Survei LSI: Ganjar dan Prabowo Bersaing Ketat, Kampanye Hitam Berpotensi Masif
Survei LSI merekam selisih elektabilitas Ganjar dan Prabowo sangat tipis. Kompetisi yang semakin ketat dikhawatirkan memicu penggunaan kampanye hitam dan politik uang.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
Saat ketiga nama bakal capres saling dihadapkan, Ganjar unggul atas Anies, tetapi tertinggal dari Prabowo. Prabowo juga unggul saat dihadapkan dengan Anies.
Potensi keterbelahan dalam Pemilu 2024 tidak sebesar pemilu sebelumnya.
Posisi teratas bakal capres masih bisa terus bergerak.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei Lembaga Survei Indonesia atau LSI terbaru menunjukkan jarak elektabilitas antarbakal calon presiden posisi teratas kian ketat. Kecenderungan pemilih untuk mengubah pilihan capres juga semakin kecil. Kompetisi antar-bakal capres pun dinilai semakin sengit dan berpotensi mendorong penggunaan kampanye hitam, negatif, bahkan politik identitas.
Survei LSI periode 3-9 Agustus 2023 merekam tingkat keterpilihan Ganjar Pranowo, bakal capres dari PDI-P, mencapai 24,2 persen. Elektabilitas Prabowo Subianto, bakal capres yang diusung Gerindra, 22,6 persen. Adapun elektabilitas Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), 16,4 persen.
Survei oleh LSI ini dilakukan secara tatap muka yang melibatkan 1.220 responden dari 38 provinsi dengan margin of error lebih kurang 2,9 persen.
Dinamika pilpres mendatang semakin tinggi
Urutan elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies terus bertahan dalam simulasi semiterbuka 35 nama, simulasi tertutup 10 nama, 4 nama, hingga tiga nama. Saat ketiga nama bakal capres saling dihadapkan, Ganjar unggul atas Anies, tetapi tertinggal dari Prabowo. Prabowo juga unggul saat dihadapkan dengan Anies.
Peneliti utama di Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, berpandangan, dinamika pemilu presiden mendatang semakin tinggi terlihat dari tingkat keterpilihan yang saling salip-menyalip. Selisih elektabilitas yang tipis tentu akan mendorong pendukung masing-masing bakal capres melakukan segala cara.
”Tipis sekali selisihnya. Saya khawatir selisih tipis, satu suara akan jadi semakin penting. Kompetisi juga jadi sengit. Isu-isu yang berkaitan dengan kampanye hitam bisa berujung masif digunakan,” ujarnya saat pemaparan rilis survei nasional LSI mengenai isu hukum dan peta politik Pemilu 2024 secara daring, di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Sengitnya kompetisi, lanjut Burhanuddin, akan memicu tarik-menarik suara demi kepentingan elektoral yang semakin tinggi. Dalam proses tarik-menarik itu, langkah tidak terpuji, seperti kampanye hitam, negatif, dan politik identitas, akan dimanfaatkan untuk menyerang calon lain.
Saat ini, unsur yang terpenuhi baru satu, yakni kompetisi yang semakin sengit. Narasi-narasi yang saling mempertentangkan satu sama lain itu belum terlalu terlihat.
Ketika hal itu terjadi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu berhati-hati. Sebab, langkah tidak terpuji itu berjalan selaras dengan penggunaan politik uang demi kepentingan tertentu.
Meskipun demikian, Burhanuddin menyebut potensi keterbelahan dalam Pemilu 2024 tidak sebesar pemilu sebelumnya. Ini karena pendeknya masa kampanye dan kompetisi menuju putaran dua pemilu.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menuturkan, potensi keterbelahan tetap harus diwaspadai. Adapun hal itu bisa terjadi karena tiga faktor, antara lain, pertarungan bipolar atau berhadap-hadapan antarcalon, narasi yang saling mengancam, dan kompetisi yang sengit.
”Saat ini, unsur yang terpenuhi baru satu, yakni kompetisi yang semakin sengit. Narasi-narasi yang saling mempertentangkan satu sama lain itu belum terlalu terlihat,” katanya.
Posisi teratas bakal capres terus bergerak
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Philips J Vermonte berpendapat, selisih tipis antarbakal capres umumnya terjadi saat beberapa minggu sebelum pencoblosan, dalam hal ini bulan Desember 2023. Artinya, posisi teratas bakal capres masih bisa terus bergerak.
Dalam simulasi tiga bakal capres, Ganjar, Prabowo, dan Anies yang dilengkapi bakal cawapres, tidak terdapat pasangan dengan elektabilitas melebihi 40 persen. Artinya, tingkat keterpilihan dari bakal cawapres tidak terlalu berarti.
Menurut Philips, pertimbangan bakal cawapres akan dilakukan melalui kelemahan elektoral bakal capres di wilayah tertentu. Misalnya, Ganjar yang kuat di Jawa Tengah akan menutupi kelemahannya di Jawa Timur, Banten, atau luar Jawa.
”Selain itu, ada juga fenomena split vote antara pilihan partai politik dan capres. Misalnya PPP, masih banyak pemilihnya yang mendukung Anies, padahal berada dalam barisan pendukung Ganjar,” katanya.
Elektabilitas Anies cenderung stagnan
Apalagi, survei LSI juga merekam 64,6 persen dari pemilih termasuk pemilih kuat yang kecil kemungkinan dalam mengubah pilihan capres. Sementara itu, hanya 33,8 persen responden yang berpotensi berpindah arah dukungan saat Pilpres 2024.
Secara spesifik, Philips menyoroti elektabilitas Anies yang cenderung stagnan. Philips menduga bahwa parpol yang tergabung dalam KPP, seperti Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat, sudah mendapatkan efek ekor jas dari dukungan ke Anies.
Philips menduga bahwa parpol yang tergabung dalam KPP, seperti Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat, sudah mendapatkan efek ekor jas.
”Parpol pendukung Anies (dalam survei LSI) semuanya sudah memenuhi ambang batas parlemen minimum 4 persen. Sudah dapat efek ekor jas semua, jadi mungkin santai dulu,” kata Ketua Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) itu.
Merujuk survei LSI, elektabilitas Partai Nasdem sebesar 5 persen, PKS 5,2 persen, sedangkan Demokrat mencapai 6,6 persen. Oleh karena itu, upaya peningkatan elektabilitas Anies dinilai perlu didiskusikan kembali oleh KPP.