Di Hari Merdeka, Jusuf Kalla Sebut Perdamaian Aceh Jadi Purwarupa Perdamaian Dunia
Wapres ke-10 dan 12 Jusuf Kalla menyebut perdamaian GAM dan Pemerintah RI, 15 Agustus 2005, jadi purwarupa perdamaian dunia. Ini karena diterapkannya prinsip perdamaian dengan kehormatan. Di Hari Merdeka, ia mensyukuri.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Jusuf Kalla menyebut perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 menjadi prototipe atau purwarupa perdamaian dunia. Pernyataan ini didasarkan pengalaman Jusuf Kalla yang beberapa kali menerima permintaan sebagai juru damai dari sejumlah negara yang mengalami konflik internal, seperti Filipina, Thailand, Myanmar, dan Kolombia.
Negara-negara tersebut meminta Jusuf Kalla untuk mendamaikan mereka dengan cara sama seperti yang digunakannya saat mendamaikan Aceh. ”Sekarang ini Aceh menjadi contoh perdamaian di seluruh dunia. Saya diundang Filipina, Thailand, Myanmar, Kolombia. Semua hanya satu permintaannya, (yakni) minta didamaikan seperti di Aceh,” kata Kalla saat memberi sambutan pada acara peringatan Hari Damai Aceh Ke-18 di Taman Shaitanah Shafiafuddin, Banda Aceh, Aceh, Selasa (15/8/2023) lalu. Kamis ini, di Hari Merdeka, Kalla mensyukuri Aceh terlepas dari konflik saat kemerdekaan genap 78 tahun.
Menurut Kalla, melalui keterangan tertulis, Aceh menjadi purwarupa perdamaian karena diterapkannya prinsip peace with dignity atau perdamaian dengan kehormatan. Salah satu hal yang menggambarkan prinsip tersebut adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak pernah menyerahkan senjatanya kepada Pemerintah RI. Senjata tersebut dimusnahkan sendiri oleh GAM.
Hal itu dinilai Kalla merupakan hal pertama yang terjadi di dunia. ”Kunci perdamaian Aceh itu, sehingga menjadi prototipe, adalah menjaga perdamaian dengan kehormatan atau peace with dignity. Salah satunya adalah GAM tidak pernah menyerahkan senjatanya, tapi dihancurkan oleh mereka sendiri dan tentara cuma dapat potongan. Belum pernah ada di dunia ini yang seperti itu, biasanya harus serahkan senjata,” ujarnya.
Kunci perdamaian Aceh itu, sehingga menjadi prototipe, adalah menjaga perdamaian dengan kehormatan atau peace with dignity.
Lebih lanjut, menurut dia, untuk menjaga kepercayaan GAM, setiap 30 senjata yang dimusnahkan diiringi pemulangan satu batalyon TNI. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran dari pihak GAM akan diserang ketika telah memusnahkan senjatanya.
Selain itu, untuk tetap menjaga kehormatan pihak GAM, Kalla juga meminta setiap kombatan yang keluar dari hutan diberi pakaian baru dan diantar menggunakan kendaraan roda empat. Hal itu dimaksudkan agar para eks kombatan kembali ke masyarakat dalam keadaan terhormat.
”Inilah perdamaian dengan prinsip dignity for all. Karena itulah semua kombatan diberi pakaian baru, diantar pakai mobil, supaya mereka masuk kota dengan terhormat,” ujarnya.
Penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM
Seperti diketahui, perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM dicapai melalui nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini merupakan pernyataan perdamaian kedua belah pihak setelah lebih dari 30 tahun berkonflik dengan korban jiwa lebih dari 5.000 orang.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo pun meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Air. Peluncuran program tersebut diselenggarakan di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, pada Selasa (27/6/2023).
”Pada hari ini kita berkumpul secara langsung maupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban,” kata Presiden Jokowi.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam laporannya menuturkan latar belakang pemilihan Aceh sebagai awal dimulainya realisasi program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Pemerintah dan rakyat Aceh turut berkontribusi dalam catatan sejarah Indonesia.
Selain itu, Mahfud mengatakan, hal ini juga merupakan bentuk penghormatan negara terhadap proses perdamaian yang berlangsung di Aceh serta penghormatan terhadap bencana kemanusiaan tsunami yang terjadi pada tahun 2004. ”Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan,” kata Mahfud.