KPU Didesak Segera Susun Regulasi Kampanye di Media Sosial
Komisi Pemilihan Umum didorong untuk segera menerbitkan regulasi tentang kampanye di media sosial. Platform tersebut jadi salah satu andalan partai politik untuk menarik suara pemilih.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Media sosial disebut berperan penting bagi kemenangan partai politik, calon anggota legislatif, serta calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2024. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum perlu segera mengeluarkan peraturan mengenai kampanye di media sosial. Peraturan itu penting untuk mengatur secara tegas kampanye di media sosial sekaligus mengantisipasi kemungkinan munculnya kampanye negatif dan kampanye hitam seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu.
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjajaran, Bandung, Kunto Adi Wibowo, mengungkapkan, berdasarkan data yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari 50 persen dari total pemilih Pemilu 2024 merupakan anak muda. Umumnya, anak muda mencari informasi melalui media sosial. Karena itulah, media sosial punya peran krusial bagi kemenangan para peserta Pemilu 2024.
Para peserta pemilu, baik partai politik, calon anggota legislatif (caleg), maupun calon presiden-calon wakil presiden, juga sudah menyadari pentingnya media sosial dalam pemenangan pemilu. Menurut Kunto, salah satu bakal capres yang berhasil memanfaatkan media sosial adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Konten-konten yang disebarkan di media sosial dinilai berhasil mendongkrak elektabilitas Menteri Pertahanan tersebut.
Di sisi lain, media sosial juga kerap dimanfaatkan untuk kampanye negatif, bahkan kampanye hitam. Berita bohong, misinformasi, hingga polarisasi politik yang meruncing tersebar di media sosial seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Hal itulah yang menurut Kunto, harus diwaspadasi dan diantisipasi. “Menurut saya, itu pasti akan terulang, apalagi tensi politik makin tinggi. Teknologi makin canggih, (seperti) dengan adanya kecerdasan buatan (AI) sekarang, bikin hoaks bisa lebih canggih dan lebih susah untuk diverifikasi,” tutur Kunto saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/7/2023).
Namun sampai saat ini, belum ada peraturan mengenai kampanye di media sosial, termasuk batasan penggunaan anggarannya. Karena itu diharapkan, KPU dapat segera membuat regulasi sebagai pedoman berkampanye di media sosial.
Menurut Kunto, hal yang perlu diatur salah satunya adalah batasan jumlah akun media sosial para peserta pemilu yang digunakan untuk berkampanye. Hal yang juga penting adalah batasan anggaran yang dikeluarkan untuk kampanye di media sosial. "Regulasi harus dapat membuat arena pertarungan menjadi adil," tuturnya.
Pekerjaan yang perlu diselesaikan saat ini adalah bagaimana agar kampanye di media sosial (dapat) lebih demokratis dan akuntabel, terutama terkait akuntabilitas pendanaan dan disinformasi, serta misinformasi di media sosial
Selain itu juga penanganan pelanggaran oleh simpatisan parpol, caleg, maupun capres-cawapres. KPU perlu pula mengatur pihak-pihak yang harus bertanggung jawab ketika simpatisan peserta pemilu menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, dan semacamnya di media sosial. Apakah pelanggaran itu menjadi tanggung jawab individu simpatisan ataukah parpol dan kandidat caleg serta capres-cawapres, harus diatur dengan jelas.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, masih banyak hal yang perlu diatur terkait kampanye di media sosial. “Pekerjaan yang perlu diselesaikan saat ini adalah bagaimana agar kampanye di media sosial (dapat) lebih demokratis dan akuntabel, terutama terkait akuntabilitas pendanaan dan disinformasi, serta misinformasi di media sosial,” tuturnya.
Titi mengungkapkan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilu memang telah mengatur mengenai kampanye di media sosial. Namun, yang diatur baru sebatas pada kepemilikan maksimal 10 akun untuk tiap jenis platform media sosial.
