Kasus dugaan korupsi pembangunan menara BTS dinilai mempertontonkan pemandangan kontras antara kemiskinan rakyat dan praktik korupsi penyelenggara negara. Kasus ini diharapkan bisa dibuka hingga terang benderang.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Pembacaan dakwaan terhadap bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dianggap tak lantas membuat kasus korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022 menjadi terang benderang. Disinyalir masih ada pihak lain yang terlibat, tetapi tak disebut dalam dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum.
Di sisi lain, setelah pemeriksaan terhadap Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo, pihak Kejaksaan Agung mengungkapkan dugaan adanya upaya mengendalikan kasus tersebut. Tak berselang lama, kuasa hukum salah satu terdakwa, Maqdir Ismail, menyatakan telah menerima pengembalian uang Rp 27 miliar dalam mata uang dollar AS. Uang itu disebutnya terkait dengan adanya pihak yang menjanjikan agar kliennya tidak diproses hukum.
Zainal Arifin Mochtar dari Dewan Penasihat Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada berpandangan, dakwaan terhadap Johnny memperlihatkan kasus tersebut hanya ditujukan kepada beberapa orang. Sebagai contoh, dalam dakwaan disebutkan perusahaan subkontraktor yang berafiliasi dengan Johnny, sementara tidak dengan perusahaan lain.
Menurut dia, selama para penegak hukum tampak memilah dan memilih pihak yang disasar dalam proses penegakan hukum, kecurigaan publik akan selalu muncul. ”Maka, betul dibilang ini namanya pemberantasan korupsi terpimpin, ada yang mendirijenkan pemberantasan korupsi hanya menyasar wilayah-wilayah tertentu,” kata Zainal, dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Korupsi BTS 4G Seret Banyak Politisi”, yang disiarkan Kompas TV, Rabu (5/7/2023) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula sebagai narasumber Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum 2016-2022 Henry Subiakto, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2002-2011 Yunus Husein, serta pemikir kebinekaan Sukidi.
Terkait dengan nota keberatan Johnny dalam sidang yang menyatakan proyek BTS 4G pada 2020-2022 sesuai arahan Presiden Joko Widodo, hal itu dinilai pertama-tama bukan menyangkutkan kasus itu kepada Presiden. Pernyataan Johnny itu tampak sebagai sinyal kasus tersebut terkait dengan proyek besar yang melibatkan banyak pihak secara bersama-sama.
Zainal mengaku khawatir ketika tendensi politik terasa kuat dalam suatu perkara besar, seperti proyek BTS 4G, biasanya yang terjadi adalah adu kepentingan pihak-pihak terkait hingga akhirnya mencapai satu titik kesetimbangan. Akibatnya, proses hukum tak tuntas atau dibatasi hanya sosok tertentu saja.
Terkait proses hukum proyek menara BTS 4G, Yunus mengaku mendapat informasi bahwa PPATK telah membantu penyidik Kejagung selama enam bulan. Selain itu, PPATK disebut telah menyerahkan laporan hasil penelusuran kepada penyidik Kejagung.
”Kita berharap di-follow up-lah hasil-hasil dari PPATK ini. Kami meminta pengawasan publik untuk mengontrol sehingga guided law enforcement (penegakan hukum terpimpin) itu bisa diluruskan,” katanya.
Menurut Yunus, penelusuran kasus tersebut bisa terhambat jika aliran uang diserahkan dalam bentuk tunai karena terdapat informasi terputus. Namun, aparat penegak hukum tetap dapat menelusuri asal uang yang berhasil disita. Biasanya, kata Yunus, pengambilan uang dalam jumlah besar akan mencantumkan nama bank asal, termasuk paraf dari kasir bank asal. Dari situ penyidik dapat menelusuri lebih lanjut tentang pemilik uang.
Di sisi lain, menurut Yunus, sebuah kasus korupsi dengan jumlah kerugian sangat besar biasanya tidak akan dinikmati sendiri alias dibagi-bagi. Hal itu merupakan bagian dari manajemen risiko. Tidak hanya itu, kasus korupsi semacam itu juga bisa terkait dengan pemilihan umum.
Direncanakan jauh hari
Henry menyampaikan, proyek pembangunan menara BTS 4G sudah direncanakan jauh-jauh hari. Proyek itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Menurut Henry, jika persoalan hukum dan politik terkait pembangunan menara BTS 4G tidak diselesaikan, masyarakat yang berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang menjadi korban. Jika proyek tersebut mangkrak, masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah 3T, akan kembali menjadi korban karena tidak mendapatkan hak berupa akses internet yang memadai.
Saat ini, proyek tersebut masih terhenti. Agar bisa berlanjut, diperlukan kontrak baru dengan penyedia infrastruktur untuk memperbaiki ataupun untuk membangun menara BTS 4G. ”Dalam konteks keadilan bagi masyarakat, pelaku harus dihukum. Pembangunan infrastruktur jangan berhenti karena merupakan komitmen negara dan ditunggu masyarakat,” kata Henry.
Menurut Sukidi, kasus dugaan korupsi pembangunan menara BTS mempertontonkan pemandangan yang kontras antara kemiskinan yang membelit rakyat dan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara. Hal tersebut dikhawatirkan akan menambah ketidakpuasan publik.
Kasus tersebut juga menunjukkan bahwa bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang korup dan korupsi menjadi masalah bersama. ”Yang belum tertangkap ini hanya masalah waktu,” kata Sukidi.
Masifnya korupsi yang terjadi, ujar Sukidi, merupakan akibat dari bangsa yang abai membangun karakter. Ketika suatu bangsa tumbuh tanpa karakter, proyek apa pun yang direncanakan akan berujung pada korupsi. Padahal, ongkos sosial terbesar dari praktik penyimpangan moral semacam itu adalah lunturnya nilai tentang yang baik dan buruk. Akibatnya, bangsa ini menjadi tidak punya pegangan moral yang benar.
Oleh karena itu, Sukidi mengingatkan pentingnya pembangunan karakter bangsa, berupa keteladanan, pendidikan budi pekerti, serta pendidikan Pancasila. Hal itu penting agar moralitas tidak hilang dan masyarakat tetap punya pegangan.