Perihal Perkara Etik Penyelenggara Pemilu yang Bisa Melonjak
Ada banyak ragam pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang ditangani DKPP, mulai dari bolos kerja hingga soal kemandirian. Di tahapan menuju Pemilu 2024, aduan etik diyakini meningkat. Lantas, apa solusinya?
Markus Duwith, anggota KPU Kota Jayapura, Papua, tak hadir dalam persidangan etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang digelar di ruang sidang Bawaslu Provinsi Papua, Kota Jayapura, Papua, Jumat (18/8/2023). Persidangan etik ini juga terkait dengan perkara ketidakhadiran. Markus dilaporkan oleh pimpinan KPU Provinsi Papua lantaran sudah lebih dari tiga kali berturut-turut tidak hadir dalam rapat pleno KPU Kota Jayapura.
Hari itu sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) digelar hibrida. Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, yang memimpin majelis sidang hadir secara daring. Adapun anggota tim pemeriksa daerah yang juga anggota majelis sidang, Paskalis Worot, bersama pihak terkait dan pengadu hadir di ruang sidang Bawaslu Papua di Jayapura.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam persidangan dengan nomor perkara 92-PKE DKPP/VII/2023, majelis mendengarkan keterangan Ketua KPU Provinsi Papua Diana Dorthea Simbiak selaku pengadu. Ketua KPU Kota Jayapura Oktovianus Injama yang jadi pihak terkait juga hadir di persidangan.
Diana menuturkan, pihaknya mempermasalahkan Markus yang tidak menghadiri rapat pleno lebih dari tiga kali secara berturut-turut dan kegiatan lainnya yang diadakan KPU Kota Jayapura selama Maret hingga Oktober 2022. Dalam hal ini, KPU Provinsi Papua menerima laporan dari KPU Kota Jayapura terkait kinerja Markus selama menjadi anggota KPU pada Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat.
Diana meminta majelis DKPP menyatakan Markus selaku teradu melanggar etik sehingga diberikan sanksi pemberhentian tetap. Markus diduga melanggar Pasal 126 Ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d pada Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang telah diubah dengan PKPU Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
Baca juga: DKPP Putuskan Pihak KPU Sulawesi Selatan Langgar Kode Etik
Sidang pemeriksaan etik dipimpin anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, yang hadir secara daring dengan anggota majelis tim pemeriksa daerah dari unsur masyarakat, Paskalis Worot. Sidang digelar di ruang sidang Bawaslu Provinsi Papua, Kota Jayapura, Jumat (18/8/2023).
Terkait hal itu, anggota majelis Paskalis Worot mengajukan pertanyaan yang difokuskan pada hubungan Oktovianus selaku Ketua KPU Jayapura dengan Markus sejak mereka dilantik sebagai penyelenggara pemilu pada 19 Maret 2019. Salah satu pertanyaan Paskalis, bagaimana komunikasi yang terjalin antara Oktovianus dan Markus. Oktovianus mengaku, Markus telah memblokir nomor pribadi dirinya sejak akhir 2019. Karena itu, komunikasi hanya terjadi ketika Markus sedang berada di kantor.
”Yang bersangkutan ke kantor bisa seminggu sekali, sebulan sekali, bahkan dua bulan sekali. Kita punya absen secara tertulis dan ditandatangani. Setiap rapat pleno terdapat berita acara yang mesti ditandatangani oleh setiap anggota yang hadir,” kata Oktovianus.
Menurut Oktovianus, Markus membidangi sosialisasi, pendidikan pemilih, dan partisipasi masyarakat, tetapi tidak mengerjakan tugasnya. Oleh karena itu, supaya tugas sosialisasi ini dapat berjalan maksimal selama tahapan Pemilu 2024, anggota KPU lain otomatis melaksanakan tugas Markus. ”Sebelum diberikan pemberhentian sementara oleh KPU RI, Markus masih sesekali hadir di kantor. Terkadang kehadiran Markus memicu keributan di kantor KPU,” ujar Oktovianus.
Menurut Oktovianus, Markus membidangi sosialisasi, pendidikan pemilih, dan partisipasi masyarakat, tetapi tidak mengerjakan tugasnya.
Persidangan etik Markus masih akan bergulir hingga beberapa waktu mendatang hingga akhirnya DKPP menjatuhkan putusan. Namun, kasus ini hanya bagian kecil dari persoalan etik yang ditangani DKPP. Sepanjang Januari-Mei 2023, DKPP menerima 207 laporan yang ditangani dengan 84 perkara sudah pemberkasan dan pelimpahan perkara ke persidangan. Sisanya, masih dalam proses verifikasi. KPU kabupaten/kota menjadi teradu paling banyak sekitar 49 persen dari total 252 orang. Kemudian Bawaslu kabupaten/kota sebesar 15,8 persen.
Secara umum, problem etik yang dilaporkan ke DKPP dari masa ke masa cukup bervariasi, ada yang terkait ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu, problem kemandirian, adil, ada pula karena gaji ganda, perselingkuhan, rangkap jabatan, dan penerimaan gratifikasi barang.
Baca Juga: Sengkarut Verifikasi Partai Politik
Pelaksanaan rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua di Jayapura pada Kamis. Tampak anggota KPU menyampaikan hasil rekapitulasi perhitungan suara dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Kamis (2/5/2019).
