Hubungan KPU dan Bawaslu ”Menghangat” karena Silon
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mengingatkan KPU dan Bawaslu untuk mencari titik temu beda pandangan soal akses pada Sistem Informasi Pencalonan di Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Hubungan antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu menghangat. Bawaslu mempertimbangkan opsi melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau mengajukan sengketa informasi lantaran akses Bawaslu terhadap Sistem Informasi Pencalonan atau Silon KPU dibatasi.
Sejak pendaftaran bakal calon anggota legislatif Pemilu 2024, pada 1 Mei 2023, Bawaslu sampai saat ini tidak bisa mengakses Silon dengan leluasa. Bawaslu empat kali menyurati KPU meminta akses leluasa untuk mengawasi tahapan pencalegan melalui Silon.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Terkait hal itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Jumat (28/7/2023), di Jakarta, juga mengatakan sempat ada pertemuan tripartit antara Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk membahas hal itu. Ia mengatakan, surat Bawaslu sudah dibalas KPU. Namun, isi suratnya adalah akses terhadap Silon baru dibuka jika Bawaslu memiliki temuan awal.
”Prinsip dari Bawaslu adalah menjaga sinergitas kelembagaan. Jika ada hal yang bisa dibicarakan, akan kami bicarakan dulu. Memang sudah ada keputusan pleno dari Bawaslu untuk langkah selanjutnya terkait akses Silon ini. Namun, sampai saat ini belum bisa dipublikasikan,” katanya.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, Bawaslu berusaha memersuasi KPU untuk membangun sinergi kedua lembaga. Sebab, selama ini akses Bawaslu untuk melihat data di Silon tidak maksimal karena hanya dibatasi selama 15 menit. Keterbatasan itu dinilainya memengaruhi kualitas pengawasan tahapan verifikasi administrasi bakal caleg. Apabila tak ada kemajuan, Bawaslu juga akan menempuh jalur lain, seperti sengketa informasi atau melaporkan kepada DKPP.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari beralasan akses tak dapat dibuka bebas saat ini karena terikat berbagai instrumen hukum, seperti UU Pemilu, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU Pelindungan Data Pribadi. KPU baru akan membuka informasi bakal caleg setelah pengumuman daftar calon sementara, Agustus mendatang, dan setelah penetapan daftar calon tetap, November. Namun, KPU harus meminta persetujuan dari pimpinan partai politik sebagai pengusung bakal caleg.
Di sisi lain, KPU memahami tugas Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Karena itu, selain memperoleh akses terbatas ke Silon, KPU dapat membuka informasi terkait bakal caleg tertentu lebih luas ke Bawaslu setelah ada laporan dugaan pelanggaran bakal caleg itu.
Ketua DKPP Heddy Lugito menyebut, hingga Jumat ini belum ada surat laporan mengenai akses Silon yang masuk ke DKPP. Jika benar Bawasluingin melaporkan persoalan itu, DKPP mempersilakan. Pada prinsipnya, DKPP tidak boleh menolak laporan dan harus memprosesnya sesuai dengan prosedur.
Namun, ia juga mengingatkan kedua lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu untuk mencari titik temu melalui pertemuan internal. Sesama penyelenggara, menurut dia, harus saling menghargai kewenangan masing-masing sehingga wewenang itu bisa dilakukan secara profesional dan proporsional.
”KPU jangan sampai mengurangi kewenangan atau hak pengawasan dari Bawaslu. Jika memang ada perbedaan pemberian akses dengan pemilu sebelumnya, tentu akan ada dispute (sengketa) di situ,” kata Heddy.
Baca juga : KPU Berkukuh Tak Buka Akses Penuh Silon bagi Bawaslu
Ia menyarankan Bawaslu diberi akses secukupnya agar bisa menjalankan fungsi pengawasannya secara optimal. Baik penyelenggara maupun pengawas pemilu harus bekerja berdasarkan UU Pemilu. Semua pihak harus saling menghargai peran dan jangan sampai ada yang memotong kewenangan masing-masing.
”Jangan sampai ada yang menang-menangan dan mencari benarnya sendiri. Semua pihak agar bekerja sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing. Harus dicari jalan keluarnya dengan duduk bersama,” katanya.
