Penanggulangan Polusi, Antara Kebijakan dan Pertanyaan Publik
Penanggulangan polusi di Jabodetabek terkesan belum membawa perubahan. Solusi menyeluruh dan berbasis data perlu konsistensi agar tak menimbulkan banyak pertanyaan publik.
Sebagaimana polutan yang masih menggelayut menjadi "mendung" di langit Jakarta, perbincangan dan solusinya pun tampaknya juga masih menggantung. Penyakit terkait infeksi saluran pernapasan atas atau Ispa juga belum lepas dari masyarakat. Berlarut-larut penderitaan dan ancamannya.
Pertanyaan terkait penanganan polusi udara akhirnya mengemuka saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, Rabu (30/8/2023). Kepala Negara dalam keterangannya pun menyampaikan, penyelesaian masalah polusi udara memerlukan usaha bersama dari berbagai pihak. Pasalnya, tidak gampang, seperti membalikkan tangan solusinya.
"(Untuk menangani polusi) ini dibutuhkan usaha bersama-sama, semuanya, dan yang dilakukan juga semuanya harus melakukan (langkah-langkah). Perpindahan dari transportasi pribadi ke transportasi publik, ke transportasi massal, penanaman pohon yang sebanyak-banyaknya di kantor-kantor, di halaman kantor-kantor yang memang belum ada pohonnya, diwajibkan dan diharuskan," pinta Presiden.
Rapat terbatas terkait penanganan polusi udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah dua kali dilakukan. Setelah ratas pertama pada 14 Agustus lalu, Presiden Jokowi memimpin ratas kedua tepat dua pekan setelahnya, 28 Agustus. Udara di Jabodetabek masih pekat, padahal beberapa langkah seperti penerapan kerja dari rumah (work from home/ WFH) untuk sebagian aparatur sipil negara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, modifikasi cuaca, dan uji emisi mulai dilakukan.
Baca Juga: Presiden Tegaskan Bakal Tutup Industri Sumber Polusi yang Bandel
Upaya kerja dari rumah alias WFH kali ini memang berbeda. Saat pandemi Covid-19, masyarakat cenderung enggan keluar rumah untuk mengurangi kemungkinan penularan. Kali ini, penerapan WFH hanya untuk pegawai Pemprov DKI. Kalaupun ASN di kementerian/lembaga diminta WFH secara bergantian seperti dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Azwar Anas, hal ini hanya berlaku 28 Agustus sampai 7 September saja. Tujuannya agar kemacetan berkurang saat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta.
"(Untuk menangani polusi) ini dibutuhkan usaha bersama-sama, semuanya, dan yang dilakukan juga semuanya harus melakukan (langkah-langkah).
Azwar Anas, seusai ratas Senin lalu itu pun menyampaikan kekhawatiran bila ASN yang diberi kesempatan WFH malah bepergian dengan kendaraan. Akhirnya, tujuan mengurangi emisi bahan bakar malah tak tercapai. Karena itu, tambah Azwar Anas, langkah itu masih perlu kajian mendalam.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pun akhirnya mengakui beberapa faktor penyebab polusi setelah berkeras menuding asap kendaraan bermotor dan membantah pembangkit listrik di Serang, Banten, sebagai penyebabnya. Hal itu disampaikan usai ratas pertama. pada Senin lalu itu. Waktu itu Siti mengatakan, sumber pencemar udara di Jabodetabek teridentifikasi 44 persen dari kendaraan bermotor, 34 persen dari PLTU, dan sisanya penyebab lain termasuk rumah tangga dan pembakaran.
Terkait solusi penanganan polusi, Presiden Jokowi dalam keterangan kepada wartawan di Semarang menyebutkan, pemerintah telah berupaya mengatasinya, antara lain, dengan melakukan teknik modifikasi cuaca (TMC). Selain itu, pemerintah juga kembali mengimbau penerapan sistem kerja dari rumah atau (WFH). "Kemudian, pengawasan kepada industri PLTU. Semuanya juga sekarang ini dilakukan, kepada sepeda motor, mobil, dicek semuanya emisinya," kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Sanksi pasti dan bisa ditutup (industrinya). Saya kemarin di rapat sudah sampaikan, kalau tidak mau memperbaiki, tidak pasang scrubber, tegas untuk ini, karena harga kesehatan yang harus kita bayar itu sangat mahal"
Tak hanya itu, pemerintah pun akan memberikan sanksi tegas kepada industri-industri yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah. "Sanksi pasti dan bisa ditutup (industrinya). Saya kemarin di rapat sudah sampaikan, kalau tidak mau memperbaiki, tidak pasang scrubber, tegas untuk ini, karena harga kesehatan yang harus kita bayar itu sangat mahal," ujar Presiden Jokowi.
Namun, Presiden pun tidak menampik bahwa penyelesaian persoalan polusi udara memang dilakukan secara bertahap sehingga membutuhkan waktu. "Saya kira ini memang perlu kerja total, kerja bersama-sama, tetapi memerlukan waktu, tidak bisa langsung. Termasuk pemakaian mobil listrik. Banyak yang kita kerjakan untuk menyelesaikan ini, tapi memang bertahap," kata mantan Wali Kota Surakarta tersebut.
Baca juga: Presiden Minta Solusi Jangka Pendek Hingga Panjang
Kebijakan jangka pendek yang diambil sejauh ini pun diakui belum terasa manfaatnya. WFH tak berpengaruh pada kondisi udara di Jabodetabek. Teknologi modifikasi cuaca dengan menjatuhkan ribuan kilogram garam untuk menurunkan hujan pun tak mudah dilakukan. Sebab, di musim kemarau, awan yang terbentuk tidak banyak. Akibatnya, kalaupun hujan, durasinya hanya beberapa menit. Selain itu, setelah hujan berlalu, kondisi polusi yang buruk kembali lagi.
Penambahan transportasi publik bertenaga listrik mulai dilakukan kendati perlahan. Selain itu, dukungan kendaraan pengumpan ke angkutan transportasi massal masih perlu dibenahi.
Sudah menahun
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai polusi terjadi menahun karenanya tak mungkin ada solusi cepat. Justru, kata Agus, semestinya semua aturan yang sudah ada ditegakkan. Perusahaan yang melepas limbah ke udara mesti diberi sanksi tegas. Kendaraan dengan emisi tak seusai standar juga diberi sanksi. Konsistensi penegakan hukum menjadi kuncinya.
“Aturannya sebenarnya sudah lengkap, tinggal dijalankan saja dulu, baru setelah enam bulan dievaluasi”
“Aturannya sebenarnya sudah lengkap, tinggal dijalankan saja dulu, baru setelah enam bulan dievaluasi,” ujarnya.
Justru, menurut Agus, langkah memaksakan teknologi modifikasi cuaca di musim kemarau malah menjadi pemborosan anggaran dan jelas tak efektif. Selain itu, langkah mendadak ini tentu mengacaukan penganggaran.
Sementara itu, Pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya Gitadi Tegas Supramudyo menilai, diperlukan kajian yang cerdas dan komprehensif untuk menunjukkan penyebab polusi ini. Tanpa kajian yang jelas, kebijakan yang ada hanya menimbulkan prasangka masyarakat. Pemerintah seakan memiliki agenda tersembunyi seperti mendorong penjualan kendaraan listrik.
Pengalihan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik, misalnya, dipertanyakan. Sebab, listrik yang disiapkan untuk mengisi kendaraan listrik tersebut dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sementara, dalam keterangan pers Menteri LHK Siti Nurbaya, PLTU disebut juga menyumbang polusi Jabodetabek.
Pendekatan holistik
Secara terpisah, sebelumnya, ekonom dan pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat berpendapat, solusi untuk mengatasi polusi udara di Jakarta memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua sektor. “Sebagai warga Jakarta, kita perlu terlibat aktif dalam diskusi ini dan mendorong pemerintah untuk mencari solusi yang benar-benar efektif dan berkelanjutan,” katanya.
Dalam kritiknya, Achmad Nur mempertanyakan sejumlah solusi yang selama ini disodorkan pemerintah dalam menangani polusi udara. Menurut dia, peralihan ke kendaraan yang sering disebut sebagai jalan keluar tidak menjamin terhapusnya polusi. Hal ini karena faktor kendaraan bukan satu-satunya penyebab solusi.
“Meskipun transportasi – khususnya kendaraan pribadi – adalah kontributor besar, sumber polusi lain seperti industri, pembangunan, pembakaran sampah, dan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) juga memberikan kontribusi signifikan. Sebuah pendekatan holistik diperlukan, bukan hanya fokus pada salah satu penyebab”
“Meskipun transportasi – khususnya kendaraan pribadi – adalah kontributor besar, sumber polusi lain seperti industri, pembangunan, pembakaran sampah, dan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) juga memberikan kontribusi signifikan. Sebuah pendekatan holistik diperlukan, bukan hanya fokus pada salah satu penyebab,” kata Nur.
Pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke IKN di Penajam, Kalimantan Timur yang mungkin terdengar sebagai langkah progresif, menurut dia, juga bukanlah solusi cepat. Pemindahan ibu kota tidak akan menyelesaikan masalah polusi di Jakarta. Polusi akan tetap ada dan membutuhkan penanganan serius.
Achmad Nur menuturkan, subsidi untuk kendaraan listrik mungkin tampak menarik tetapi manfaatnya mungkin hanya dinikmati segelintir orang. Banyak masyarakat miskin yang dimungkinkan tidak mendapat manfaat dari kebijakan ini. “Sebuah pendekatan yang lebih inklusif seperti memperbaiki transportasi publik bisa menjadi jalan keluar,” katanya.
Baca juga: MInim Awan di Jabodetabek Modifikasi Cuaca Dihentikan Sementara
Dia juga menyoroti PLTU yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan listrik, namun kontribusinya terhadap polusi sering diabaikan. “Konsumsi batu bara oleh PLTU menghasilkan polutan berbahaya. Dengan meningkatnya penggunaan kendaraan listrik, permintaan untuk listrik akan meningkat, meningkatkan konsumsi batu bara, dan polusi yang dihasilkannya,” ujar Achmad Nur.
Mengatasi polusi ini, bukan hanya kebijakan yang tepat yang diperlukan, tetapi juga menunjukkan analisa penyebab secara jelas. Dengan demikian, kepercayaan publik terbentuk. Kebijakan yang diambil pun mendapat dukungan. Lebih lagi, polusi teratasi!.