Diproyeksikan meningkat
Memasuki tahapan pemilu juga ada kecenderungan aduan yang masuk ke DKPP lebih tinggi ketika sebelum tahapan dimulai. Ketua DKPP Heddy Lugito saat dihubungi mengatakan, potensi akan terjadinya kenaikan pengaduan pelanggaran etik ini selaras dengan data pada setiap gelaran pemilu. Potensi aduan terkait penyelenggara pemilu itu, antara lain, aduan soal netralitas penyelenggara pemilu, kampanye di luar jadwal, ataupun politik uang.Selain itu, juga ada pelanggaran prinsip penyelenggara pemilu seperti prinsip profesional, terbuka, adil, dan mandiri.
Menurut Heddy, naiknya aduan ini tak lepas dari perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat kian mudah untuk mengawasi, mendiskusikan, bahkan melaporkan hal-hal terkait penyelenggaraan persiapan pemilu di daerah masing-masing. Teknologi informasi telah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga pemerintahan, tanpa terkecuali yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilu.
”Begitu ditemukan dugaan pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu, masyarakat langsung mendiskusikannya di forum-forum media sosial. Setelah dilaporkan, lalu kita yang periksa (masalah ini),” kata Heddy.
Selain itu, penyelenggara pemilu di tingkat daerah juga masih lemah dalam hal kesadaran etik sehingga persoalan pelanggaran etik masih cukup tinggi dilaporkan ke DKPP. ”Meningkatkan kesadaran etik penyelenggara pemilu bisa dimulai pada proses rekrutmen dengan memastikan rekam jejaknya,” kata Heddy.
Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ihsan Maulana, potensi aduan pelanggaran etik di dalam tahapan pemilu tidak bisa dihindari karena memang hampir semua tahapan selalu saja ada penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP. ”Pelaporan penyelenggara pemilu akan berdampak pada konsentrasi penyelenggara yang terpecah sehingga mereka perlu menghindari perbuatan yang dapat melanggar etik,” ujar Ihsan.
Baca juga: Legitimasi Penyelenggaraan Pemilu
Apalagi, di tengah situasi tahapan pemilu saat ini yang kian padat dan pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2024 tinggal sekitar tujuh bulan lagi, DKPP perlu memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan yang menempuh jalur DKPP. Kepastian hukum itu utamanya terkait dengan kepastian waktu penanganan pelanggaran etik penyelenggara pemilu di DKPP.
Hingga kini belum ada kejelasan tolak ukur batas waktu bagi DKPP untuk rapat pleno penetapan putusan sejak majelis mulai melakukan pemeriksaan. Ihsan mengatakan, selama ini penanganan laporan pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu, pada berbagai kasus, ditemukan memakan waktu berbulan-bulan sejak sidang pemeriksaan perkara dilakukan hingga pembacaan putusan.
Hingga kini masih belum ada kejelasan tolak ukur batas waktu bagi DKPP untuk rapat pleno penetapan putusan sejak majelis mulai melakukan pemeriksaan.
Sejauh ini, lanjutnya, batas waktu baru diterapkan pada sidang pembacaan putusan. Hal itu diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 37 Ayat 1 disebutkan bahwa sidang pembacaan putusan dilakukan paling lambat 30 hari sejak rapat pleno penetapan putusan.
”Ini penting agar pencari keadilan dan teradu mendapatkan kepastian dari pelanggaran etik yang sedang berjalan. Selain itu, DKPP juga perlu tegas dalam menjatuhkan putusan kepada para pencari keadilan,” katanya.
Pembenahan
Ihsan mengatakan, ketidakpuasan publik dan meningkatnya laporan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu karena masih terdapat sejumlah persoalan terkait kualitas proses seleksi pada penyelenggara pemilu. Poses seleksi menjadi sangat krusial karena akan menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu pada satu sisi dan juga kualitas lembaga penyelenggara pemilu pada sisi lain.
Ihsan juga mengatakan sejauh ini memang belum ada upaya untuk membenahi persoalan pelanggaran etik penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu mesti memperhatikan mekanisme rekrutmen agar dalam memilih penyelenggara pemilu di daerah tidak banyak mendapatkan sorotan negatif atau pelanggaran.
Upaya yang bisa ditempuh, menurut Ihsan, tim seleksi harus menggali sedalam-dalamnya rekam jejak kandidat penyelenggara pemilu saat dilakujan pemeriksaan berkas sehingga bukan hanya mengandalkan dokumen administrasi. Jika hal itu dilakukan, potensi menghasilkan kandidat yang profesional dan berintegritas semakin besar. Terdapat nilai-nilai yang mesti dipegang oleh penyelenggara pemilu di antaranya mandiri, jujur, adil, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas.
”Rekam jejak seseorang sangat penting karena potensi yang bersangkutan mengulang pelanggaran bukan tidak mungkin terjadi. Pengawasan di dalam internal perlu diperkuat,” katanya.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Ida Budhiati, pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu di daerah dapat dicegah melalui beberapa cara. Pertama, pimpinan lembaga penyelenggara pemilu di setiap jenjang harus menjadi role model bagi bawahannya. Kedua, sistem pengawasan internal perlu diperkuat secara berjenjang dengan menerbitkan instrumen untuk memastikan kepatuhan seluruh insan penyelenggara pemilu terhadap prinsip-prinsip kode etik. Ketiga, penguatan sumber daya manusia untuk menginternalisasi nilai-nilai dan prinsip penyelenggaraan pemilu.
”Lembaga penyelenggara pemilu memegang peranan penting yang mengatur seleksi kepemimpinan negara secara demokratis dan berintegritas. Kriteria dan nilai yang mesti dikedepankan para penyelenggara pemilu, yakni independen, berintegritas tinggi, dan menunjukkan perilaku yang adil dan bijaksana karena ini dibutuhkan dalam menghadapi Pemilu 2024,” ujar Ida.