Jangan Sampai Saat Dilantik Penjabat Kepala Daerah Berstatus TNI dan Polri
Ketentuan TNI dan Polri aktif harus mundur jika ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah seharusnya sudah dimengerti jajaran korps TNI-Polri. Namun, Ombudsman RI masih mendapat laporan nama-nama calon asal TNI-Polri.

Ketentuan TNI dan Polri aktif harus mundur jika ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah seharusnya sudah dimengerti oleh Kementerian Dalam Negeri. Namun, Ombudsman RI masih terus mendapatkan laporan nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif usulan Kemendagri.
Hal ini tentu disayangkan dan melanggar aturan, khususnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, apalagi jika sudah dilantik menjadi penjabat kepala daerah. Pasalnya, jajaran TNI-Polri merangkap sebagai penjabat kepala daerah bertentangan dengan tindakan korektif yang diingatkan dan dilayangkan Ombudsman RI dalam gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah sebelumnya. Sesuai undang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XX/2022, perwira TNI atau Polri aktif harus mundur terlebih dulu dari jabatan kedinasan.
Seperti diberitakan sebelumnya, 10 gubernur dan wakil gubernur serta 75 bupati, wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota akan berakhir masa jabatannya pada 5 September ini. Mereka akan digantikan oleh penjabat kepala daerah hingga pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada November 2024 nanti. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota, DPRD, kementerian, dan lembaga bisa mengusulkan nama-nama calon penjabat.
Namun, keputusan akhirnya ada pada Tim Penilai Akhir (TPA) di Kementerian Sekretariat Negara yang dipimpin oleh Presiden selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) tertinggi. Sebelumnya, nama-nama usulan yang diterima Kemendagri akan dibawa dalam rapat pra-TPA di Kemendagri.
Hingga Selasa (15/8/2023) lalu, Ombudsman masih menerima nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari unsur TNI atau Polri aktif. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, saat dimintai konfirmasi membenarkan perihal masih adanya nama-nama anggota TNI atau Polri aktif diusulkan sebagai penjabat gubernur.
Nama-nama itu, di antaranya, adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Komisaris Jenderal Andhap Budhi Revianto yang diusulkan menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Utara. Ada pula Deputi Bidang Koordinasi Keamanan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Inspektur Jenderal Rudolf Albert Rodja sebagai Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur. Selain itu, Mayor Jenderal Sulaiman Agusto yang diusulkan menjadi Penjabat Gubernur Kalimantan Barat.
Ombudsman masih menerima nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari unsur TNI atau Polri aktif.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng
Robert menyayangkan DPRD masih memasukkan perwira TNI atau Polri aktif itu di antara nama-nama yang diusulkan ke Kemendagri. Menurut dia, hal itu bisa dilihat sebagai bentuk ketidakpercayaan DPRD terhadap pemerintahan sipil. Lebih dalam, ia menilai, DPRD tidak patuh terhadap aturan main baik putusan MK, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, maupun laporan hasil pemeriksaan Ombudsman yang dikeluarkan pada Juli 2022 lalu. Dalam tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman, tertulis jelas bahwa pejabat TNI atau Polri aktif tidak boleh lagi dijadikan penjabat kepala daerah.
Baca juga : TNI-Polri dan Rencana Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
”Berpegangan pada tindakan korektif Ombudsman RI yang menyatakan bahwa ada tindakan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, Kemendagri seharusnya jangan melanjutkan nama-nama berlatar belakang TNI atau Polri aktif itu agar tidak diloloskan sampai ke Presiden. Jika memang ingin menjadi penjabat, seharusnya dia sudah mundur sebelum diusulkan oleh DPRD,” katanya.
Robert juga berharap Kemendagri tidak melakukan kesalahan yang sama pada saat pengangkatan penjabat kepala daerah gelombang pertama 2022 lalu. Penjabat Gubernur Aceh yang berasal dari mantan perwira aktif Polri serta Penjabat Bupati Seram Barat yang berasal dari kepala BIN daerah seharusnya tidak lagi diloloskan. Sebab, hal itu akan memundurkan demokrasi, tegaknya supremasi sipil, transparansi, dan akuntabilitas yang menjadi rujukan di Kemendagri.
”Kalau sampai berulang, artinya benar-benar kemunduran. Mendagri Tito Karnavian seharusnya membuktikan tegaknya supremasi sipil, transparansi, akuntabilitas yang menjadi rujukan di Kemendagri. Tindakan korektif ORI seharusnya menjadi antisipasi agar kejadian serupa tak terulang,” imbuhnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F03%2F20210703cokd-operasi-aman-nusa-agung-ppkm-darurat_1625307593_jpg.jpg)
Polri bersinergi dengan TNI dan pemerintah dalam mengawal penerapan PPKM darurat Jawa dan Bali melalui Operasi Aman Nusa II 2021. Penanggung jawab Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Denpasar yang juga Penjabat Sekretaris Daerah Kota Denpasar I Made Toya (kedua dari kiri) bersama Kepala Polresta Denpasar Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan (kedua dan kanan) dalam sesi wawancara seusai apel Operasi Aman Nusa Agung II 2021 di Polresta Denpasar, Kota Denpasar, Bali, Sabtu (3/7/2021).
Apalagi, katanya, jika merujuk data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), jumlah pejabat pimpinan tinggi (JPT) madya dan JPT pratama masih sangat mencukupi kebutuhan. Jumlah JPT madya, misalnya, mencapai 600 orang. Adapun jumlah JPT pratama jauh lebih besar, yaitu sekitar 4.000 orang. Jika pada tahun ini ada 170 kepala daerah yang akan diganti oleh penjabat, seharusnya bisa dipilih dari ASN JPT madya dan pratama yang ada itu.
