Panglima TNI Instruksikan Prajurit Penganiaya Imam Masykur Dituntut Mati atau Seumur Hidup
Penganiayaan hingga mengakibatkan kematian yang dilakukan sejumlah anggota TNI dinilai mencoreng nama baik lembaga. Masyarakat sipil mendesak agar para pelaku diadili di peradilan umum.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panglima TNI Yudo Margono melalui Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menginstruksikan agar pelaku penganiayaan yang menewaskan seorang pemuda Aceh, Imam Masykur (25), dituntut hukuman mati atau penjara seumur hidup. Sementara itu, koalisi masyarakat sipil menilai kekerasan akan terus berulang apabila sistem peradilan militer tak kunjung diperbaiki.
Adapun penganiayaan yang menewaskan Imam Masykur, pemuda asal Desa Mon Kelayu, Kabupaten Bireuen, Aceh, melibatkan sejumlah anggota TNI. Salah satu dari pelaku merupakan anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berpangkat prajurit kepala dengan inisial RM.
Julius menyatakan, Panglima TNI turut prihatin dan berjanji akan mengawal kasus dugaan penganiayaan terhadap Imam yang dilakukan oleh anggotanya. Selain itu, Panglima TNI juga menginstruksikan agar pelaku dutuntut hukuman mati atau penjara seumur hidup. ”Instruksi Panglima TNI, hukuman mati atau penjara seumur hidup. Karena termasuk tindak pidana berat, para pelaku sudah pasti dipecat dari TNI. Sebab, hal yang mereka lakukan adalah perencanaan pembunuhan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (28/8/2023).
Pemeriksaan prajurit TNI yang terlibat kini dilakukan oleh Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jaya. Berdasarkan Laporan Polisi Pomdam Jaya Nomor LP-63/A-56/VIII/2023Idik tanggal 22 Agustus 2023, penganiayaan yang mengakibatkan kematian dilakukan oleh Praka RM dan dua pelaku lain.
Sebelumnya, beredar video penyiksaan terhadap Imam Masykur. Dalam video itu, Imam dipukuli berulang dengan benda tumpul semacam gesper hingga punggungnya penuh luka. Pada video lain, Imam juga sempat meminta keluarganya untuk mengirim uang Rp 50 juta sebagai tebusan. Jika keluarga tidak mengirim uang, Imam akan dibunuh.
Selain mencoreng nama baik lembaga, kasus ini menjadi bukti bahwa aksi kekerasan dan kejahatan yang melibatkan anggota TNI belum berhenti.
Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menilai kasus tersebut sebagai suatu bentuk kejahatan kejam, keji, dan tidak berperikemanusiaan. Mereka juga mendesak agar proses hukum dilakukan dalam peradilan umum, bukan melalui peradilan militer.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra, anggota dari Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, mengatakan, proses hukum harus dilakukan transparan dan akuntabel. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya dapat terpenuhi.
”Selain mencoreng nama baik lembaga, kasus ini menjadi bukti bahwa aksi kekerasan dan kejahatan yang melibatkan anggota TNI belum berhenti. Hal ini akan terus terjadi selama tidak ada penghukuman yang adil dan maksimal terhadap anggota militer yang terlibat kejahatan,” katanya.
Adapun sejumlah kasus itu di antaranya penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, dan korupsi pembelian helikopter AW-101. Menurut Dimas, pembunuhan berencana terhadap Imam Masykur menambah panjang daftar kekerasan oleh anggota TNI.
Sementara itu, peradilan militer tempat anggota TNI diadili tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil serta mengedepankan transparansi. Peradilan militer cenderung dinilai sebagai sarana impunitas bagi anggota TNI yang terlibat kejahatan.
”Kami mendesak agar Presiden dan DPR segera mereformasi peradilan militer dengan cara membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang perubahan sistem peradilan militer atau mengajukan revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” kata Dimas.
Reformasi peradilan militer merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Artinya, semua warga negara punya kedudukan sama di hadapan hukum sehingga wajib diadili dalam peradilan yang sama jika terlibat kejahatan dalam ruang lingkup peradilan umum.