Berkunjung ke Ponpes KHAS, Wapres: Santri Bisa Jadi Apa Saja
Peran pondok pesantren kini semakin luas. Pesantren tidak hanya mencetak orang yang paham agama, tetapi juga bisa melahirkan presiden. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun mendorong santri berkiprah di berbagai bidang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Peran pondok pesantren kini semakin luas. Pesantren tidak hanya mencetak orang yang paham agama, tetapi juga melahirkan pegawai negeri, pengusaha, serta presiden. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun mendorong santri berkiprah di berbagai bidang.
Wapres Amin menyampaikan hal itu saat menghadiri haul ke-34 KH Aqil Siroj (KHAS) di Ponpes KHAS Kempek, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (26/8/2023). Turut hadir pembina dan pengasuh pesantren itu, yakni KH Said Aqil Siroj dan KH Musthofa Aqil Siroj.
”Saya bangga karena menjadi santri. Ternyata, santri itu bisa jadi apa saja. Bisa jadi, camat, bupati, gubernur, menteri, bisa jadi presiden, dan wakil presiden. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) itu, kan, presiden (ke-4),” ujar Wapres Amin disambut tepuk tangan hadirin.
Wapres Amin juga mencontohkan Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang merupakan lulusan pesantren. ”Oleh karena itu, kita harap ke depan santri-santri ini mengisi tempat-tempat yang memang (dibutuhkan) untuk membangun umat,” kata Wapres.
Menurut Wapres, lulusan pesantren kini semakin dapat diakui kualitasnya seiring munculnya program peningkatan kapasitas dan keterampilan di ponpes. Bahkan, banyak pesantren yang memiliki balai latihan kerja untuk peningkatan keterampilan dan kemampuan (upskilling) santri.
Wapres pun menilai wajar jika santri mendapatkan kesempatan bekerja lebih luas. ”Pertama, tidak ada larangan dari mana pun. Yang kedua, memang ada prioritas bagi mereka yang memiliki kekhususan itu, bahkan ada yang tanpa tes karena diperlukan tenaganya,” ujar Wapres.
Di TNI AD, misalnya, lanjut Wapres, ada upaya KSAD Jenderal TNI Dudung membuka jalur khusus dari lulusan pesantren untuk menjadi bintara atau perwira. Begitu pun dengan sejumlah badan usaha milik negara yang membuka lowongan kerja bagi penghafal Al Quran.
Wapres juga menekankan peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi. ”Jadi, pesantren kalau dulu melahirkan mujahid-mujahid yang berjuang mengusir Belanda, sekarang tidak ada Belandanya. Sekarang adalah mujahid ekonomi,” ucapnya.
Jihad ekonomi dapat dimulai dengan membangun kemandirian pesantren hingga kemandirian umat. “Supaya umat ini bisa mandiri, hidup tidak tergantung oleh siapa pun dan kedua memberikan kontribusi yang lebih besar dalam rangka pembangunan nasional,” ucap Wapres.
Wapres juga menekankan, jihad ekonomi adalah tanggung jawab kebangsaan. Sebab, mencintai tanah air adalah bagian dari iman. ”Itu adalah mengajak kita untuk mengambil peran di dalam rangka pembangunan bangsa dan negara menuju Indonesia maju dan sejahtera,” pesan Wapres.
Jadi, pesantren kalau dulu melahirkan mujahid-mujahid yang berjuang mengusir Belanda, sekarang tidak ada Belandanya. Sekarang adalah mujahid ekonomi.
Apalagi, lanjut Wapres, bangsa ini akan memasuki Indonesia Emas tahun 2045, yang ditandai dengan dominasi penduduk usia produktif. Pada periode itu, Indonesia ditargetkan lebih maju dan sejahtera. Puluhan ribu pesantren dengan jutaan santri pun diharapkan ikut berkontribusi.
”Jangan (sampai), ketika orang lepas landas, pesantren ini (masih) tinggal di landasan. Ya, ketinggalan,” ucap Wapres. Pihaknya pun mendorong pesantren agar terus ikut membangun bangsa ini. Salah satunya, melalui Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
Wapres yang juga Ketua Harian KNEKS mengatakan, lembaga serupa telah dibentuk di 20 provinsi dengan pimpinan kepala daerah. Pihaknya mengembangkan kawasan industri halal yang melibatkan santri dan menargetkan Indonesia menjadi produsen industri halal terbesar di dunia.
Meski memiliki peran sebagai pemberdayaan masyarakat hingga pembangunan ekonomi nasional, Wapres mengingatkan agar pesantren tetap menjadi pusat transmisi ilmu. Menurut Wapres, pesantren menjadi penyambung berbagai pandangan ulama terdahulu dengan kekinian.
”Di pesantren inilah transmisi ini disambungkan sehingga ilmu orang dulu dan ilmu orang sekarang itu tidak terjadi konslet (korsleting/terputus), tidak terjadi kesalahpahaman dan tabrakan-tabrakan (pemahaman),” ungkap Wapres.
Mantan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menambahkan, pesantren ialah akhir budaya umat Indonesia sekaligus sumber budaya. ”Jadi, dua fungsinya. Pesantren merupakan warisan budaya dari leluhur dan sumber budaya untuk generasi nanti,” ujarnya.
KH Said mencontohkan, ajaran nasionalisme dari ulama NU kini masih diwariskan ke santri. ”Namun, kita harus menyempurnakan kekurangan pesantren, seperti manajemen, kebersihan, dan lembaga pendidikan yang dibutuhkan. Kalau tidak, kita akan tertinggal,” ujarnya.