”Stoknya banyak. Tidak kurang-kurang. Akan menjadi kurang kalau ada kepentingan politik dan pragmatisme. Tidak perlu tengok kiri-kanan yang berasal dari tentara. Bagaimanapun, kehadiran tentara di jabatan sipil itu berlebihan karena tugas pokok dan fungsi mereka adalah pertahanan dan keamanan negara,” paparnya.
Stoknya banyak. Tidak kurang-kurang. Akan menjadi kurang kalau ada kepentingan politik dan pragmatisme. Tidak perlu tengok kiri-kanan yang berasal dari tentara. Bagaimanapun, kehadiran tentara di jabatan sipil itu berlebihan karena tugas pokok dan fungsi mereka adalah pertahanan dan keamanan negara.
Keraguan publik terkait penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan anggota aktif TNI atau Polri pun terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-12 Maret 2022 lalu. Hasil jajak pendapat itu menunjukkan bahwa 51 persen responden yang berlatar belakang pendidikan tinggi menolak penjabat berlatar belakang aparat. Lebih dari tiga perempat dari responden berpendidikan tinggi lebih menerima penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) atau birokrat (Kompas, 14 Mei 2022).
Hanya menghimpun data
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik kepada wartawan, Selasa, menuturkan, Kemendagri hanya menghimpun nama-nama calon penjabat kepala daerah dari DPRD, kementerian, dan lembaga. Oleh karena itu, nama-nama calon tersebut tidak akan dibuka secara transparan karena merupakan kewenangan dari DPRD sendiri. Lebih baik DPRD sebagai pihak pengusul yang membuka nama-nama itu ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik yang direpresentasikan.
Adapun dari usulan kementerian dan lembaga, menurut dia, yang paling banyak mengusulkan adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan 19 usulan penjabat baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Nama-nama itu tidak akan dibuka secara transparan karena mengandung data pribadi.
Akmal mengacu pada putusan nomor 007/I/KIP-PS-A/2023 terkait sengketa informasi publik tentang pengangkatan penjabat kepala daerah yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Majelis Hakim Komisi Informasi Pusat (KIP) hanya mengabulkan sebagian sengketa informasi publik yang diminta ICW. Dari delapan informasi publik yang diminta ICW, majelis hakim hanya mengabulkan dua jenis informasi yang dikategorikan terbuka.
Dua informasi itu adalah Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur dan seluruh aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah yang merupakan keputusan bersifat konkret, individual dan final (beschiking) dan peraturan (regelling).
”Keppres adalah kewenangan Presiden yang diterbitkan oleh Kementerian Sekretariat Negara untuk membuka sehingga seharusnya sengketa informasi publik dilayangkan ke sana, bukan ke Kemendagri,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F21%2F5e20ed85-8bbb-434e-9c2a-ebeff46a3f60_jpg.jpg)
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, Selasa (21/1/2020), di Jakarta.
Diunduh di internet
Sementara itu, terkait dengan aturan teknis pengisian posisi penjabat kepala daerah yang merupakan turunan dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, hal itu sudah bisa diunduh secara bebas di internet. Sebab, Permendagri No 4/2023 sudah diunggah di laman sistem informasi publik Kemendagri.
”Untuk enam informasi lainnya, seperti dokumen identifikasi kepala daerah, penjaringan calon penjabat, usulan dan saran mengenai kandidat, pertimbangan sidang TPA calon penjabat, rekam jejak dan latar belakang kandidat, karena terdapat informasi data pribadi, hal itu adalah informasi yang dikecualikan untuk dibuka sehingga tidak perlu dibuka kepada pemohon atau publik,” tuturnya.
Adapun terkait masih adanya usulan nama-nama calon penjabat dari unsur TNI atau Polri aktif, Akmal menilai komitmen Presiden tegas bahwa TNI atau Polri aktif harus disipilkan atau menduduki posisi jabatan sipil sebelum diloloskan menjadi penjabat kepala daerah. Kemendagri sebagai penghimpun data pun akan menganalisis apakah yang diusulkan oleh DPRD itu memenuhi syarat JPT madya atau pratama atau tidak. Jika tidak, lanjutnya, tentu tidak akan diloloskan ke sidang TPA.

Kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, Andi Muhammad Rezaldy, di depan Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (1/11/2022).
Pembangkangan hukum
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras Andi Muhammad Rezaldy berpandangan, usulan nama-nama penjabat kepala daerah dari unsur TNI/Polri oleh lembaga negara DPRD bisa dilihat sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum. Hal itu juga jelas mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang menghendaki supremasi sipil. Hal itu juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena menduduki dua jabatan sekaligus secara aktif.
Baca juga : Kemendagri Bersikukuh Pengangkatan Penjabat Sesuai Aturan
”Dengan didudukinya jabatan kepala daerah oleh aparat keamanan aktif, dikhawatirkan akan membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI. Pada masa Orde Baru, dominannya institusi keamanan di jabatan sipil memang berawal dari cara-cara seperti ini, yaitu politik akomodatif terhadap aparat keamanan di jabatan sipil. Ini tidak boleh dibiarkan dan usulan itu harus segera dibatalkan,” katanya.
Ia menambahkan, Ombudsman pun sebelumnya telah menegaskan bahwa terjadi perbuatan malaadministrasi dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah, seperti adanya penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur TNI aktif. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, pemerintah dan Kemendagri mematuhi rekomendasi Ombudsman itu dengan tidak mengusulkan atau menunjuk penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif.