Perlindungan HAM Disorot, Densus 88 Pastikan Lindungi Warga Negara
Polri diharapkan dapat meningkatkan keterampilan agar kasus terorisme ditangani dengan tetap mengedepankan perspektif HAM.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Proses penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme diharapkan selalu mengindahkan aspek pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atau HAM. Dalam memenuhi harapan itu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri memastikan bahwa upaya yang dilakukan petugas adalah dalam rangka melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara.
Pendiri dan Direktur Yayasan Empatiku, Mira Kusumarini, menyampaikan, masih ada serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme. Pelanggaran salah satunya terjadi saat proses penyidikan seperti penahanan berlebihan, sulitnya mengakses bantuan hukum, hingga salah tangkap. Potensi pelanggaran HAM juga terjadi ketika terpidana terorisme tengah menjalani masa hukumannya.
”Terhadap terpidana, kami menyorot pada pengalaman atau penerapan one man one cell yang sangat berpotensi melanggar HAM. Ada kajian di Amerika Serikat yang sebetulnya tidak menyarankan adanya one man one cell,” kata Mira dalam Seminar Nasional ”Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil Di Indonesia: Pembelajaran Dan Praktik Baik” yang diselenggarakan Yayasan Empatiku berkerjasama dengan Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Senin (17/3/2023).
Pelanggaran HAM, lanjut Mira, juga berpotensi terjadi dalam penanganan narapidana risiko tinggi. Sebab biasanya, penanganan hanya difokuskan pada aspek keamanan, bukan pembimbingan. Tak hanya itu, pendampingan medis, psikologis dan psikososial bagi pelapor, saksi dan korban juga dibatasi waktu. Korban tindak pidana terorisme pun tidak termasuk kelompok sasaran BPJS Kesehatan.
Identitas pelapor tindak pidana terorisme juga sulit dijaga. Bahkan, advokat dan pembela HAM tidak termasuk dalam bagian yang dilindungi HAM dalam proses penegakan hukum tindak pidana terorisme. Demikian pula perempuan dan anak menjadi target penyebaran paham terorisme.
Atas dasar itu, Mira menyampaikan sejumlah rekomendasi. Salah satunya pentingnya Polri meningkatkan keterampilan agar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme dilakukan dalam perspektif HAM. Rekomendasi lain adalah meminta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham untuk mengembangkan panduan penanganan dan pembimbingan bagi anak warga binaan yang terafiliasi dengan terorisme.
Terhadap terpidana, kami menyorot pada pengalaman atau penerapan one man one cell yang sangat berpotensi melanggar HAM. Ada kajian di Amerika Serikat yang sebetulnya tidak menyarankan adanya o ne man one cell.
Dalam tanggapannya, Kepala Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Imam Subandi mengatakan, penempatan satu terpidana terorisme dalam satu sel (one man one cell) tersebut didasarkan pada kecenderungan penyebaran ideologi kekerasan yang malah meluas di dalam tahanan atau ketika menjalani hukuman. Seorang terpidana kejahatan biasa berpotensi terpengaruh paham radikal jika ditahan dalam satu sel yang sama dengan terpidana kasus terorisme.
Imam menegaskan, penegakan hukum memang bersifat memaksa. Oleh karena itu, terdapat syarat ketat yang harus dipenuhi polisi dalam menjalankan tugasnya. Ketika seorang polisi melanggar syarat tersebut, polisi telah melanggar HAM. Dalam kerangka ini, konsep HAM adalah perlindungan terhadap warga negara atas kemungkinan dilanggarnya HAM warga negara oleh negara.
Imam pun menggarisbawahi perbedaan terorisme dengan kejahatan lain. Ketika pelaku kejahatan lain berupaya menghindari kematian, dalam aksi teror si pelaku justru bertujuan untuk mati. ”Misal, polisi harus mengambil nyawa demi melindungi nyawa orang lain, itu merupakan pilihan berat. Ketika terjadi kematian, itu adalah ekses dan saat itu bisa dipertanggungjawabkan maka itu harusnya bukan pelanggaran HAM. Itu adalah wujud kehadiran negara yang dengan terpaksa harus melanggar HAM,” ujarnya.
Dari pengalamannya sendiri, kata Imam, petugas Densus 88 Antiteror Polri tetap menggunakan diskresinya. Semisal, dalam prosedur tetap dinyatakan bahwa ketika membawa tersangka maupun terpidana terorisme, petugas harus menutup mata dan memborgol mereka. Namun, atas diskresi petugas, hal itu tidak dilakukan karena melihat situasi dan kondisi yang ada.
Pada kesempatan itu, Deputi bidang Kerja Sama Internasional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Krisnayudanto mengatakan, terorisme termasuk dalam kejahatan serius. Jika di negara lain terorisme terjadi di wilayah konflik, seperti di Suriah dan Irak, di Indonesia terorisme dilakukan dalam keadaan damai. Meski nuansanya berbeda, penegakan hukumnya tetap harus mengindahkan prinsip HAM.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kata HAM disebut sebanyak lima kali. Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama, kata HAM tidak disebut sama sekali. Hal itu memperlihatkan kehati-hatian negara dalam penanganan tindak pidana terorisme untuk tetap memperhatikan perlindungan HAM.
Ketua Program SKSG UI Muhamad Syauqillah berpandangan, diperlukan integrasi banyak pihak dalam menjalankan upaya tertentu terkait terorisme. Semisal dalam program deradikalisasi terhadap anak yang terafiliasi terorisme, tidak cukup hanya satu lembaga negara yang menangani karena rumit. Demikian pula dalam membina napi terorisme di lembaga pemasyarakatan juga memerlukan peran serta banyak pihak. Pendekatan banyak pihak inilah yang perlu dikembangkan.