Politik Gagasan
Kehadiran generasi milenial dan Gen Z yang cenderung rasional sebagai pemilih terbesar merupakan tantangan bagi parpol. Parpol peserta pemilu harus beralih ke politik gagasaan ketimbang mempertahankan politik kekuasaan.
Hingga memasuki pemilu keenam pascareformasi, kontestasi elektoral belum beranjak dari politik kekuasaan dalam terminologi Machiavelli dan Thomas Hobbes.
Menurut Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi yang terpisah dari moral sehingga merebut dan mempertahankan kekuasaan bisa dilakukan dengan segala cara. Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Karena itu, negara harus menjadi Leviathan, makhluk pemangsa yang ditakuti agar manusia tidak saling memangsa satu sama lain.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Politik kekuasaan yang diperagakan partai-partai peserta pemilu mungkin tidak seganas yang digambarkan Machiavelli dan Hobbes. Namun, indikasinya cukup kuat untuk menegaskan bahwa orientasi politik kekuasaan jauh lebih dominan ketimbang politik gagasan.
Meminjam terminologi demokrasi, jika politik kekuasaan berbicara soal bagaimana kekuasaan direbut dan dikelola, politik gagasan berbicara soal bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk kepentingan siapa kekuasaan dikelola.
Baca juga : Wajah Demokrasi di Tahun Politik
Orientasi politik kekuasaan sudah mulai terasa dalam Pemilu 2024, terutama pemilihan presiden, sejak 2022. Partai Nasdem (bersama PKS dan Partai Demokrat) paling awal mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden, yakni pada 3 Oktober 2022.
Hiruk pikuk calon presiden dan wakil presiden pun makin memanas. PDI Perjuangan (PDI-P) akhirnya mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres (21 April 2022). Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto adalah kandidat lain yang ikut meramaikan kompetisi.
Partai-partai besar sibuk membangun koalisi untuk memenangi pertarungan. Lembaga-lembaga survei juga ikut berkontribusi dengan suguhan elektabilitas dari setiap kandidat, baik calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres).
Yang absen dari seluruh hiruk pikuk di atas adalah politik gagasan. Hingga sosok-sosok calon presiden makin jelas, kompetisi menuju RI-1 masih berkutat di seputar ”bagaimana memenangi pertarungan”; hampir tidak ada gagasan-gagasan besar mengenai Indonesia lima tahun ke depan, baik dari partai politik maupun dari para kandidat.
Yang ada adalah koalisi: Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Koalisi-koalisi ini diprediksi tak akan abadi, tergantung arah angin kepentingan.
Tentu saja masih ada masa kampanye, 28 November 2023-10 Februari 2024. Namun, sebagaimana kampanye-kampanye sebelumnya, penyampaian gagasan mengenai ”bagaimana kekuasaan dikelola dan untuk kepentingan siapa” biasanya hanya ada dalam debat kandidat. Di luar debat kandidat, kampanye hampir tidak menyentuh gagasan. Materi kampanye lebih banyak pencitraan ketimbang gagasan.
Karakter pemilih
Partai-partai besar sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih. Absennya edukasi publik mengenai hak-hak politik warga negara membuat pemilih masih berkutat pada dua karakter utama, yakni pemilih emosional dan pemilih transaksional.
Pemilih emosional menentukan pilihannya berdasarkan kedekatan personal, kekerabatan, hingga kedekatan ideologis dan latar belakang: agama, budaya, kedaerahan. Inilah yang membuat politik identitas terus terpelihara dan diproduksi serta direproduksi tanpa henti. Pemilih transaksional lebih didasarkan pada kebutuhan pragmatis, kepentingan jangka pendek. Diktum wani piro seolah menjadi kesalahan yang dimaklumi. Maka, politik uang (money politics) menjadi tren abadi.
Tentu saja masih ada jenis pemilih rasional, pemilih berbasis gagasan dan bagaimana gagasan dikawal hingga implementasi. Namun, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, partai-partai peserta pemilu hampir tidak pernah memperhatikan pemilih rasional.
Jumlahnya yang sangat minim membuat mereka dianggap tidak ada sehingga agenda untuk menggaet pemilih rasional tidak pernah menjadi prioritas partai. Suara pemilih rasional cukup nyaring, tapi dianggap tidak memadai sebagai penentu kemenangan.
