KPK Mengaku Khilaf, Puspom TNI Janji Transparan Usut Keterlibatan Personel TNI
”Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak soal penetapan dua personel TNI sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Basarnas.
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku ada kekeliruan atas proses operasi tangkap tangan yang berujung pada ditetapkannya anggota TNI sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas. KPK menyerahkan perkara dugaan korupsi yang melibatkan anggota TNI kepada Polisi Militer TNI. Di sisi lain, TNI berjanji mengungkap perkara dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI secara transparan.
Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko yang didampingi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, dan jajaran mendatangi Gedung Merah Putih KPK pada Jumat (28/7/2023) sore. Mereka bertemu dengan unsur pimpinan KPK.
Pertemuan itu sebagai tindak lanjut dari langkah KPK yang menetapkan Koordinator Administrasi Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang atau jasa di Basarnas.
Afri ditetapkan tersangka bersama Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan tiga orang lain dari pihak swasta. Tiga tersangka dari pihak swasta adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil (Kompas, 27/7/2023).
Setelah pertemuan dengan pimpinan KPK sekitar dua jam itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan, semestinya KPK memahami penanganan perkara dugaan korupsi yang melibatkan anggota TNI oleh Polisi Militer (POM) TNI. ”Di sini ada kekeliruan dan kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI agar dapat disampaikan kepada Panglima TNI Yudo Margono dan jajaran TNI. Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” ujar Tanak.
Baca juga: Kasus Basarnas, TNI Minta KPK Patuhi Prosedur Hukum
Tanak merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan ada empat peradilan, yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. ”Peradilan militer khusus anggota militer. Ketika melibatkan militer dalam perkara sipil, maka (penegak hukum) sipil harus menyerahkan kepada militer,” katanya.
Menurut Tanak, dalam pelaksanaan dalam OTT dugaan kasus suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas awal pekan ini, tim penyidik KPK menemukan dan mengetahui dugaan keterlibatan anggota TNI yang bertugas sebagai penyelenggara negara di lingkungan Basarnas. Oleh karena itu, terkait penetapan tersangka pada dua anggota TNI itu sebelumnya, jajaran pimpinan KPK meminta maaf.
Tanak memastikan penanganan kasus tersebut tetap dilanjutkan secara koneksitas antara KPK dan Polisi Militer TNI atau secara langsung ditangani POM TNI. Ia berharap komunikasi dan koordinasi antarinstitusi dapat berjalan baik agar dapat maksimal dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko menuturkan, perkara dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI telah membuat kecewa Panglima TNI Laksama Yudo Margono. Karena itu, prajurit TNI yang terlibat kasus pidana bakal ditindak secara tegas. Sebab, Panglima TNI berkomitmen menegakkan hukum, khususnya dalam kasus korupsi.
”Yang perlu saya tegaskan di sini bahwa terus terang dengan adanya kejadian tangkap tangan ini khususnya, Panglima TNI sangat kecewa. Kecewa karena kenapa korupsi masih terjadi di lingkungan TNI. Itu yang perlu ditegaskan,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai status Henri dan Afri apakah telah menjadi tersangka, Agung menuturkan, seusai bertemu dengan pimpinan KPK, proses di POM TNI baru dilakukan penyidikan kasus dugaan suap di Basarnas. Karena itu, keduanya belum ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik POM TNI. Ia memastikan bahwa kasus ini akan ditangani dengan transparan.
Baca juga: Presiden: Hormati Proses Hukum
”Dalam penyelesaian untuk prajurit TNI yang terlibat permasalahan ini kita dari penyidik di lingkungan TNI akan melaksanakan dengan transparan,” kata Agung.
Terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (AU) Marsekal Pertama R Agung Sasongkojati mengatakan, TNI AU prihatin atas kasus operasi tangkap tangan terhadap pejabat Basarnas dan perwira TNI AU oleh KPK. Bahkan, KPK telah menetapkan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi.
”TNI AU sebagai institusi negara menegaskan akan sangat menghormati seluruh proses hukum dugaan pidana suap di Basarnas yang sedang berlangsung di KPK. Saat ini pemeriksaan sudah dilaksanakan oleh Puspom TNI sesuai dengan aturan penanganan hukum,” kata Agung Sasongkojati.
Karena kedua tersangka merupakan prajurit TNI AU aktif yang berdinas di Basarnas, kata Agung Sasongkojati, bantuan hukum diberikan melalui Dinas Hukum TNI AU. TNI AU menyerahkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum agar diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rochman, mengatakan, KPK memang tidak memiliki landasan hukum untuk menetapkan anggota TNI aktif menjadi tersangka. Meminta maaf merupakan satu-satunya langkah yang bisa dilakukan oleh pimpinan KPK meskipun hal tersebut berdampak pada citra profesionalitas lembaga antirasuah tersebut.
