Tiga Pasal Larangan Aparatur Desa Gabung Partai Politik Digugat ke MK
MK diminta membatalkan tiga pasal dalam UU Desa yang mengatur larangan kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa menjadi pengurus partai politik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatalkan larangan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa menjadi anggota ataupun pengurus partai politik. Selain bertentangan dengan konstitusi, larangan yang diatur dalam tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa itu juga dinilai diskiminatif dan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk aktif dalam politik praktis.
Permohonan itu diajukan oleh Mahmudi, Sekretaris Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ia menguji tiga pasal dalam UU Desa, salah satunya Pasal 29 huruf g yang menyebutkan, ”Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik”. Selain itu, Pasal 51 huruf g yang mengatur larangan perangkat desa menjadi pengurus partai politik serta Pasal 64 huruf h yang juga mengatur larangan menjadi pengurus parpol bagi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Larangan para perangkat desa aktif sebagai anggota atau pengurus partai tertentu tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi, antara lain Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 terkait jaminan kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 28C UUD 1945 terkait hak untuk mengembangkan diri dan memajukan diri serta Pasal 28D Ayat (1) dan (3) UUD 1945 yang mengamanatkan jaminan serta perlindungan akan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta mendapatkan kesempatan sama dalam pemerintahan.
Larangan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan jaminan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain itu, larangan itu juga bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 tentang jaminan bebas dari perlakuan diskriminatif.
”Pemohon diperlakukan tidak adil, diskriminatif, dan tidak diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan oleh ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa, karena setingkat jabatan presiden, wakil presiden, menteri, DPR, DPRD, kepala daerah tidak dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik. Sedangkan pejabat di tingkat desa dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik,” kata Mahmudi dalam berkas permohonannya yang berjumlah sembilan halaman, seperti dikutip pada Jumat (14/7/2023).
Perkara Mahmudi tersebut teregister dengan nomor 76/PUU-XXI/2023 pada 13 Juli 2023.
Pemohon diperlakukan tidak adil, diskriminatif, dan tidak diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan oleh ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa.
Ia juga mempertanyakan alasan melarang putra-putri terbaik desa yang menjadi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD untuk aktif dalam partai politik. Apalagi, partai politik bukan organisasi terlarang, bukan pula organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. ”Serta bukan organisasi pemecah belah bangsa, tetapi organisasi yang memiliki tujuan mulia,” ungkap Mahmudi.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana, mendukung adanya larangan bagi para pejabat di pemerintahan desa tersebut berpartai politik. Larangan itu, antara lain, untuk menjaga agar tetap profesional dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat desa.
”Kalau berparpol sangat dikhawatirkan akan memecah belah masyarakat di desa, terutama rawan adanya diskriminasi pelayanan,” ujarnya.
Apabila kepala desa beserta perangkatnya menjadi partisan, mereka dikhawatirkan akan sibuk di parpol daripada mengurus kepentingan masyarakat desa. ”Desa bisa jadi terkotak-kotak sesuai warna parpolnya,” kata Allan.