Ujaran Kebencian dan Politik Identitas di Tahun Politik Perlu Diwaspadai
Ujaran kebencian dan konflik identitas perlu diwaspadai menjelang Pemilu 2024. Pengguna media sosial gampang terpancing untuk melemparkan kebencian berkaitan dengan masalah politik, program pemerintah, dan urusan agama.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Atwar Bajari menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Ujaran Kebencian dan Konflik Identitas: Mengupayakan Komunikasi Dialektis dalam Media Sosial di Grha Sanusi Hardjadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023).
BANDUNG, KOMPAS — Ujaran kebencian dengan politik identitas masih menjadi topik yang perlu diwaspadai, terutama menjelang tahun politik di Tanah Air. Topik-topik itu mewarnai media sosial dan menjadi hal yang ramai dibicarakan.
”Peningkatan ujaran kebencian dalam ruang media sosial semakin mengkhawatirkan. Pengguna mudah sekali terpancing untuk melemparkan kebencian berkaitan dengan masalah politik, program pemerintah, dan urusan agama,” ujar Atwar Bajari dalam orasi ilmiah pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Grha Sanusi Hardjadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023).
Dalam karya ilmiahnya, Atwar menyajikan data terkait ujaran kebencian dari media sosial dalam kurun 2018-2019 atau tahun politik karena saat itu Indonesia tengah melaksanakan pemilu hingga saat penanganan pandemi Covid-19.
Menurut Atwar, jumlah berita bohong yang telah diidentifikasi dari Agustus 2018 sampai April 2019 sebanyak 1.731 konten. Bahkan, selama April 2019 saja, konten berupa kabar bohong sehingga memicu ujaran kebencian sebanyak 486 unggahan.
Suasana orasi ilmiah untuk pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Grha Sanusi Hardjadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023).
Di media sosial Facebook, ujaran kebencian terbilang tinggi. Bahkan, pada triwulan I-2020, terdapat 9,6 juta konten ujaran kebencian. Sementara di Twitter, muncul dua kata kunci yang identik dengan masing-masing pasangan calon presiden saat itu.
Atwar memaparkan, menjelang Pemilihan Presiden 2019, pendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin identik dengan ”kecebong”, sedangkan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai ”kampret”.
”Penggunaan frasa dominan dari pihak yang berkonflik dapat dikelompokkan menurut tujuannya, mulai dari hinaan, tuduhan, umpatan, bahkan mengintimidasi dan mendorong tindakan kekerasan,” ujarnya.
Kondisi serupa dapat terjadi di tahun politik menjelang Pemilu 2024.
Atwar berujar, kondisi serupa dapat terjadi di tahun politik jelang pemilu 2024. Apalagi, media sosial yang berkembang setiap tahunnya bahkan memiliki instrumen yang lebih lengkap dan berpengaruh.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Warga menunjukkan jari mereka yang telah dicelup ke tinta sebagai bukti telah memberikan suara pada Pemilihan Umum 2019 di di Tempat Pemungutan Suara 018 RT 014 RW 01 Kelurahan Pondok Karya, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (17/4/2019).
Saat ditemui seusai orasi, Atwar menyatakan belum melakukan penelitian lebih lanjut pada kondisi menjelang Pemilihan Umum 2024. Namun, dia berpendapat, konflik identitas masih menjadi tantangan untuk menghadapi tahun politik karena ujaran kebencian membuat masyarakat terpecah dalam kelompok tertentu. Apalagi, media sosial saat ini jauh lebih berkembang dibandingkan rentang waktu penelitiannya tersebut.
”Saya melihat Tiktok menjadi media sosial yang baru dengan instrumen komunikasi yang lebih lengkap. Saya yakin ujaran kebenciannya lebih gahar,” kata Atwar. Meskipun publik makin lama makin cerdas, tetap perlu rekomendasi akademik untuk memperbaiki situasi. Menurut dia, pemberitaan yang viral ini juga perlu disikapi dengan pemberitaan media massa yang bijak.
Selain Atwar, pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi Unpad juga dilakukan untuk Eni Maryani. Ia menyoroti peran media dalam membangun masyarakat.
Dalam orasi ilmiahnya, Eni menyoroti demokratisasi komunikasi melalui kajian kritis media. Dia berpendapat, sebagian besar media massa saat ini masih berpegang kepada rating atau hal yang berujung viral di masyarakat. Hal tersebut dianggap tidak mencerdaskan masyarakat karena lebih mementingkan apa yang publik inginkan, bukan butuhkan.
”Industri media masih berbasis rating, diklaim dari apa yang masyarakat suka. Konten yang diproduksi akan terus seperti itu karena media massa tidak ada pilihan. Kreativitas hingga idealisme praktisi media akan terhambat ketika konten itu tidak diterima rating,” ujarnya.
Rating dari publik ini, lanjut Eni, bisa disamakan dengan berita-berita yang viral di masyarakat. Media massa cenderung menulis berita yang viral di masyarakat dengan menyertakan kata kunci clickbait. Karena itu, media massa perlu berbenah dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat, seperti literasi yang mencerdaskan.
”Dalam masa sekarang, perlu ada demokratisasi komunikasi. Seharusnya media menjadi ranah di mana kepentingan publik itu dibicarakan. Karena apa yang viral, yang sering di klik orang, tidak mencerminkan kepentingan publik. Media harus menjalankan fungsinya yang informatif dengan hiburan sehat,” ujarnya.
Padahal, menurut Ninis Agustini Damayani, yang juga mendapatkan pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi di Unpad pada saat yang sama, jika dirunut dalam kearifan lokal, informasi yang mengedepankan kebaikan sudah menjadi kebudayaan nenek moyang di tanah air. Kearifan lokal menjadi cara yang kerap dilakukan oleh masyarakat di tanah air zaman dulu untuk mitigasi bencana.
Namun, lebih jauh lagi, kearifan lokal in memberikan pemahaman kepada masyarakat masa lalu untuk hidup bermasyarakat. Meskipun tidak menggunakan istilah literasi seperti saat ini, Ninis melihat kebijaksanaan dari kearifan lokal ini menunjukkan masyarakat masa lalu mengedepankan informasi yang baik dan berguna bagi lama dan sesama manusia.