Kesamaan ideologi atau program belum menjadi prioritas untuk partai berkoalisi. Rakyat hanya dijadikan sebagai penonton.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mantan Perdana Menteri Inggris Raya dan tokoh Konservatif, Benjamin Disraeli (1804-1881), pernah menyebutkan, ”England does not love coalitions.”
Disraeli mengatakan hal itu pada 15 Desember 1852 saat pembahasan anggaran di parlemen Inggris Raya. Konservatif diserang lawan politiknya sebab mengusulkan anggaran defisit. Inggris tak menyukai koalisi karena kepentingan politisi Konservatif ditolak koalisi partai nonpemerintah saat itu.
Menurut Guru Besar Sosiologi Politik Universitas Bristol, Inggris, Geoffrey Pridham, ada tiga faktor yang bisa membuat partai politik berkoalisi. Ketiganya adalah faktor kesejarahan dan ideologi; kesamaan visi, misi, dan kerja pemerintahan; dan faktor kepentingan pragmatis untuk pemerintahan. Dalam sejarahnya, koalisi parpol di negeri ini lebih berorientasi pragmatis, kepentingan sesaat.
Mitra koalisi parpol di tingkat pusat, untuk meraih kekuasaan eksekutif—presiden atau wakil presiden—bisa saja berbeda di daerah saat untuk meraih jabatan gubernur, bupati, atau wali kota atau wakil kepala daerah. Pragmatisme dalam membangun koalisi itu didasarkan pada kepentingan sesaat, yang biasanya dikemas dalam bahasa strategi untuk kemenangan. Sebab itu, seperti dikatakan Disraeli, ”Inggris (Konservatif) tidak menyukai koalisi.” Dalam politik praktis, memang tak ada yang suka berbagi kekuasaan, baik partai maupun koalisi. Jika bisa, kekuasaan secara absolut dipegang sendiri.
Oleh karena itu, tidaklah mengagetkan jika harian ini pada Sabtu (3/6/2023) menurunkan berita utama berjudul ”Ikatan Koalisi Masih Rapuh”. Belum adanya kesepakatan mengenai nama calon wapres membuat pimpinan partai peserta Pemilu 2024 masih ”bergerak”, menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan partai lain, atau membentuk koalisi baru.
Setidak-tidaknya selama ini ada tiga koalisi partai yang terbentuk untuk pencalonan presiden/wapres pada Pemilu 2024, selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang bisa mengajukan calon sendiri. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bergandengan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ada Koalisi Perubahan untuk Persatuan, yang terdiri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. Kedua koalisi itu, dan PDI-P, sudah mempunyai bakal calon presiden. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), terdiri dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN), yang belum mempunyai bakal calon presiden. Kini PPP dan PAN pun merapat ke PDI-P.
Sesuai konstitusi, pasangan calon presiden/wapres diajukan oleh partai atau gabungan (koalisi) partai asalkan memenuhi syarat presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden). Bisa jadi akan ada dua atau tiga pasangan calon presiden/wapres. PDI-P membutuhkan dukungan partai lain pula untuk memperluas dukungan bagi calonnya.
Kesamaan ideologi atau program belum menjadi prioritas untuk partai berkoalisi. Rakyat hanya dijadikan sebagai penonton. Bukan pertimbangan utama. Kepentingan sesaat: penting menang pemilu, adalah pengikat koalisi partai di negeri ini. Rapuh. Ingat, rakyatlah pemilik suara dan yang berdaulat.