MA Ubah Hukuman Mati Jadi Seumur Hidup karena Pertimbangkan Jasa Sambo
Ada sejumlah pertimbangan yang membuat majelis hakim kasasi memotong hukuman Ferdy Sambo, bekas Kepala Divisi Propam Polri, dari hukuman mati menjadi seumur hidup. Apa saja alasan itu?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Terdakwa Ferdy Sambo memasuki ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Alasan Mahkamah Agung mengubah vonis mati menjadi seumur hidup bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara RI, Ferdy Sambo, akhirnya terkuak. Majelis kasasi mempertimbangkan jasa Sambo kepada negara, di mana dia telah mengabdi sebagai anggota Polri lebih kurang 30 tahun. Sambo juga dinilai telah berkontribusi dalam menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum di Tanah Air.
Selain itu, majelis kasasi juga mempertimbangkan politik hukum nasional tentang pidana mati yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah bergeser dari paradigma retributif atau pembalasan atau lex talionis menjadi pencegahan, rehabilitasi, penyelesaian konflik, penciptaan rasa aman dan lainnya.
”Terdakwa juga tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan sehingga selaras dengan tujuan pemidanaan yang ingin menumbuhkan rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana,” demikian bunyi pertimbangan majelis kasasi perkara nomor 813 K/Pid/2023 halaman 40 yang diunggah di laman Mahkamah Agung, Senin (28/8/2023).
Sebelumnya, majelis kasasi membatalkan vonis mati kepada Sambo yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan dijatuhkan oleh majelis kasasi yang diketuai Ketua Kamar Pidana MA Suhadi dengan hakim anggota terdiri dari hakim agung Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana. Tiga hakim setuju mengubah putusan Sambo menjadi seumur hidup, sedangkan dua lainnya berpendirian Sambo sudah selayaknya dihukum mati.
Dalam pertimbangannya, majelis kasasi menyatakan Sambo terbukti bersalah karena menyuruh Richard Eliezer Pudihang Lumiu menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat. Selain itu, Sambo juga ikut menembak korban hingga meninggal.
”Namun, hal tersebut dipicu oleh motif atau alasan adanya peristiwa Magelang yang oleh terdakwa peristiwa tersebut telah mengguncang jiwanya, menjadikan terdakwa marah besar dan emosional karena peristiwa tersebut dipahami terdakwa menyangkut harkat dan martabat serta harga diri terdakwa dan keluarganya,” demikian bunyi pertimbangan MA.
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat), Richard Eliezer, tengah menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/10/2022).
Majelis kasasi mengakui bahwa pengadilan tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi di Magelang yang mengakibatkan Sambo marah besar, emosional dan tidak mampu mengontrol amarah tersebut. Yang pasti, hal itu tidak mungkin dapat menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan Sambo menghabisi nyawa Brigadir J atau Nofriansyah serta tidak dapat menggugurkan pertanggungjawaban pidananya.
”Dengan pertimbangan tersebut, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup,” demikian bunyi putusan MA.
Pendapat berbeda
Hakim agung Jupriyadi dan Desnayeti mengajukan pendapat berbeda. Dalam pendapatnya, Jupriyadi menyatakan putusan judex facti yang menyatakan Sambo melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 sudah tepat dan benar. PN Jaksel dan PT DKI telah tepat dan benar menerapkan peraturan sebagaimana mestinya, tidak melampaui kewenangannya, serta telah mendasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku.
Terkait peristiwa pidana yang disebabkan harga diri dan kehormatannya terluka dalam kaitannya dengan peristiwa yang menimpa istrinya, Putri Candrawathi, Jupriyadi berpandangan bahwa tindakan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Apalagi, yang bersangkutan adalah aparat penegak hukum dengan jabatan yang tinggi, yaitu pengawas polisi di seluruh Indonesia.
”Terdakwa merupakan salah satu teladan bagi seluruh anggota Polri, seharusnya terdakwa dapat pula memerintahkan jajarannya memeriksa korban dan dapat menjatuhkan sanksi kepada korban jika terbukti telah melakukan kesalahan atau pelanggaran kode etik,” kata Jupriyadi dalam pendapat berbedanya.
Dengan kata lain, katanya, alasan pembelaan terpaksa oleh karena harga diri dan kehormatannya terluka dalam kaitannya dengan peristiwa yang menimpa istrinya, sebagaimana dalam memori kasasi terdakwa tidak beralasan hukum dan haruslah dikesampingkan.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J, Putri Candrawathi, memasuki ruang sidang utama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/10/2022).
Hal senada juga diungkapkan Desnayeti dalam pertimbangannya. Seharusnya, Sambo melakukan cek dan ricek atas laporan pelecehan Putri oleh Nofriansyah Yosua Hutabarat. Selain itu, tindakan Sambo yang turut menembak Yosua menunjukkan bahwa yang bersangkutan betul-betul menginginkan kematian Yosua di tangannya. Sebab, pada saat itu, korban (Nofriansyah Yosua Hutabarat) masih bergerak dengan mengerang kesakitan.
Apalagi, Sambo menyusun skenario sedemikian rupa dengan tujuan menghilangkan jejak dalam kasus penembakan tersebut sehingga selamat dari jeratan hukum.
”Bahwa semua keadaan yang diuraikan di atas, maka terdakwa sebagai seorang perwira polisi dalam jabatan pejabat utama Kepolisian Negara RI yang telah menghakimi dan mengeksekusi ajudannya sendiri tanpa klarifikasi sama sekali, telah membuat rasa kecewa pihak keluarga korban bahkan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, beralasan untuk menolak kasasi terdakwa dan tetap mempertahankan putusan judex facti,” kata Desnayeti dalam pertimbangan DO-nya.