Membendung Ujaran Kebencian Agar Tak Menjadi Kekerasan
Hasil kajian Centre for Strategic and International Studies CSIS menyebutkan, bahan bakar yang bisa menyulut ujaran kebencian menjadi konflik adalah politisasi. Butuh intervensi pemerintah dan masyarakat mencegahnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aparatur sipil negara di lingkup Kementerian Dalam Negeri mengikuti apel bersama untuk menolak kampanye ujaran kebencian, hoaks dan fitnah di Kompleks Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
BANDUNG, KOMPAS - Ujaran kebencian kerap jadi pemicu konflik atau kekerasan massal yang bisa tersulut sewaktu-waktu. Hasil kajian Centre for Strategic and International Studies atau CSIS menyebutkan, bahan bakar yang bisa menyulut ujaran kebencian menjadi konflik adalah politisasi. Dibutuhkan intervensi dari masyarakat dan negara untuk mencegahnya.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Alif Satria saat pelatihan mengenai ujaran kebencian, disinformasi, dan hasutan perbuatan kekerasan yang bekerja sama dengan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), Kamis (2/1/2023), memberikan contoh salah satu kasus ujaran kebencian yang memicu pengusiran penganut Syi'ah di Madura terjadi sejak tahun 2006.
Hal itu dimulai dari asimetri informasi di mana penganut Syi'ah dianggap berperilaku ekstrem oleh komunitas Islam Sunni. Ini diperparah dengan maraknya kampanye bahwa Syi'ah adalah aliran Islam yang sesat oleh kelompok tertentu.
Keberadaan komunitas Syi'ah awalnya tidak dipermasalahkan. Mereka bisa hidup berdampingan dengan damai. Ketegangan itu mengalami eskalasi dan ledakan kekerasan terutama menjelang tahun politik pada 2008 dan 2012.
Calon bupati petahana Noer Tjaja pada tahun 2011 menyuarakan kampanye ujaran kebencian terhadap komunitas Syi'ah untuk merebut suara para ulama. Pidato kampanye itu menjadi penyulut eskalasi konflik, yang pada puncaknya pada Desember 2011. Saat itu, massa membakar 500 rumah sehingga 250 warga komunitas Syi'ah harus diungsikan.
"Nyatanya, kampanye dengan senjata politik identitas itu tidak bisa memenangkan calon bupati petahana tersebut," ungkap Alif.
"Nyatanya, kampanye dengan senjata politik identitas itu tidak bisa memenangkan calon bupati petahana tersebut"
DIAN DEWI PURNAMASARI
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Alif Satria saat pelatihan mengenai ujaran kebencian, disinformasi, dan hasutan perbuatan kekerasan yang bekerja sama dengan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP) di Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023).
Akar masalah labelisasi komunitas Syi'ah dimulai pada tahun 1983 dan 1984, di mana Departemen Agama saat itu bersama dengan Majelis Ulama Indonesia menerbitkan surat edaran dan himbauan kepada seluruh umat Islam untuk berhati-hati terhadap keberadaan dan perkembangan Syiah.
Kemudian Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) berkampanye bahwa aliran tersebut sesat dan berbahaya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil kampanye itu efektif yang menyebabkan orang Syiah maupun yang terafiliasi dicap ekstremis.
Dampak dari ujaran kebencian kebencian itu terus berlanjut hingga sekarang. Komunitas Syi'ah di Sampang dipaksa pindah dari kampung halamannya ke rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur yang jaraknya sekitar 100 kilometer. Mereka tidak bisa kembali karena masyarakat sekitar tidak memercayai mereka. Padahal, Syi'ah ber-taqiyya atau menyembunyikan iman mereka untuk menghindari tekanan massa. Namun, ini justru digunakan sebagai labelisasi bahwa mereka adalah pembohong.
