Ketika Jokowi Curhat Pengalamannya sebagai Presiden
Presiden Jokowi sempat mencurahkan perasaan hatinya bahwa menjadi presiden tidaklah senyaman persepsi publik. Curahan hati itu, menurut perspektif Jawa, dapat dimaknai sebagai upaya menunjukkan posisi dirinya.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
Alih-alih menyampaikan secara kaku dan formal, Presiden Joko Widodo masih menyisipkan curahan hatinya mengenai pengalamannya sebagai Presiden RI di pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2023. Tak hanya itu, Jokowi juga mengungkap berbagai julukan yang kerap dialamatkan kepada dirinya, sikap yang dalam perspektif Jawa memiliki makna sendiri.
Pada salah satu bagian pidatonya, Jokowi menegaskan posisi presiden tidak senyaman yang dipersepsikan publik. ”Bapak Ibu yang saya muliakan. Posisi presiden itu tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan,” kata Presiden Jokowi di sidang tahunan MPR di Gedung Nusantara Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah di Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Dalam acara itu, hadir Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Hadir pula para menteri Kabinet Indonesia Maju, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, dan istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, yakni Sinta Nuriyah Wahid. Selain itu, para ketua umum partai politik juga hadir.
Di era media sosial seperti saat ini, menurut Jokowi, persoalan apa pun dengan mudah bisa sampai ke telinganya. ”Mulai dari masalah rakyat di pinggiran sampai kemarahan, sampai ejekan, dan bahkan makian dan fitnahan, bisa dengan mudah disampaikan dengan media sosial,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Sebagai Presiden, Jokowi merasa kenyang dengan kemarahan, ejekan, makian, dan fitnahan. ”Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya ndak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja,” kata Presiden Jokowi disambut tepuk tangan hadirin.
Namun, Presiden mengaku sedih terutama karena budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa kelihatannya mulai hilang. ”Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini—sekali lagi—polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia yang besar,” ujar Presiden Jokowi.
Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini—sekali lagi—polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia yang besar.
Kepala Negara menuturkan memang tidak semua seperti itu. ”Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa, untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik, bersatu menjaga mentalitas masyarakat, sehingga kita bisa tetap melangkah maju menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia maju, menuju Indonesia Emas 2045,” kata Presiden Jokowi.
Tak hanya Jokowi, pendapat bahwa kursi kepresidenan tidaklah senyaman yang dibayangkan banyak orang ini pun pernah diungkapkan oleh Abraham Lincoln di tahun 1850 atau 11 tahun sebelum ia menjabat sebagai Presiden ke-16 AS (1861-1865). Pandangan mengenai hal ini disampaikan Lincoln saat berpidato mengenang Presiden ke-12 AS Zachary Taylor (1849-1850).
Dengan menggunakan majas personifikasi, Lincoln kala itu pada intinya menyebut bahwa jabatan presiden, bahkan untuk politisi yang paling berpengalaman sekalipun, memang bukanlah kebun mawar. Namun, mereka yang mengisi jabatan itu akan selalu menemukan duri-duri di dalamnya.
Gaya Presiden Jokowi dalam menanggapi kemarahan, ejekan, makian, ataupun fitnah tentu dapat dilihat dari berbagai sisi. ”Kalau saya melihatnya dari perspektif budaya Jawa, (yakni) bahwa keselarasan itu lebih penting dan tinggi nilainya dari konfrontasi langsung,” kata sastrawan dan pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, ketika dimintai pandangan, Minggu (20/8/2023).
Ibnu menuturkan, penilaian yang mempunyai nuansa menistakan ditanggapi oleh Presiden Jokowi dengan cara meneng (Jawa: diam), wening (hening), dunung (terjemahan bebas: tempat yang tepat), dan menang. Semua hujatan cenderung ditanggapi Jokowi dengan ”diam” untuk masuk ke wilayah hening untuk berkontemplasi.
Menurut Ibnu, laku kontemplasi ini diarahkan demi memperoleh kebenaran yang hakiki untuk menunjukkan kemenangan. Presiden Jokowi pun memanfaatkan ruang istimewa untuk menunjukkan bahwa dirinya mengikuti dinamika dalam memberikan tanggapan. ”Pidato Jokowi pada 16 Agustus itu bagi saya sudah berada dalam tahap kemenangan,” ujarnya.
Menjelang Pemilu 2024, Jokowi pada pidatonya di Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD tahun 2023 itu juga menyinggung bahwa seorang presiden sering kali dijadikan tameng. Nama dan fotonya juga kerap digunakan oleh bakal calon presiden untuk mengklaim dukungan. ”Nasib seorang Presiden untuk dijadikan ’paten-patenan’, dijadikan alibi, dijadikan tameng. Bahkan, walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana,” ujarnya.
Seorang presiden sering kali dijadikan tameng. Nama dan fotonya juga kerap digunakan oleh bakal calon presiden untuk mengklaim dukungan.
Meski tidak mempermasalahkannya, Jokowi menegaskan dirinya bukan ketua umum partai politik yang berwenang menentukan sosok bakal calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berkontestasi pada Pemilihan Presiden 2024. Memasuki tahun politik, ketika suasana menghangat, ada tren para politisi menyebut bahwa penentuan sosok capres dan cawapres akan menunggu arahan dari ”Pak Lurah”.
Presiden Jokowi mengaku sempat memikirkan siapa sosok yang disebut Pak Lurah tersebut karena sering disebut banyak pihak. Belakangan Presiden baru mengetahui bahwa yang dimaksud Pak Lurah adalah dirinya. ”Ya saya jawab saja, saya bukan lurah. Saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu kode,” kata Jokowi.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro mengatakan, pidato kenegaraan Presiden Jokowi tersebut semakin meneguhkan posisinya sebagai Kepala Negara. Hal yang disampaikan Presiden Jokowi konteksnya murni sebagai Kepala Negara.
Dalam kaitan politik, misalnya, Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat tentang situasi saat ini yang sudah memasuki tahun politik. ”Sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi berkomitmen mengawal pemilu berjalan lancar, sukses, demokratis, dan tidak ada ujaran kebencian,” ujar Juri melalui siaran pers KSP.