“Rengasdengklok” Itu Kini Ada di Medsos
Perkembangan teknologi informasi semakin memperluas gerakan politik anak muda. Terlebih jalur formal masih sulit untuk bisa diharapkan guna menyerap serta merealisasikan aspirasi dan harapan publik.
Di tengah kecenderungan mayoritas yang bersikap apatis, sebagian anak muda masih berupaya menjaga kesadaran kritis. Tak hanya terus menyebarkan pendidikan politik, tuntutan terhadap penguasa untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik juga terus dilakukan. Jika dulu desakan anak muda identik dengan penculikan Soekarno dan Moh Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat, kini hal itu berpindah ke jagat maya.
Narator sebuah siniar (podcast) berdurasi 3 menit 10 detik yang diunggah ke platform media sosial Spotify, 21 Juni 2021, mengucapkan selamat ulang tahun untuk pemimpin tertinggi sebuah negara yang berulang tahun hari itu. Meski diibaratkan sebagai raja, sosok itu disebut sangat dekat dengan musik sekaligus tak pernah berhenti bekerja. Ia pun didoakan semakin makmur, juga dicintai dua putra dan satu putrinya.
”Semoga putranya bisa mengikuti jejak ayahnya, kalau pengin, ya. Kakaknya memang pengin enggak, sih. Kalau yang adiknya, sih, enggak tahu, tapi kalau yang abangnya, sih, gue bilang pengin, deh, kayaknya. Yang adiknya belum tentu pengin karena dia, kan, masih kelihatan lucu, nyantai. Terus kalau abangnya, tuh, yang depannya G, nanti juga ujung-ujungnya kayak bapaknya itu gue bilang,” ujarnya.
Ia juga berpesan agar sang tokoh mengajak partnernya untuk lebih sering tampil. Pemimpin itu diminta untuk tak selalu menuruti perintah dari seorang tokoh perempuan yang lebih tua. Publik menduga, sebagian langkah yang dia ambil tidak didasarkan pertimbangan pribadi, tetapi perintah dari tokoh perempuan tersebut.
"Semoga yang nonton enggak pada salah tangkap kita ngomongin siapa. Soalnya yang dari tadi kita omongin adalah the one and only Prince William. Rakyat yang kita omongin tadi, ya, rakyat London, Inggris,” sambung si narator.
Baca juga: Kaum Muda Hadapi Ruang Sempit Politik
Partner yang perlu lebih sering tampil di media, lanjutnya, adalah Kate Middleton, istri Pangeran William dari Kerajaan Inggris. Tokoh perempuan lebih tua yang dimaksud tak lain adalah Carole Middleton, ibunda Kate. Anak si tokoh yang masih berusia muda adalah Pangeran Louis, sedangkan anaknya yang lebih tua, yang memiliki inisial G, adalah Pangeran George.
Video lalu ditutup dengan lagu ”Panjang Umurnya” dengan lirik yang diubah menjadi ”panjang periodenya”.
Siniar berjudul ”Panjang Periodenya” itu diunggah akun Spotify ”Podcast Kesel Aje” milik komedian Nozanda Arsena Rangkuti yang populer dengan nama Oza Rangkuti. Unggahan yang juga divisualisasikan di kanal Youtube, Instagram, dan Tiktok tersebut muncul tak lama setelah wacana masa jabatan presiden tiga periode kembali mengemuka, setelah pertama kali terdengar pada akhir 2019. Wacana itu menjadi kontroversi publik karena bertentangan dengan konstitusi.
”Ini, kan, namanya Podcast Kesel Aje, membahas hal-hal yang menurut saya lucu dan meresahkan. Biasanya hal-hal yang sudah membuat orang kesal juga,” kata Oza saat diwawancarai, Jumat (14/7/2023).
Isu politik merupakan salah satu yang disoroti dalam membuat materi komedi, baik yang disampaikan secara daring maupun saat tampil dalam komedi tunggal, selama empat tahun terakhir. Selain soal masa jabatan presiden dan politik kekerabatan, beberapa tema yang pernah dibahas adalah kebebasan berpendapat, pasal bermasalah dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan kasus korupsi.
Baca juga: Aral Melintang Politisi Muda
”Soal politik pasti ada di kepala semua orang seusia kita-kita ini, karena politik bisa memengaruhi hidup kita. Itu makanya mulai jadi keresahan. Saya pun suka membahasnya juga,” kata komedian berusia 31 tahun itu.
Alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo Beragama, Jakarta, itu memandang, komedi tetaplah komedi yang bertujuan menghasilkan karya seni. Namun, ia tak bisa menyangkal jika ada pihak yang menganggapnya sebagai aktivitas politik. Sebab, dari materi yang disampaikan, publik akan memahami posisi dan keberpihakannya pada berbagai permasalahan. ”Tetapi, kalau ada orang punya keresahan yang sama setelah melihat konten saya, itu bonus saja,” ujar Oza.
Ruang alternatif
Kendati demikian, ia meyakini media sosial (medsos) merupakan ruang yang tepat bagi anak muda untuk menyampaikan keresahan terhadap negara dan mendapatkan tindak lanjutnya secara cepat. Berkaca dari beberapa fenomena terakhir, kasus-kasus yang lambat ditangani penegak hukum bisa tuntas seketika setelah viral di medsos, salah satunya Twitter.