Partai-partai besar sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih.
Kondisi inilah yang membuat partai politik (dan para kandidatnya) lebih fokus ke politik kekuasaan ketimbang politik gagasan. Politik kekuasaan lebih memberikan kepastian mengenai keuntungan yang akan didapat oleh kelompoknya. Politik gagasan justru sebaliknya, selalu berorientasi pada kemaslahatan publik, bukan kepentingan individu atau kelompok. Tidak aneh jika politik gagasan selalu terpinggirkan (atau sengaja dipinggirkan) dalam proses-proses kontestasi politik.
Pemilih milenial dan Gen Z
Menghadapi Pemilu 2024, partai-partai peserta pemilu beserta para kandidatnya tidak bisa lagi terus bertahan pada orientasi kekuasaan karena pertarungan elektoral ditentukan oleh seberapa jauh memenangkan hati pemilih milenial dan generasi Z (Gen Z).
Gabungan suara milenial dan generasi Z diprediksi mencapai 70 persen dari total suara pemilih pada 2024. Disadari atau tidak, kelompok milenial dan generasi Z menjadi penentu kemenangan pertarungan kompetisi elektoral.
Hasil survei tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media bersama dengan Litbang Kompas menunjukkan tingginya antusiasme kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) untuk mengikuti Pemilu 2024. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi pada pemilu. Sementara 10,7 persen masih menimbang dan 2,6 persen lainnya menolak mengikuti ajang elektoral tersebut (dirilis 8 April 2022).
Dalam survei Litbang Kompas yang khusus menyasar Gen Z (dirilis 2 November 2022), Gen Z memiliki kesan positif pada parpol dibandingkan generasi lainnya. Sebanyak 52,1 persen dari generasi ini menilai baik citra parpol.
Lebih dari separuh Gen Z punya harapan pada lembaga ini untuk menguatkan kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak lagi mengikuti tren pemilih emosional dan transaksional.
Hasil survei Aksara Research and Consulting (dirilis 21 Desember 2022) menunjukkan kecenderungan yang sama. Antusiasme untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 cukup tinggi.
Sebanyak 70,7 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Namun, tingginya partisipasi elektoral kaum muda di Pemilu 2024 berbanding terbalik dengan keinginan mereka berafiliasi dengan partai politik. ”Hanya 13,6 persen anak muda yang menyatakan berminat menjadi anggota partai politik,” ujar Hendri Kurniawan, Direktur Eksekutif Aksara Research and Consulting.
Karena itu, pemilih dari kelompok milenial dan Gen Z pada dasarnya memiliki karakter yang berbeda dengan pemilih emosional ataupun pemilih transaksional. Meski tidak persis, mereka cenderung lebih dekat dengan pemilih rasional ketimbang pemilih emosional dan pemilih transaksional.
Karena itu, partai peserta pemilu tak bisa lagi mempertahankan politik kekuasaan dalam pertarungan kompetisi elektoral.
Karena itu, partai peserta pemilu tak bisa lagi mempertahankan politik kekuasaan dalam pertarungan kompetisi elektoral. Harus ada upaya serius untuk beralih ke politik gagasan yang mengedepankan agenda politik lima tahun ke depan yang spesifik dan terukur.
Parpol peserta pemilu tidak bisa lagi hanya menjawab pertanyaan ”bagaimana memenangi pertarungan elektoral”, tetapi juga harus mampu menjawab pertanyaan ”bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk siapa kekuasaan dikelola”. Jawaban parpol akan menentukan ke mana arah pilihan kelompok milenial dan Gen Z akan berlabuh. Kehadiran kelompok milenial dan Gen Z sebagai pemilih terbesar merupakan tantangan yang tidak bisa ditolak.
Generasi milenial dan generasi Z memiliki karakter yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial dan generasi Z mulai bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial yang membelenggu pemilih emosional; mereka juga berani menolak politik uang yang menjadi basis pemilih transaksional. Mereka relatif lebih terbuka, kritis, dan inovatif sehingga parpol harus ambil ancang-ancang strategis untuk memenangkan hati generasi milenial dan generasi Z.
Saatnya parpol melakukan pembaruan radikal menghadapi perubahan ini. Jika tidak, mereka akan ditinggalkan generasi milenial dan generasi Z!
Agus Muhammad,Deputi Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta