Tuai Penolakan dari Parpol, KPU Diminta Tetap Revisi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
Sejumlah parpol meminta KPU tak laksanakan putusan MA yang batalkan penghitungan 30 persen perempuan dalam pencalonan tiap dapil seperti tertuang di Peraturan KPU. Jika dilaksanakan bisa picu konflik di internal parpol.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kiri) didampingi Ketua DKPP Heddy Lugito (kedua dari kiri) dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (keempat dari kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Rabu (10/5/2023). KPU melakukan pertemuan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk membahas perubahan PKPU Nomor 10 Pasal 8 Ayat (2) mengenai perhitungan bakal calon perempuan di setiap dapil. Perubahan peraturan ini ialah membuat perhitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil dilakukan pembulatan ke atas. Sebelumnya, perhitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan dihitung desimal ke bawah.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum diharapkan menunjukkan kemandiriannya dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung. Revisi Peraturan KPU tentang pencalonan anggota legislatif harus dilakukan meskipun ada penolakan dari sejumlah partai politik peserta pemilu.
Ketua Kelompok Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arif Wibowo menilai, putusan Mahkamah Agung (MA) hanya menyatakan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak sah. Namun, putusan tersebut tidak otomatis harus ditindaklanjuti oleh KPU.
”Saya tegas saja, jangan diberlakukan (putusan MA), perlu diabaikan, karena putusan MA sifatnya merekomendasikan saja. Kalau kemudian diikuti KPU dengan memaksa partai-partai melakukan perubahan terhadap susunan calegnya, akan jadi masalah,” ujarnya di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Pada 29 Agustus 2023, MA mengabulkan seluruh permohonan pengujian Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023. Pasal itu mengatur metode penghitungan 30 persen caleg perempuan, yakni pembulatan ke bawah jika penghitungan menghasilkan pecahan kurang dari 50 dan pembulatan ke atas jika hasilnya angka pecahan 50 atau lebih.
MA membatalkan norma tersebut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Politisi PDI-P Arif Wibowo.
Arif mengatakan, KPU harus melihat konteks situasi dalam mencermati putusan MA. Putusan tersebut keluar ketika KPU sudah menetapkan daftar calon sementara (DCS) untuk bakal calon anggota legislatif (caleg) yang maju di Pemilu 2024. Jika putusan MA dipaksakan untuk diberlakukan, maka akan menimbulkan masalah dalam penyusunan daftar calon. Internal parpol akan terjadi konflik karena harus menyusun ulang daftar caleg untuk menambah persentase bakal caleg perempuan. Padahal, para bakal caleg yang telah ditetapkan dalam DCS sudah bekerja keras menyosialisasikan diri dan partai ke masyarakat.
Jika dipaksakan, ia khawatir bakal caleg perempuan yang diajukan parpol akan diisi oleh dinasti politik. Sebab, parpol ingin caleg yang punya sumber daya dan jaringan yang kuat sehingga berpeluang besar mampu memenangkan partai. Hal ini bisa mengakibatkan tujuan dari penguatan perempuan di parlemen justru memperkuat politik dinasti.
”Kalau menimbang manfaat dan mudaratnya, justru lebih banyak mudaratnya karena memantik konflik. Jadi, lebih baik putusan MA diabaikan saja,” kata Arif.
Arif mengatakan, KPU harus melihat konteks situasi dalam mencermati putusan MA.
Putusan MA berdampak jika dimaknai untuk Pemilu 2024
Ketua Kelompok Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Komisi II DPR Arsul Sani mengatakan, putusan MA akan berdampak jika dimaknai bahwa putusan tersebut diberlakukan untuk Pemilu 2024. Namun, putusannya tidak akan langsung berdampak jika dimaknai bahwa putusan itu berlaku untuk pemilu berikutnya di tahun 2029.
”Pertanyaannya, apakah putusan MA itu langsung berlaku untuk Pemilu 2024 ini? Jawabannya harus kita baca dari keseluruhan putusan MA itu, baik pada pertimbangan maupun amar putusannya,” ujarnya.
RIAN SEPTIANDI
Wakil Ketua MPR Arsul Sani.
Oleh karena itu, lanjut Arsul, seluruh pihak harus membaca putusan MA secara eksplisit apakah ada perintah untuk memberlakukannya pada Pemilu 2024. Jika tidak ada perintah demikian, maka KPU, parpol-parpol, dan Komisi II DPR bisa saja sepakat untuk memberlakukan putusan MA itu pada Pemilu 2029. Sebab, saat ini, tahapan pencalonan anggota legislatif sudah mencapai pengumuman DCS sehingga implementasinya menjadi komplikatif jika harus mengatur ulang daftar caleg.
”Saya tidak ingin menggunakan istilah rekomendatif atau obligatif. Bagi saya, jika tidak ada pertimbangan dan amar yang memerintahkan putusan MA itu diberlakukan sekarang, maka bisa dimaknai itu berlaku untuk pemilu berikutnya,” ujar Arsul.
Anggota KPU, Mochammad Afifuddin, mengatakan, hingga Kamis petang pihaknya belum menerima salinan resmi dari MA. ”Jika nanti sudah ada putusan lengkapnya, KPU akan mempelajari untuk kemudian mengikuti putusan MA,” ucapnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, KPU harus memiliki iktikad baik dalam melaksanakan putusan MA. Penolakan dari parpol peserta pemilu harus diabaikan karena pelaksanaan putusan MA menjadi tanggung jawab KPU. Terlebih, KPU harus menerapkan prinsip mandiri dalam melaksanakan seluruh tahapan pemilu.
”Otoritas untuk mengimplementasikan putusan MA ada di KPU, jadi tidak perlu mencari alasan-alasan untuk menghindar dan tidak menindaklanjuti," katanya.
Menurut dia, putusan MA seperti putusan pengadilan lain sifatnya perintah. Pihak-pihak terkait harus melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya bukan rekomendatif. Sekalipun ada suara-suara penolakan dari parpol, hal itu sebatas menjadi bahan masukan karena KPU bukanlah sub ordinasi dari parpol dan DPR. Sebab, otoritas dan pertanggung jawaban dalam melaksanakan putusan MA ada di KPU.
”Peserta pemilu sah-sah saja memberikan masukan, tetapi KPU sebagai lembaga yang mandiri harus melaksanakan putusan MA. Buktikan kalau KPU masih punya kemandirian,” ujar Fadli.
Putusan MA seperti putusan pengadilan lain sifatnya perintah. Pihak-pihak terkait harus melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya bukan rekomendatif.
Kegagalan parpol melakukan kaderisasi
Sementara itu, hasil anatomi DCS Pileg 2024 yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan gejala kegagalan parpol melakukan kaderisasi. Sebab, banyak caleg petahana dan dinasti yang didaftarkan parpol untuk mengikuti kontestasi pileg di tingkat DPR.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan, dari 575 anggota DPR, sebanyak 521 orang atau 91 persen didaftarkan lagi oleh parpol untuk pileg. Persentase terbanyak caleg petahana ada di Partai Demokrat (98,15 persen), Partai Keadilan Sejahtera (98 persen), Partai Persatuan Pembangunan (94,74 persen), dan Partai Golkar (94,12 persen). Mayoritas petahana tersebut didaftarkan pada nomor urut 1 hingga 3.
Menurut dia, caleg petahana masih menjadi andalan bagi parpol untuk merebut kursi di dapilnya masing-masing. Peluang mereka untuk kembali terpilih sangat besar karena sudah memiliki basis masa dan dikenal sejak pemilu sebelumnya. ”Wajah DPR hasil Pemilu 2024 diperkirakan tidak banyak berubah jika mayoritas anggota DPR yang mencalonkan (diri) lagi terpilih kembali,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana Sidang Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara tahun anggaran 2024 disertai nota keuangan dan pendukungnya.
Selain itu, Formappi juga menemukan ada 50 caleg yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat tertentu atau politik dinasti yang tersebar di 10 parpol. Sekalipun tidak dilarang, menguatnya politik dinasti akan mengonsolidasikan kekuasaan di kelompok tertentu. Situasi ini bisa memperkuat oligarki karena kekuasaan hanya berada di lingkaran elite tertentu.
Lucius menilai, masifnya caleg petahana dan politik dinasti di Pileg 2024 mengindikasikan parpol gagal melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Parpol cenderung mengandalkan orang-orang yang punya sumber daya modal dan jaringan kuat untuk berkontestasi di pileg. ”Jika melihat anatomi DCS Pileg 2024, bisa dikatakan parpol masih gagal menjalankan fungsinya,” ujarnya.