Gagasan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Tak Relevan dan Ahistoris
Prinsip kedaulatan rakyat telah menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi sehingga semua lembaga negara, termasuk MPR, sebenarnya mengemban daulat rakyat.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan perubahan konstitusi yang dilontarkan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti mengundang tanya dari kalangan akademisi.
Selain usulan tersebut disampaikan menjelang tahun politik 2024, isu yang dilontarkan seperti penundaan pemilu dan pemilihan presiden melalui MPR banyak ditolak oleh publik.
”Oleh karena itu, ini jangan-jangan adalah upaya lanjutan untuk memperpanjang kekuasaan dengan cara-cara ilegal, yang tidak benar, yang beralasan pada konsep perubahan konstitusi seolah-olah ini formil dan legal. Padahal, ini adalah taktik politik semata yang berupaya untuk mengibuli masyarakat luas dan lawan-lawan politik yang tidak setuju,” kata Managing Partner Themis Indonesia Feri Amsari saat dihubungi pada Kamis (17/8/2023).
Seperti diketahui, pada pidato Sidang Tahunan MPR Tahun 2023 serta Sidang DPR dan DPD 2023, Rabu (16/8), Ketua MPR Bambang Soesatyo mencetuskan gagasan amendemen konstitusi untuk memasukkan aturan yang bisa mengantisipasi kejadian luar biasa menjelang pemilu. Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mendukung gagasan untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Pengajar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengungkapkan, ide menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak relevan dan terkesan ahistoris.
Prinsip kedaulatan rakyat telah menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi sehingga semua lembaga negara sebenarnya mengemban daulat rakyat. Dalam prinsip kedaulatan rakyat, jelas tidak boleh ada lembaga negara yang dominan dan memegang kekuasaan yang besar.
”Yang justru harus dikuatkan adalah checks and balances antar-lembaga-lembaga negara,” kata Allan.
Selain itu, substansi amendemen juga harus jelas. ”Harus clear dulu apa yang mau diubah soal sistem ketatanegaraan kita? apakah MPR telah punya konsep untuk amendemen? atau hanya mau memasukkan agenda politik semata?” tanya Allan.
Meskipun harus diakui UUD 1945 masih mengandung banyak kelemahan, menurut dia, ide amendemen yang hanya untuk memasukkan agenda politik tersebut harus ditolak. ”Kalau mau serius amendemen, sebaiknya tidak dilakukan pada tahun politik, apalagi jelang pemilu. Lebih baik dilakukan setelah pemilu usai dengan semangat untuk menyempurnakan UUD 1945 yang memang masih banyak catatan,” katanya.
Sementara itu, Feri Amsari mengungkapkan bahwa isu amendemen UUD 1945 membuat konsentrasi publik dan elite politik akan terbelah. Mereka harus menghadapi tahapan pemilu dan kampanye yang sudah dan akan berlangsung serta masih harus membahas proses dan substansi amendemen.
”Bayangkan riuh rendahnya. Isu amendemen ini hanya akan merusak fokus penyelenggaraan pemilu saja,” ujarnya.
Selain itu, pengajar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas itu mengungkapkan, pidato Ketua MPR dan Ketua DPD tersebut memperlihatkan ketidakpahaman dengan konteks perubahan konstitusi dan ketatanegaraan. Sebab, tidak lumrah apabila perubahan konstitusi dilakukan tanpa proses kerja yang jelas, baik mengenai substansi apa yang mau diubah dan siapa pengusul perubahan.
Mengacu pada ketentuan undang-undang, perubahan amendemen harus diusulkan oleh sepertiga anggota MPR (237 orang) untuk diagendakan dalam sidang MPR. Usulan tersebut dilakukan secara tertulis. Sidang perubahan UUD 1945 harus dihadiri dua per tiga anggota MPR (474 orang), sedangkan putusan perubahan harus disetujui oleh 50 persen plus 1 anggota MPR (357 orang).
Kedua hal tersebut menjadi sandaran penting untuk membahas bahwa relasi perubahan itu penting.
Ia menyarankan, usulan Ketua MPR dan Ketua DPD itu perlu dikampanyekan di dalam pemilu sebagai wujud dari konsep perubahan konstitusi yang partisipatif. Apabila pemilih setuju dengan amendemen, maka akan memilih partai yang mengampanyekan perubahan UUD 1945. Sebaliknya, yang tidak setuju dengan perubahan akan memilih partai yang tidak mendukung usulan perubahan.
”Faktanya tidak ada yang signifikan yang berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat luas terkait perubahan itu. Buktinya, sama sekali tidak ada yang berani membawa gagasan itu ke dalam proses pemilu nanti. Kalau memang sangat penting, signifikan bagi masyarakat, silakan kampanyekan apa saja pasal-pasal yang hendak diubah,” kata Feri.