Sanksi Pelanggaran Kampanye Diserahkan ke Penegak Hukum
Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2024 sanksi terhadap pelanggar ketentuan kampanye diserahkan kepada Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum tidak lagi mengatur sanksi atas pelanggarankampanye yang dilakukan peserta pemilu. Pengaturan sanksi diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum, yakni Badan Pengawas Pemilu dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang diundangkan pada 17 Juli 2023, tidak ada norma khusus yang mengatur tentang sanksi. PKPU yang terdiri atas 85 pasal tersebut hanya mengatur, antara lain, pelaksanaan kampanye, materi kampanye pemilu, metode kampanye, pemberitaan dan penyiaran, kampanye pemilu oleh pejabat negara, larangan kampanye pemilu, sosialisasi dan pendidikan politik, serta sistem informasi.
Aturan kampanye di Pemilu 2024 berbeda dengan aturan di Pemilu 2019. Dalam PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, diatur norma tentang larangan dan sanksi. KPU pada waktu itu mengatur beberapa jenis sanksi bagi pelanggar ketentuan kampanye. Ada beberapa bentuk sanksi yang diatur, yakni peringatan tertulis, penurunan atau pembersihan bahan kampanye, penghentian iklan kampanye, larangan bagi menteri dan kepala deerah untuk mengikuti kampanye, serta penghentian kegiatan kampanye.
Anggota KPU, August Mellaz, mengatakan, sanksi terhadap pelanggar ketentuan kampanye diserahkan kepada penegak hukum, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Alasannya, pengaturan sanksi semestinya diatur oleh lembaga yang berwenang. KPU sebagai penyelenggara pemilu hanya mengatur apa saja yang boleh dilakukan dan dilarang oleh peserta pemilu saat berkampanye.
”Pandangan kami, tidak tepat kalau KPU mengatur lembaga lain, padahal rujukan-rujukan sanksinya sudah diatur di undang-undang,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/7/2023).
Mellaz menuturkan, KPU tidak perlu mengatur sanksi atas pelanggaran kampanye karena semua sanksi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta undang-undang lain yang terkait. Nantinya, penegak hukum, yakni Bawaslu dan Gakkumdu, akan mengacu pada peraturan Bawaslu dan undang-undang terkait dalam memberikan sanksi.
”Sanksinya apa saja? Itu nanti konstruksi dari Bawaslu dalam excersise kewenangannya dengan aparat penegak hukum. Kami, kan, tidak mungkin mengatur Bawaslu untuk itu karena ini PKPU, masak isinya mengatur lembaga lain,” tuturnya.
Lebih jauh, menurut Mellaz, peniadaan norma tentang sanksi sempat menjadi pembahasan saat proses harmonisasi bersama Kementerian Hukum dan HAM. Sebab, dalam draf PKPU Kampanye Pemilu masih memuat norma tentang sanksi pelanggaran kampanye. Dinamika yang berkembang saat itu, ada pandangan bahwa PKPU hendaknya tidak mengatur tentang sanksi. Sebab, sanksi seharusnya diatur dengan regulasi setingkat undang-undang.
KPU Kampanye Pemilu semestinya tetap mengatur sanksi terkait pelanggaran politik uang. Sebab, pelanggaran terhadap politik uang, terutama yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis, masih menjadi kewenangan KPU.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, peniadaan sanksi dalam PKPU Kampanye Pemilu sudah tepat. Sebab, aturan yang sudah ada dalam undang-undang lain tidak perlu dipindahkan ke PKPU, terutama sanksi pidana.
Namun, ia menilai, PKPU Kampanye Pemilu semestinya tetap mengatur sanksi terkait pelanggaran politik uang. Sebab, pelanggaran terhadap politik uang, terutama yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis, masih menjadi kewenangan KPU. Jika nantinya ada putusan Bawaslu terkait politik uang, KPU semestinya menyiapkan aturan teknis untuk menindaklanjuti putusan tersebut.
”Karena ini tidak diatur, bisa menimbulkan kebingungan, multitafsir, dan problem dalam tataran implementasi oleh KPU untuk menindaklanjutinya,” kata Fadli.
Oleh karena itu, lanjutnya, Bawaslu dalam membentuk Peraturan Bawaslu tentang Pengawasan Kampanye Pemilu seharusnya bisa mengakomodasi kekurangan-kekurangan yang ada dalam PKPU Kampanye Pemilu. Sepanjang masih menjadi kewenangan Bawaslu, lembaga pengawas ini bisa mengatur sanksi, terutama sanksi administrasi yang tidak ada dalam PKPU Kampanye Pemilu. Norma mengenai sanksi juga harus lebih detail agar putusannya bisa dilaksanakan oleh KPU tanpa ada kebingungan.
”Proses penegakan hukum pemilu menjadi salah satu penentu integritas penyelenggaraan pemilu. Maka, sanksi yang diberikan kepada pelangar harus jelas dan bisa menjadi pedoman bagi peserta pemilu agar berhati-hari untuk tidak membuat pelanggaran,” tutur Fadli.
Di sisi lain, ia menyoroti hilangnya norma mengenai sanksi di PKPU Kampanye Pemilu. Sebab, dalam draf uji publik rancangan PKPU Kampanye Pemilu, masih ada norma mengenai sanksi. Namun, pada akhirnya aturan mengenai sanksi akhirnya hilang sehingga menimbulkan pertanyaan publik karena draf awal dengan PKPU yang diundangkan berbeda.
”KPU harus menjelaskan proses hilangnya aturan yang sudah diuji publik, apakah ditolak oleh Komisi II DPR saat konsinyering atau ada pertimbangan lain. Hilangnya aturan-aturan setelah uji publik jangan sampai disebabkan ada pihak yang mengintervensi KPU karena ini sudah beberapa kali terjadi,” ujar Fadli.