Titi menilai, pembatasan jumlah akun sebenarnya tak terlalu relevan untuk menopang efektivitas dan kualitas kampanye. Pembatasan dinilai tak ada urgensinya karena tujuan pendaftaran akun sebagai sarana edukasi politik pada pemilih untuk mengakses informasi resmi kandidat.
“(Bagian) yang bermasalah (justru) akun-akun anonim atau mengaku tidak terasosiasi dengan peserta pemilu karena mereka banyak sebar hoaks, propaganda provokatif dalam proses kampanye,” ujarnya.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dana juga perlu diperhatikan. Sebab, ia menilai, apa yang dibelanjakan dan termonitor saat ini tak tecermin dalam laporan dana kampanye. Saat ini, bahkan aktor-aktor politik yang berstatus bakal calon anggota legislatif (caleg) sudah menggunakan iklan serupa kampanye di media sosial.
Tak hanya belanja iklan, dana untuk membiayai pengerahan pendengung atau buzzer serta penggunaan figur-figur berpengaruh untuk kepentingan kampanye juga selama ini tak dilaporkan. “Jadi banyak sekali yang berperan sebagai pencipta opini alias buzzer atau influencer yang sebenarnya melakukan kerja-kerja kampanye tapi itu tidak dilaporkan aktivitasnya, baik di laporan dana kampanye atau struktur tim sukses peserta pemilu,” tutur Titi.
PKPU No. 23/2018 dan PKPU No. 33/2018 masih merujuk pada tahapan Pemilu 2019. Oleh karena itu, Titi mendorong agar KPU segera menerbitkan revisi atau regulasi baru yang mengatur lebih rinci mengenai kampanye di media sosial.
Definisi sosialisasi politik dan kampanye harus diatur secara jelas dan tegas. Begitu pula skema tanggung jawab platform media sosial perlu lebih jelas, tetapi tetap dijaga secara proporsional agar tak membelenggu kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Menanggapi persoalan itu, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan bahwa regulasi KPU mengenai kampanye pemilu tengah diproses. Namun, ia tak merinci lebih lanjut. “Saat ini, Rancangan Peraturan KPU Tentang Kampanye Pemilu Serentak 2024 masih dalam finalisasi legal drafting,” ujarnya.
Berdasarkan data belanja iklan dari perusahaan teknologi Meta Plaltform yang menaungi Facebook dan Instagram, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) jadi partai dengan pengeluaran terbesar kedua setelah Golkar. Partai anak muda itu menggelontorkan Rp 785,6 juta untuk iklan, tepat di bawah Partai Pohon Beringin sebesar Rp 3,7 miliar. (Kompas.id, 4/7/2023).
Dewan Penasihat sekaligus Juru Bicara PSI, Helmy Yahya, mengungkapkan, PSI memang menggunakan media sosial untuk berkampanye. “Kami sadar betul dukungan media sosial karena kami tahu market kami pun anak-anak muda. Jadi kami memilih (untuk) cukup mempertimbangkan penggunaan kampanye melalui media sosial,” ujarnya.
Pentingnya pemanfaatan media sosial juga dituturkan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno. PAN telah memberikan pelatihan bagi para kadernya untuk menggunakan media sosial yang baik, benar, dan beretika agar dapat menyampaikan gagasan-gagasan bagi masyarakat di tiap daerah pemilihan (dapil).
Meski demikian, penentu pilihan konstituen akan terjalin ketika kader tetap hadir dan turun ke masyarakat. Hal ini membuatnya diketahui dan dikenal masyarakat.
Selain “serangan udara” melalui media sosial, PAN mendorong agar kadernya juga melakukan “serangan darat” melalui perjumpaan, silaturahmi dengan masyarakat secara langsung, serta menyebarkan poster dan spanduk. “Agar apa yang dilihat di media sosial juga dilihat sehari-hari, baik itu langsung, bertemu dengan calegnya, maupun melalui alat peraga,” kata Eddy.