PBNU Serukan Merawat Perbedaan dengan Hidup Harmonis
Kondisi dunia yang sudah tidak ada sekat ini perlu mengedepankan keharmonisan untuk menjaga persatuan dan menekan konflik akibat perbedaan tersebut.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, isu tentang perbedaan menjadi semakin krusial di era globalisasi. Kondisi dunia yang sudah tidak ada sekat ini perlu mengedepankan keharmonisan untuk menjaga persatuan dan menekan konflik akibat perbedaan tersebut.
”Semua orang memiliki tanggung jawab untuk mengupayakan kehidupan yang harmonis di masa depan untuk menghindari konflik berkepanjangan. Jika tidak, konflik antar-perbedaan akan terus terjadi dan menghancurkan kemanusiaan,” tutur Gus Yahya, sapaan akrabnya, melalui keterangan tertulis saat forum sosialisasi ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (ASEAN IIDC) 2023, di Palembang, Senin (10/7/2023).
Acara ini turut diihadiri sejumlah tokoh, seperti Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, Rektor UIN Raden Fatah Palembang Nyayu Khodijah, Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R Suryodipuro, dan Staf Ahli Hubungan Antarlembaga Kemenlu Habib Muhsin Syihab.
Menurut Gus Yahya, pada masa lalu, orang bisa merasa nyaman memelihara cirinya sendiri-sendiri tanpa terganggu oleh orang lain karena bisa memisahkan diri dari yang lain. Namun sekarang, orang yang berlatar belakang saling berbeda terpaksa harus bertemu dan terlibat dalam urusan bersama atau dalam keadaan saling berbeda.
Gus Yahya mencontohkan, dahulu orang Palembang tidak perlu harus berurusan dengan orang Madura. Namun, di masa sekarang hal itu dimungkinkan karena Ketua PWNU Sumatra Selatan KH Amiruddin Nahrawi adalah orang asli Madura. Contoh lain, ada Rishi Sunak sebagai seorang berdarah India yang menjadi Perdana Menteri di Inggris.
Oleh karena itu, lanjut Gus Yahya, harmoni merupakan tujuan hidup bagi semua umat manusia. Dengan demikian, menciptakan harmoni merupakan cita-cita dan ajaran semua agama sehingga wajib diperjuangkan. Tindakan atau perilaku yang menyebabkan konflik tentu harus dikutuk semua umat beragama karena telah mengganggu harmoni.
”Maka, jelas bahwa peradaban yang kita hidupi bersama ini membutuhkan unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di antara kita semua, dan di tengah-tengah perbedaan yang kita miliki ini,” ujarnya.
Mengutip kalimat nasihat Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk membantu Islam selain dengan menolong kemanusiaan seluruhnya. Gus Yahya yakin, jika hanya berpikir tentang Islam saja, dengan mengabaikan yang lain atau menganggap yang lain sebagai rintangan, maka Islam bukannya akan mencapai kemaslahatan, tetapi justru akan terbentur pada konflik-konflik yang tidak berujung.
Maka jelas bahwa peradaban yang kita hidupi bersama ini membutuhkan unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di antara kita semua, dan di tengah-tengah perbedaan yang kita miliki ini.
”Artinya Islam, tidak akan memenangi apa-apa, selain hancur bersama-sama yang lain,” tutur Gus Yahya.
Berdampingan secara damai
Hingga kini, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1945 menjadi sebuah konsensus untuk hidup berdampingan secara damai bagi masyarakat dunia. Namun, konsensus ini tidak serta-merta menjadi negara-negara di dunia damai tanpa ada konflik. Sampai hari ini pun konflik yang disebabkan aspirasi politik dan ekonomi yang berbeda-beda masih saja berlangsung dan muncul.
”Kalau konflik-konflik yang ada ini kita biarkan dan potensi-potensi konflik kita perbolehkan untuk berkembang menjadi konflik-konflik yang aktual, (maka) tidak ada masa depan bagi dunia ini selain kehancuran bersama.”
”Kalau konflik-konflik yang ada ini kita biarkan dan potensi-potensi konflik kita perbolehkan untuk berkembang menjadi konflik-konflik yang aktual, (maka) tidak ada masa depan bagi dunia ini selain kehancuran bersama,” kata Gus Yahya.
Secara terpisah, pengamat politik yang juga pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Kunto Adi, mengatakan, Indonesia telah menempatkan perdamaian dunia dalam dasar negara. Perdamaian ini terkonsep dalam ciri khas persatuan yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa.
”Bangsa Indonesia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, yakni nilai persatuan. Maka, nilai persatuan ini harus sedari kecil ditanamkan kesadaran bahwa manusia hidup berdampingan satu sama lain,” katanya.
Meski demikian, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya aman. Banyaknya konflik dan politik identitas yang dipermainkan oleh politisi untuk memecah belah bangsa sehingga semakin menghambat upaya mencapai kedamaian.
”Polarisasi politik ini ibarat sebuah spiral ke bawah. Semakin terdorong ke dalam maka sebuah masyarakat akan semakin sulit keluar dari polarisasi dan semakin meruncingkan identitas perbedaan,” kata Kunto.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga perlu memperbarui konsep persatuan dengan sesuai konteksnya. Kemudian, internalisasi nilai Pancasila sangat diperlukan untuk menumbuhkan toleransi dan keragaman perbedaan pada masyarakat.
Selanjutnya, ASEAN IIDC akan diselenggarakan pada September 2023 sebagai bagian dari penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Kegiatan ini akan membahas tentang peradaban masyarakat di kawasan Indo-Pasifik. Di forum ini, PBNU akan mengundang para tokoh lintas agama di kawasan ASEAN.