Presiden Joko Widodo mengingatkan, siapa yang mengakali sistem dan mengambil sesuatu harus ditindak. KPK segera berkoordinasi dengan Panglima TNI terkait korupsi Basarnas.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menekankan bahwa pemerintah terus memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa. Namun, ketika ada pihak yang melanggar dengan mengakali sistem, tindakan hukum harus diambil, siapa pun pelakunya. Proses hukum terhadap pelaku harus dihormati.
Presiden menyampaikan hal itu merespons penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (26/7/2023). Presiden menekankan, perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan memasukkan semua jenis barang/jasa yang diperlukan pemerintah di e-katalog. Maka, diharapkan sistem pengadaan barang/jasa lebih transparan dan adil.
Namun, Presiden menekankan, jika sistem diperbaiki dan masih ada yang melanggar hukum, siapa pun harus diproses hukum. ”Kalau memang ada yang melompati sistem dan mengambil sesuatu dari situ, ya, kalau terkena OTT (operasi tangkap tangan), ya, hormati proses hukum yang ada,” kata Presiden di Lapangan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (27/7/2023), sebelum bertolak untuk kunjungan kerja ke Chengdu, China.
KPK menduga, dalam periode 2021-2023, Henri bersama dan melalui Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto menerima Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek. KPK juga menetapkan tiga tersangka dari pihak swasta, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil (Kompas, 27/7/2023).
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, Kamis, mengatakan, KPK akan berkoordinasi dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dalam menangani kasus dugaan suap proyek pengadaan barang/jasa di Basarnas periode 2021-2023 seiring status Henri dan Afri sebagai tentara. “Kita, lengkap lima pimpinan, hari Senin (31/7/2023) bertemu Panglima,” kata Nawawi.
Menurut dia, salah satu yang akan dibahas dalam rapat koordinasi adalah bagaimana penanganan kasus ini agar tidak berhenti seperti dalam kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 tahun 2016.
Dihubungi secara terpisah, Henri Alfiandi menyatakan akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Ia telah melapor ke Puspom TNI terkait penetapan tersangka terhadap dirinya. Ia juga telah memohon bantuan hukum dari Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI. Ia mengaku uang yang diperolehnya dalam kasus ini untuk dana operasional.
Respons TNI
TNI meminta KPK mematuhi prosedur hukum. ”Untuk anggota TNI aktif, secara Undang-Undang Peradilan Militer, penyidiknya polisi militer. Karena itu, yang bisa menetapkan status tersangka terhadap personel militer aktif adalah polisi militer selaku penyidik,” kata Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko.
Agung menggarisbawahi, TNI telah membuktikan diri sebagai institusi yang taat hukum. Dalam upaya penegakan hukum kasus korupsi, prosedur hukum juga perlu dipatuhi, jangan sebagai aparat hukum justru melanggar hukum.
Menurut Agung, secara hukum, tangkap tangan boleh dilakukan semua pihak. Akan tetapi, dalam kasus korupsi di Basarnas, tentu sebelumnya KPK telah menyelidiki siapa yang akan ditangkap, sehingga untuk Afri, sudah diketahui yang bersangkutan anggota TNI. ”Lebih elok jika KPK berkoordinasi dengan Puspom TNI untuk menangkap bersama-sama. Di sini perlunya komunikasi dan koordinasi antarinstitusi,” katanya
Menurut Agung, penting bagi KPK dan TNI untuk mengikuti prosedur. Dia mengatakan, KPK tak perlu khawatir terhadap kinerja penyidik TNI. Puspom TNI akan melaksanakan proses hukum terbuka.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, kini Afri sudah diserahkan KPK kepada Puspom TNI. Ia kini dititipkan di Instalasi Tahanan Militer milik Puspom TNI AU.
Namun, Polisi Militer TNI masih menunggu laporan dari KPK. ”Kami masih menunggu laporan resmi dari pihak KPK sebagai dasar kami, polisi militer, melakukan proses penyidikan,” kata Agung.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpendapat, dugaan korupsi di Basarnas melibatkan swasta dan TNI. Karena itu, harus dibentuk tim koneksitas dalam penanganan kasus ini, termasuk peradilannya. Hal ini sesuai Pasal 89 KUHAP yang menyatakan tindak pidana secara bersama-sama antara sipil dan militer diperiksa dan diadili di peradilan umum. Jika yang dirugikan kepentingan umum, maka diadili di peradilan umum, yakni pengadilan negeri. Jika kerugiannya di militer, maka diadili di pengadilan militer.
Melihat kasus di Basarnas sebagai lembaga negara bukan militer dan untuk kegiatan penyelamatan dan pencarian, kata Zaenur, kerugian ada di pihak umum. Karena itu, seharusnya kasus ini diadili di pengadilan negeri. ”Nanti timnya dibentuk secara koneksitas. Di dalamnya ada penyidik dari KPK, ada juga dari oditur militer. Nanti diadili di pengadilan negeri yang di dalamnya juga ada jaksa dari KPK,” kata Zaenur.
Ia mengingatkan, dalam Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.