Waspadai Politik Identitas Lewat Manipulasi Opini Jelang Pemilu 2024
Identitas seperti agama, ideologi, dan etnis menjadi ”rumput kering yang mudah terbakar” menjelang pemilu. Masyarakat perlu mewaspadai politik identitas untuk menghindari kekerasan dan diskusi yang tidak produktif.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setahun menjelang Pemilu 2024, masyarakat perlu mewaspadai manipulasi opini publik melalui politik identitas. Pola-pola yang dilakukan umumnya dengan menyebarkan rumor hingga ujaran kebencian. Hal ini berdampak pada berkembangnya diskusi yang tidak produktif serta berpotensi menyebabkan disharmoni dan kekerasan.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menjelaskan, umumnya politik identitas muncul pascadeklarasi calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Pada Pemilu 2019, politik identitas marak dan masyarakat terpolarisasi berdasarkan kubu pendukung capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Polarisasi ini sebelumnya terjadi sejak Pilkada DKI 2017, yang terus berlanjut hingga Pemilu 2014.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Menjelang Pemilu 2024 ini cukup berbeda. Polarisasi belum terlihat karena setahun sebelum pemilu belum semua capres dan cawapres dideklarasikan oleh partai politik (parpol) pengusung. Terlihat belum ada serangan pada calon-calon tertentu, tetapi kita tetap harus waspada,” kata Wijayanto pada diskusi ”Menangkal Ujaran Kebencian dalam Pemilu 2024” yang diadakan secara daring dan luring oleh Universitas Paramadina, Kamis (2/3/2023), di Jakarta.
Menjelang Pemilu 2024 ini cukup berbeda. Polarisasi belum terlihat karena setahun sebelum pemilu, belum semua capres dan cawapres dideklarasikan oleh partai politik (parpol) pengusung. Terlihat belum ada serangan pada calon-calon tertentu, tetapi kita tetap harus waspada.
Politik identitas menggunakan identitas, seperti agama, ideologi, ras, etnis, dan budaya sebagai alat serta mobilisasi kepentingan politik. Dalam hal ini, opini masyarakat dimanipulasi untuk menjadi wadah sentimen-sentimen tersebut.
”Semakin sedikit pasangan calon, maka polarisasinya semakin kuat, seperti pada Pemilu 2019 lalu ketika hanya ada dua pasangan calon. Hal ini diperkuat dengan politik identitas juga digunakan untuk menyerang masing-masing calon dengan sentimen tertentu,” kata Wijayanto.
Dampaknya, diskusi yang berkembang di masyarakat menjelang pemilu menjadi tidak produktif. Masyarakat terpaku pada masalah politik identitas dan menyampingkan diskusi-diskusi substansial yang lebih penting seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, masalah pajak, hingga kerusakan alam.
”Identitas yang diputar untuk menyerang politisi ini berdampak pada kekerasan, disharmoni, perpecahan, dan konflik. Hal ini menutup ruang publik dari diskusi yang lebih mendesak untuk dibicarakan,” katanya.
Bertindak tegas
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Universitas Paramadina, Husni Mubarok, menjelaskan, politik identitas bisa berkembang pada rumor, ujaran kebencian, hingga hasutan kebencian. Bentuk-bentuk ini berpotensi mengarah pada dehumanisasi yang melegitimasi seseorang melakukan kekerasan.
Kalau ada indikasi dehumanisasi atau kondisi tidak memanusiakan kelompok lain berdasarkan identitas, harusnya ditindak. Apalagi selama periode pemilu, identitas seperti rumput kering yang mudah terbakar. Artinya, mudah sekali dimanfaatkan untuk menyerang orang lain, salah satunya melalui ujaran kebencian.
”Kalau ada indikasi dehumanisasi atau kondisi tidak memanusiakan kelompok lain berdasarkan identitas, harusnya ditindak. Apalagi selama periode pemilu, identitas seperti rumput kering yang mudah terbakar. Artinya, mudah sekali dimanfaatkan untuk menyerang orang lain, salah satunya melalui ujaran kebencian,” kata dosen Universitas Paramadina ini.
Karena itu, Husni menilai, negara perlu bertindak tegas kepada orang-orang yang melakukan ujaran kebencian. Dalam beberapa kasus, pelaku ujaran kebencian merasa memiliki imunitas dan melakukannya berkali-kali karena tidak ditindak.
Selain itu, kontra narasi dan narasi alternatif perlu dihasilkan agar narasi yang berkembang di masyarakat tidak melulu mengenai ujaran kebencian. ”Masyarakat perlu kritis dan skeptis karena, ujaran dan hasutan kebencian selalu dimulai dengan logika yang keliru,” jelas Husni.