Kasus Polisi Tembak Polisi, Densus 88: Kelalaian Anggota
Pengamat kepolisian mempertanyakan sejumlah hal dalam kasus personel Densus 88 Antiteror Polri yang menembak rekannya. Perlu ada pihak eksternal untuk memastikan pengusutan kasus penembakan betul-betul sesuai fakta.
JAKARTA, KOMPAS — Pihak Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mengakui adanya kelalaian yang dilakukan personelnya sehingga menyebabkan anggota lain tertembak dan meninggal. Saat ini, penyidikan masih dilakukan bersama dengan Kepolisian Resor Bogor.
Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar, Kamis (27/7/2023), menyampaikan bahwa dalam peristiwa anggota kepolisian tertembak, baik korban maupun pelaku merupakan anggota Densus 88 Antiteror Polri.
”Yang terjadi adalah kelalaian anggota pada saat mengeluarkan senjata dari tas, kemudian meletus dan mengenai rekannya yang berada di depannya,” ujar Aswin.
Menurut dia, saat ini kasus penembakan tersebut sedang ditangani bersama oleh Densus 88 Antiteror Polri dan Polres Bogor. Ia memastikan perkembangan kasus tersebut akan disampaikan penyidik Polres Bogor dan Densus 88 Antiteror Polri.
”Detailnya nanti di-update dari penyidik, ya,” ujar Aswin.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan membenarkan adanya tindak pidana yang dilakukan anggota kepolisian yang mengakibatkan kematian. Peristiwa itu terjadi pada Minggu (23/7/2023) sekitar pukul 01.40 di Rumah Susun Polri Cikeas, Gunung Putri, Bogor.
”Telah terjadi peristiwa tindak pidana karena kelalaian mengakibatkan matinya orang, yaitu atas nama Bripda (Brigadir Dua) IDF,” kata Ahmad.
Saat ini, aparat telah menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Brigadir Kepala (Bripka) IG. Keduanya telah diamankan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan terkait peristiwa tersebut. Kasus tersebut ditangani oleh tim gabungan dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dan reserse kriminal untuk mengetahui pelanggaran disiplin, kode etik, ataupun pidana yang dilakukan pelaku.
”Yang pasti, Polri tidak akan memberikan toleransi kepada oknum yang melanggar ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku,” kata Ahmad.
Kasus polisi menembak polisi bukan kali ini saja terjadi.
Awal September 2022, Aipda A Karnain (41), polisi yang bertugas sebagai bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (bhabinkamtibmas) di Kecamatan Way Pengubuan, Lampung Tengah, Lampung, tewas ditembak teman sesama anggota polisi, Aipda Rudi Suryanto. Alasannya, korban kerap menceritakan hal-hal buruk mengenai Rudi dan keluarganya.
Beberapa bulan sebelumnya, persisnya pertengahan Juli 2022, mantan ajudan dari bekas Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, menembak ajudan Sambo, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, atas perintah Sambo. Kasus ini menyita perhatian publik karena awalnya ditutup-tutupi.
Meski pihak Polri dan Densus 88 Antiteror Polri telah menyatakan kejadian personel Densus yang menembak rekannya sebagai akibat kelalaian anggota, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mempertanyakan hasil otopsi yang menyebut terdapat luka tembak dari belakang telinga kiri tembus ke telinga kanan. ”Diakibatkan oleh peluru apa dan dari senjata api jenis apa?” tanyanya.
Tanpa penjelasan detail, menurut dia, hal itu bisa mengulang narasi yang dibangun kepolisian pada awal kasus penembakan Brigadir Yosua, Juli 2022.
”Logika awamnya, pistol dari tempat penyimpanan dikeluarkan dalam keadaan terkunci, bagaimana bisa tiba-tiba meletus. Dalam rangka tugas apa para personel tersebut membawa senjata api mengingat lokasi ’konon’ di asrama? Apa peran masing-masing pelaku yang sudah ditetapkan dua orang?” lanjutnya.
Narasi-narasi yang janggal seperti itu disebutnya akan memunculkan asumsi bahwa ada hal yang ditutup-tutupi oleh kepolisian.
Selain itu, lanjut Bambang, kelalaian penggunaan senjata api oleh personel kepolisian yang menyebabkan kematian seseorang bukanlah yang pertama terjadi.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa penghilangan nyawa tersebut karena kelalaian akan memunculkan pemakluman terhadap pelanggaran penggunaan senjata api oleh personel. Penghilangan nyawa seseorang dengan senjata adalah kejahatan yang harus dihukum pidana, alih-alih hanya diberi sanksi disiplin ataupun etik ringan atau sedang saja.
Di era sekarang, menurut dia, penyelidikan oleh pihak internal kepolisian saja terhadap sebuah kasus penghilangan nyawa seseorang hanya akan memunculkan asumsi bahwa polisi tidak obyektif karena ada potensi konflik kepentingan. ”Makanya, perlu pihak eksternal untuk memastikan bahwa kepolisian sudah bertindak dengan benar,” katanya.