Namun, dia berharap ada tim koneksitas antara KPK dan Polisi Militer TNI untuk menangani kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di tubuh Basarnas. Keberadaan tim koneksitas tersebut dapat lebih menjamin tuntasnya penanganan perkara dengan meniadakan disparitas dalam penegakan hukumnya. ”Dalam kasus Basarnas, pilihannya ada dua, yaitu dibentuk tim koneksitas atau dilakukan sendiri (oleh Polisi Militer). Namun, kalau dilakukan Polisi Militer sendiri, KPK harus melakukan koordinasi dan pengendalian perkara. UU KPK memberikan jaminan itu, tetapi saya berharap ada tim koneksitas,” kata Zaenur.
Adapun jaminan atas koordinasi dan pengendalian dalam penanganan perkara yang melibatkan sipil dan militer tersebut ada di dalam Pasal 42 UU KPK. ”Jadi, KPK bisa mengoordinasikan dan mengendalikan prosesnya sehingga tidak ada disparitas dalam penanganannya,” katanya.
Meskipun demikian, ia yakin Polisi Militer TNI akan menangani kasus tersebut secara terbuka mengingat perkara tersebut sudah diketahui oleh publik secara luas. Selain itu, kasus tersebut juga akan terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengadili pihak swasta/sipil yang terlibat dalam kasus tersebut.
Mantan Hakim Agung Gayus T Lumbuun menilai, tindakan TNI yang memprotes penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi oleh KPK merupakan langkah yang tepat. Sebab, hingga saat ini TNI masih menggunakan hukum acara pidana militer selain hukum acara pidana (KUHAP). Saat ini, TNI masih berada di bawah peradilan militer.
Mengacu pada UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer, penyidikan tindak pidana yang dilakukan prajurit dilakukan oleh penyidik militer sementara penuntutan dilakukan oleh oditur. ”Jadi, memang (kasus tersebut) tepat dikembalikan ke proses jalur pidana militer,” kata Gayus.
Gayus mengakui, ada ketentuan Pasal 65 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI yang berbunyi ”Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.” Akan tetapi, pasal tersebut belum dapat dilaksanakan. Alasannya, belum ada aturan turunan berupa peraturan teknis seperti peraturan pemerintah dan lainnya terhadap ketentuan tersebut. Dengan demikian, hingga saat ini, TNI masih diadili di peradilan militer. ”Pasal 65 UU TNI ini law in the book, not in action,” ujar mantan hakim agung pidana dan pidana militer tersebut.
Akan tetapi, penanganan bersama antara penyidik militer (Polisi Militer) dengan penyidik sipil sebenarnya dapat dilakukan, yaitu melalui peradilan koneksitas. Namun, penyidik sipil yang dapat menangani perkara tersebut bukanlah penyidik pada KPK, melainkan Kejaksaan Agung. Polisi Militer dapat bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk menangani perkara tersebut. ”Mengenai sidangnya di mana, nanti tergantung pembicaraan dari kedua institusi (Panglima TNI dan Jaksa Agung) heavy kasusnya berat ke mana. Kalau lebih berat ke militer, bisa ke Pengadilan Militer. Akan tetapi jika banyak melibatkan orang sipil seperti pengusaha dan lainnya bisa saja diputuskan ke pengadilan umum. Tapi karena ini komandan bintang tiga, lebih berat ke Dilmil (Pengadilan Militer)” ujar pengajar Sekolah Tinggi Hukum Militer tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, Gayus menekankan pentingnya transparansi dalam penanganan perkara tersebut. “Walaupun akan diproses di Peradilan Militer atau Koneksitas, harus ada transparansi,” kata dia.
Pakar hukum pidana Agustinus Pohan mendorong kepada penyidik POM TNI untuk segera menetapkan status tersangka kepada Henri dan Arif. Ia meyakini KPK menyerahkan bukti-bukti terkait kasus dugaan suap di Basarnas kepada penyidik POM TNI sehingga dapat dikeluarkan perintah penahanan dan dibentuknya tim penyidik koneksitas.
Dugaan korupsi di Basarnas yang melibatkan swasta dan TNI, Agustinus berpendapat pembedaan penanganan dugaan kasus korupsi antra militer dan sipil sudah seharusnya tidak diperlukan lagi kecuali terkait dengan pelanggaran hukum pidana militer. Karena itu, harus dibentuk tim koneksitas dalam penanganan kasus ini, termasuk peradilannya.