Terpusat di Silon
Pengajar Hukum Kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, situasi panas antara Bawaslu dan KPU terkait akses data dalam proses pencalonan hampir selalu terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Kecenderungan itu sudah terasa sejak Pemilu 2004 saat pengawas pemilu masih berstatus ad hoc. Pada pemilu terakhir 2019 juga ada keluhan serupa terkait Silon KPU.
Namun, polemik itu masih bisa diredam karena pendaftaran masih tetap menggunakan skema manual. Dengan begitu, walau tidak diberi akses luas terhadap Silon, Bawaslu masih bisa ikut mengakses dokumen manual saat pendaftaran.
”Saat itu juga tetap ada keberatan KPU yang menganggap Bawaslu terlalu mencampuri urusan teknis pendaftaran dan proses pencalonan. Sedangkan Bawaslu mempersoalkan keterbatasan akses dari KPU atas dokumen pencalonan,” ujarnya.
Pada Pemilu 2024, isu keterbatasan akses atas Silon menjadi semakin kuat karena Silon menjadi instrumen utama dalam pendaftaran calon. Karena itu, ketika Bawaslu tidak bisa optimal mengakses dokumen pencalonan dalam Silon, pengawasan keterpenuhan dan keabsahan persyaratan menjadi tak bisa optimal sepenuhnya.
Titi menilai, hal itu juga menunjukkan masih ada problem relasi kelembagaan yang belum tuntas di antara KPU dan Bawaslu. Padahal, eksistensi lembaga ini diposisikan sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu di mana Bawaslu berperan sebagai pengawas eksternal yang bertugas memastikan pelaksanaan pemilu berjalan sesuai asas pemilu yang langsung umum, bebas rahasia, jujur adil, dan peridoik.
”Semestinya, kesepahaman soal tugas, fungsi, dan kewenangan betul-betul bisa tegas dan jelas dipahami oleh masing-masing lembaga beserta seluruh jajarannya,” katanya.
Dihubungi terpisah, pendiri Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, pada prinsipnya akses pengawasan terhadap tahapan pencalegan pada pemilu sebelumnya lebih terbuka. Hal itu terjadi sejak penetapan daftar calon sementara. Dengan tidak dibukanya akses Silon seluasnya, tentu Bawaslu tidak bisa bekerja optimal dalam mengawasi tahapan.
Hal ini, menurut dia, menunjukkan bahwa KPU memang bekerja dengan mengabaikan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Padahal, hal itu termasuk prinsip penyelenggaraan pemilu. Jika tahapan pencalonan ini tidak bisa diawasi, padahal data rekam jejak calon bukan data rahasia, tentu akan ada celah ruang gelap yang dikhawatirkan terjadi kecurangan.
”Caleg itu sekarang ini juga tidak tahu posisi mereka ditaruh di daerah pemilihan (dapil) berapa. Padahal, informasi ini sangat penting untuk diketahui sejak awal. Dulu tidak seperti itu. Jika ini tetap dipertahankan justru malah membuka ruang untuk perilaku curang. Karena mungkin ada pesanan-pesanan tertentu dari pimpinan parpol,” katanya.
Dia juga mempertanyakan alasan KPU yang menutup data tersebut dengan alasan perlindungan data pribadi. Menurut dia, data pribadi seperti nomor induk kependudukan (NIK) bisa disensor. Yang paling penting, publik bisa mengetahui dan mengawasi rekam jejak caleg sejak awal pendaftaran. Dengan begitu, mereka memiliki banyak referensi sebelum memilih di bilik suara.
”Kalau tetap tertutup dan Bawaslu tidak bisa mengawasi, pada akhirnya yang akan dirugikan adalah publik karena mereka tidak tahu sejak awal orang yang dicalonkan itu memenuhi syarat atau tidak. Kalau pengawas tidak bisa mengawasi, sangat mungkin pencalonan itu bermasalah,” imbuhnya.
Dia juga mendorong Bawaslu melaporkan hal ini kepada DKPP. Sebab, ada kemungkinan kerja tertutup yang dilakukan KPU terhadap Silon melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena melanggar prinsip akuntabilitas dan transparansi. ”DKPP punya peran yang bisa membenahi kerja-kerja penyelenggara pemilu. Peran ini harus diambil oleh DKPP agar pemilu berkualitas,” ucapnya.