”Walaupun kita lihat Twitter ini suka toksik dan isinya orang berantem, tetapi ada sesuatu di sana. Apa yang dilakukan Twitter itu bisa terjadi di skala nasional. Bisa dibilang, Twitter adalah ’Rengasdengklok’ zaman sekarang,” tutur Oza.
Selain di Twitter, perubahan seketika pernah terjadi berkat dorongan kritik di Tiktok. Bima Yudho Saputro (23), warga Lampung yang sedang menempuh studi di Australia, sempat mengunggah video tiga menit yang mengkritik lambannya pembangunan di kampung halamannya. Meski aspirasi sempat direspons dengan tuntutan hukum dari pejabat setempat, kritiknya mendapat pembelaan warganet. Kontroversi itu pun memicu kedatangan Presiden Joko Widodo ke Lampung lalu memerintahkan perbaikan pembangunan di sejumlah tempat yang disebutkan Bima, tak sampai sebulan setelah videonya viral.
Bahkan, pada 2019, pembicaraan mengenai kontroversi Rancangan KUHP dan rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang viral di lintas platform medsos telah memantik gerakan mahasiswa. Pembicaraan yang bergaung dengan tagar #reformasidikorupsi itu menjadi momentum bagi mahasiswa di berbagai daerah berunjuk rasa besar-besaran dengan narasi yang sama.
Peran medsos yang terbuka bagi semua orang dari berbagai kalangan menjadi strategis untuk menyampaikan aspirasi di tengah sulitnya mengakses institusi formal. Muhammad Rifqi Abdillah (22), Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bercerita, pihaknya berulang kali mendatangi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyampaikan rekomendasi atas sejumlah kebijakan pemerintah. Namun, mahasiswa tak pernah ditemui pengambil kebijakan sehingga pertemuan sebatas formalitas.
”Kalau kami datang ke kementerian, jangankan bertemu menteri, dirjen (direktur jenderal) saja sulit,” katanya.
Baca juga: Kaum Muda Butuh Keberpihakan Elite Politik
Oleh karena itu, lanjut Rifqi, ruang alternatif seperti demonstrasi masih menjadi pilihan untuk menyampaikan aspirasi. Hal itu kini dilengkapi dengan keberadaan medsos yang digunakan untuk menyebarkan pandangan dan hasil kajian terhadap permasalahan kekinian. Selain untuk mempercepat konsolidasi sebelum berunjuk rasa, distribusi wacana di medsos menjadi jalan memberikan pendidikan politik.
Misalnya, dengan membuat infografis atau video parodi yang memvisualkan hasil riset sekaligus kritik terhadap kebijakan pemerintah. Meski tak ada kesepakatan sebelumnya, sesekali ada kesamaan isu dalam unggahan medsos BEM antaruniversitas yang menandakan ada keterhubungan wacana di antara mereka.
”Misalnya, isu cawe-cawe Presiden di Pemilu 2024. Selain BEM UNJ, BEM lainnya juga membahas soal itu di medsos. Ketika ada rakernas (rapat kerja nasional) BEM seluruh Indonesia beberapa bulan lalu, itu akhirnya dikembangkan menjadi evaluasi atas sembilan tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan ditetapkan menjadi isu nasional yang akan kami bawa pada Oktober 2023,” ujar Rifqi.
Pergeseran
Peneliti PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, mengatakan, perkembangan teknologi informasi memang telah menggeser gerakan politik anak muda. Pada dekade-dekade sebelumnya, upaya membangun gerakan ada di ruang terbuka antarkampus, wilayah-wilayah advokasi, dengan memanfaatkan terbitan-terbitan informal. Kini, itu semua dilakukan di medsos dengan berbagai bentuk unggahan. Mereka juga cenderung membentuk komunitas-komunitas karena tak suka dikontrol dan dicekoki budaya feodal yang ada di partai politik.
Baca juga: Komodifikasi Kaum Muda di Ruang Politik
Foto-foto peristiwa reformasi ditampilkan dalam pameran foto jurnalistik "ANTARA Mei 98" di Pos Bloc, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Melalui penggunaan medsos, anak muda memiliki ruang yang lebih luas untuk mengemukakan keresahan. Hanya saja, sejauh ini isu yang disoroti terkadang masih sektoral dan tidak terhubung satu sama lain. Pesan dan gerakan yang menyebar pun kerap masih menjadi sekadar kebisingan di ruang maya, belum ada yang mampu menjadi dasar untuk mengubah kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat.
”Tetapi, kebisingan itu juga mesti dicatat sebagai sebuah pencapaian, karena paling tidak penguasa akan menganggap gerakan politik rakyat masih ada,” kata Virdika.
Menurut dia, ke depan anak muda harus diberi kesempatan dan kepercayaan dalam berpolitik. Generasi yang kini berkuasa pun berkewajiban untuk menciptakan ruang dan ekosistem politik yang baik untuk generasi muda.
”Generasi yang sekarang berkuasa mesti diingatkan bahwa mereka meminjam Indonesia dari generasi saat ini. Begitu juga di masa depan, generasi saat ini hanya meminjam Indonesia dari generasi selanjutnya. Kalau meminjam, artinya harus dijaga dengan baik, jangan sampai rusak,” tutur Virdika.