Menteri Cuti Sepanjang Tahapan Pilpres Bisa Mengganggu Pemerintahan
Anggota KPU RI, Idham Holik, menuturkan, pada saat mendaftar, pengundian nomor urut, dan melakukan kampanye, menteri yang menjadi capres/cawapres harus mendapat izin cuti di luar tanggungan negara dari Presiden.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuti selama tahapan pemilihan presiden yang dilakukan oleh menteri ketika berkontestasi sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sangat berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan. İIdealnya, menteri mengundurkan diri sehingga pemerintahan tidak terganggu. Hal ini sekaligus menghindari tudingan penyalahgunaan kekuasaan untuk pemenangan kontestasi elektoral.
Pasal 15 Ayat (2) Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebut, menteri atau pejabat setingkat menteri dikecualikan dari kewajiban mengundurkan diri dari jabatannya ketika dicalonkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai capres atau cawapres. Menteri tidak perlu mengundurkan diri sepanjang mendapatkan persetujuan presiden dan cuti/nonaktif sebagai menteri dan pejabat setingkat menteri.
Pada pasal tersebut juga diatur bahwa cuti dilakukan terhitung sejak ditetapkan sebagai capres dan cawapres sampai selesainya tahapan pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, cuti menteri bisa sampai setahun, mengingat tahapan penetapan pasangan calon dilakukan pada 13 November 2023 serta pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, Rabu (6/9/2023), mengatakan, persetujuan cuti atau nonaktif sebagai menteri sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden. Terkait dengan lamanya menteri harus mengajukan cuti sejak penetapan paslon sampai selesainya tahapan pilpres, pihaknya akan membicarakan lagi norma tersebut secara internal.
”Yang jelas, pada saat melakukan pendaftaran, menghadiri pengunduan nomor urut, dan melakukan kampanye, menteri harus mendapatkan izin cuti di luar tanggungan negara dari presiden,” ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menilai, idealnya menteri yang berkontestasi di pilpres sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya. Sebab, cuti sepanjang tahapan pilpres yang mencapai hampir setahun sangat berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan. Rangkap jabatan sebagai menteri sekaligus capres atau cawapres membuat kinerja di pemerintahan tidak optimal karena menteri dipastikan lebih fokus pada pemenangan pilpres.
Keberadaan wakil menteri untuk menggantikan tugas menteri yang cuti dinilai tidak akan optimal. Sebab, menteri tetap menjadi penanggung jawa utama di kementerian yang tidak tergantikan oleh wakil menteri (wamen) maupun direktur jenderal di kementerian. Terlebih, jabatan wakil menteri juga tidak ada di konstitusi.
”Lebih baik menteri mengundurkan diri kalau ingin fokus di pilpres. Pengunduran diri ini bahkan bisa menghindari tudingan penyalahgunaan kekuasaan untuk pemenangan,” ujar Djohermansyah.
Lebih jauh, ia meminta KPU agar membuat aturan mengenai cuti yang lebih detail. Sebab, cuti bisa juga dilakukan fleksibel, tidak harus selama tahapan pilpres. Menteri bisa mengajukan cuti ketika akan berkampanye saja dan di waktu-waktu yang dibutuhkan untuk pemenangan. Namun, cuti fleksibel ini tetap membutuhkan pengawasan karena ada potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menambahkan, pengunduran diri menteri bisa mencegah munculnya dua presiden atau wakil presiden dalam satu kabinet. Jika menteri yang ikut pilpres memenangkan kontestasi, akan ada presiden dan presiden terpilih selama masa tunggu pelantikan. Hal ini mengakibatkan kinerja menteri yang terpilih sebagai presiden-wapres tidak akan optimal.