry.
Polarisasi tajam yang terjadi dalam Pemilu 2019 dinilai berhasil memecah belah negara yang kala itu masih utuh. ”Walaupun masih utuh secara fisik, tetapi secara sosiologis masyarakat sekarang belum bisa move on. Suka curiga, masih suka cepat marah, cepat tersinggung karena efek-efek yang terbawa oleh polarisasi yang luar biasa,” tambahnya.
Simbol itu masih sesuatu hal yang sangat penting di akar rumput. Masyarakat kebanyakan jauh lebih bisa didekati dengan simbol-simbol politik atau figur-figur yang mewakili simbol politiknya.
Selain pasangan bakal capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, koalisi parpol saat ini masih disibukkan dengan pencarian bakal cawapres dengan elektabilitas tertinggi. Koalisi parpol juga masih fokus berupaya menentukan target daerah untuk meraup kemenangan. Meskipun demokrasi berupaya menjadi egaliter, kehadiran elite politik tetap menjadi determinan dalam kehidupan politik di Indonesia.
Selain itu, simbol politik juga masih berperan. ”Simbol itu masih sesuatu hal yang sangat penting di akar rumput. Masyarakat kebanyakan jauh lebih bisa didekati dengan simbol-simbol politik atau figur-figur yang mewakili simbol politiknya,” ujarnya.
Sangat kecil
Apakah peluang itu ada? Saya kira memang pada dasarnya yang namanya peluang dalam bidang politik, ya, selalu ada. Tapi kalau kita lihat dan desain politik Orde Baru itu ada sebagian yang masih ada, tapi pada umumnya juga sudah tidak ada sehingga dugaan saya ke depan calon tunggal itu tidak mudah untuk muncul.
Dalam pilpres mendatang, Firman juga menilai bahwa peluang munculnya calon tunggal cenderung sangat kecil. Dari sejarahnya, kemunculan calon tunggal ini sudah dipraktikkan di zaman Orde Baru. Calon tunggal hanya bisa muncul apabila sebuah partai politik mampu meraih persentase kemenangan di atas 60 persen yang pernah dialami oleh Golkar pada era Orde Baru.
”Apakah peluang itu ada? Saya kira memang pada dasarnya yang namanya peluang dalam bidang politik, ya, selalu ada. Tapi kalau kita lihat dan desain politik Orde Baru itu ada sebagian yang masih ada, tapi pada umumnya juga sudah tidak ada sehingga dugaan saya ke depan calon tunggal itu tidak mudah untuk muncul,” kata Firman.
Meski peluangnya kecil, langkah antisipasi terkait kemungkinan munculnya calon tunggal tetap harus diantisipasi. Ferry menambahkan bahwa peluang munculnya calon presiden dan wakil presiden tunggal masih dimungkinkan oleh Undang-Undang Pemilu. Apalagi, syarat persentase ambang batas pencalonan presiden dan wapres masih cukup tinggi, yaitu 20 persen.