"Politik identitas itu paling mudah digunakan untuk memobilisasi orang untuk melakukan kekerasan. Dan, pilkada serentak menjadi masa-masa rentan karena data menunjukkan bahwa konflik kerap terjadi pada saat itu"
Karena konflik tersebut tidak diselesaikan secara tuntas, ada potensi bisa menjadi pemicu lagi apabila pelatuknya ditarik kembali. Sebagai kelompok kritis, masyarakat sipil yang bergerak pada isu-isu perlindungan terhadap kelompok minoritas bisa mulai mengidentifikasi potensi masalah yang bisa ditimbulkan. Sebab, dia melihat, ada potensi pemicu itu akan tereskalasi karena politisasi pada pemilu serentak 2024. Dia khawatir politisasi ujaran kebencian akan marak karena pilkada akan dilaksanakan serentak pada 548 daerah.
"Politik identitas itu paling mudah digunakan untuk memobilisasi orang untuk melakukan kekerasan. Dan, pilkada serentak menjadi masa-masa rentan karena data menunjukkan bahwa konflik kerap terjadi pada saat itu," ungkapnya.
Menurutnya, negara harus mengintervensi agar ujaran kebencian tidak dinormalisasi oleh masyarakat. Caranya adalah dengan membuat alat untuk memonitor peningkatan ujaran kebencian. Aparat kepolisian di level wilayah yaitu Bhabinkamtibmas maupun Babinsa bisa didengarkan informasi awalnya. Ketika sudah ada potensi, butuh itikad baik dan niat politik dari pemerintah untuk mencegah atau memadamkan ujaran kebencian agar tidak menjadi kekerasan massal atau konflik.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa George Okoth-Obbo hadir dalam acara pelatihan mengenai ujaran kebencian, disinformasi, dan hasutan perbuatan kekerasan yang diadakan Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) bekerja sama dengan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP) di Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023).
Identifikasi risiko
Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa George Okoth-Obbo yang hadir dalam pelatihan itu mengungkapkan, secara umum, menjelang tahun politik yang perlu dipersiapkan untuk mencegah ujaran kebencian yang bisa memicu konflik adalah mempersiapkan diri. Pemerintah perlu mengidentifikasi risiko dan bagaimana mengatasi jika hal itu terjadi. Oleh karena itu, pemerintah mutlak untuk berkolaborasi bersama organisasi masyarakat sipil, media untuk mengatasinya.
"Yang paling berisiko adalah isu-isu masalah perebutan lahan, intimidasi, hak-hak minoritas. Risiko harus diidentifikasi dan semua harus fokus untuk itu. Jangan sampai itu menjadi ujaran kebencian yang dipolitisasi menjelang pemilu"
"Yang paling berisiko adalah isu-isu masalah perebutan lahan, intimidasi, hak-hak minoritas. Risiko harus diidentifikasi dan semua harus fokus untuk itu. Jangan sampai itu menjadi ujaran kebencian yang dipolitisasi menjelang pemilu," katanya.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Perwakilan dari Asia Pacific Centre for The Responsibility to Protect (APR2P) Kirril Shields hadir dalam acara pelatihan mengenai ujaran kebencian, disinformasi, dan hasutan perbuatan kekerasan yang diselenggarakan Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) bekerja sama dengan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP) di Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023).
Sementara itu, Perwakilan dari Asia Pacific Centre for The Responsibility to Protect (APR2P) Kirril Shields menjelaskan bahwa untuk mengidentifikasi apakah suatu ekspresi adalah ujaran kebencian atau bukan, secara mudah bisa dilihat dari tiga indikator utama. Pertama, adalah melihat dari korban yang disasar dari ujaran kebencian itu.
Cara mengidentifikasinya adalah dengan melihat apakah ekspresi itu menyerang aspek kewarganegaraan, ras, agama, etnis, warna kulit, jender, bahasa seseorang. Bentuk ujaran kebencian biasanya diekspresikan dalam kata-kata, foto, pidato, buku, poster, pernyataan, hingga aksi, bentuk lainnya adalah tindakan diskriminatif dengan cara membungkam, atau menyerang dengan bahasa atau gambar.
Pelatihan yang diselenggarakan oleh CSIS ini diikuti oleh berbagai kalangan baik dari unsur pemerintah, staf ahli anggota DPR, masyarakat sipil, maupun dari unsur media. (DEA)