Kasus TPPO, Masyarakat Sipil Tanya, ”Dari Ribuan Ditangkap, Berapa yang Sudah Ada Laporan Polisinya?”
Kinerja Satgas TPPO diapresiasi sejumlah pihak. Namun, beberapa poin penting dievaluasi untuk tingkatkan kinerja agar perbaikan bisa menyeluruh dari hulu ke hilir. Terutama langkah hukum agar jangan sekadar formalitas.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
—
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, tanpa harus mengesampingkan hak-hak para korban, kasus TPPO harus benar-benar dituntaskan secara hukum. Kini, pihaknya tengah memantau kinerja Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Penangkapan para pelaku secara masif pada tingkat nasional, kemudian diikuti dengan data kuantitatif jumlah korban patut diapresiasi.
”Terkait kinerja ini bagus dalam hal membangun opini publik bahwa ada keseriusan dari pemerintah, khususnya kepolisian, untuk memberantas TPPO,” ujar Hariyanto saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Meski demikian, Hariyanto mengingatkan bahwa membahas TPPO tak hanya sekadar kuantitas pelaku dan korban. Lebih dari itu, ada proses hukum yang perlu dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
”Kemudian, indikator dari sekitar ribuan orang ditangkap, berapa yang sudah dapat laporan polisi (LP) dari kepolisian. Ini jadi pertanyaan besar kami,” katanya.
Kemudian indikator dari sekitar ribuan orang ditangkap, berapa yang sudah dapat laporan polisi (LP) dari kepolisian. Ini jadi pertanyaan besar kami.
Ia berharap agar kepolisian dapat segera memproses hukum para pelaku. Tak hanya itu, ada hak korban yang tak dapat dikesampingkan.
Setidaknya ada enam hak korban TPPO yang harus dipegang kepolisian. Beberapa di antaranya adalah hak untuk mendapat restitusi, hak tidak dikriminalisasi, hak untuk dirahasikan identitasnya, serta hak mendapatkan perlakuan hukum setara.
Hal serupa diutarakan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo. Namun, tindakan ini tak terhindarkan atas desakan Presiden Joko Widodo dan viralnya sejumlah kasus. Situasi ini berbeda dengan saat awal pandemi Covid-19.
Semoga ini jadi bahan pembenahan, ya, untuk kepolisian agar tidak hanya reaktif, tetapi sebenarnya juga melakukan langkah-langkah preventif pencegahan, pengawasan seperti itu.
”Semoga ini jadi bahan pembenahan, ya, untuk kepolisian agar tidak hanya reaktif, tetapi sebenarnya juga melakukan langkah-langkah preventif pencegahan, pengawasan seperti itu,” ujar Wahyu.
Besaran kasus yang diklaim berhasil ditangani Polri dalam sebulan ini dengan lebih dari 600 kasus diharapkan ditindaklanjuti hingga ke ranah hukum. Para pelaku dibawa ke meja hijau, dihukum ketika terbukti bersalah, dan tak melupakan kepentingan korban.
”Saya kira penting adalah memetakan aktor dan sindikat (TPPO). Ini yang, menurut saya, kayaknya belum pernah dilakukan,” kata Wahyu.
Perlu perbaikan menyeluruh
Berdasarkan data SBMI, setidaknya ada tiga sektor paling rentan dalam TPPO. Pertama, sektor perikanan yang terpusat di Jawa Tengah. Kedua, sektor perkebunan yang banyak memakan korban dari Nusa Tenggara, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Ada pula daerah transit di Sulawesi dan Sumatera. Ketiga, sektor penipuan daring (online scam) yang beberapa bulan terakhir berasal dari Sumatera Barat. Kemudian, ada pula modus pengantin pesanan yang sebagian besar dari Kalimantan Barat. Tak hanya itu, sektor rumah tangga ditemukan di Aceh hingga Nusa Tenggara Timur.
Hariyanto mengingatkan kepolisian ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki dalam penanganan TPPO. Ia mengatakan, perspektif TPPO tak dapat dipersempit. Misalnya, hanya menyasar usaha yang berizin dan tak berizin. Bagi yang tak berizin, ditangkap karena TPPO.
Pembahasan soal TPPO harus berhati-hati sebab perlu memenuhi tiga unsur, yakni proses, cara, dan tujuan eksploitasi. Kejahatan itu dapat terjadi ketika semua unsur terpenuhi.
Ini pelan-pelan, kami ingin menyampaikan bahwa penegakan TPPO membangun sebuah sistem, tidak hanya penindakan, tapi juga pencegahan, penindakan, pemulihan. Ini yang kita dorong terus dalam perbaikan sistem ke depan.
”Ini pelan-pelan, kami ingin menyampaikan bahwa penegakan TPPO membangun sebuah sistem, tidak hanya penindakan, tapi juga pencegahan, penindakan, pemulihan. Ini yang kita dorong terus dalam perbaikan sistem ke depan,” ujar Hariyanto.
Selain itu, pemerintah selama ini hanya menyebut jumlah lima bandar besar di balik perdagangan orang ini. Namun, tak ada data detail siapa saja para aktor tersebut. Ia berharap agar data ini segera dibuka. Kepolisian dapat menjangkau interpol di Asia untuk menangkap para pelaku berkewarganegaraan asing yang memperbudak warga Indonesia.
”Kalau enggak (dituntaskan), akan dipandang sebelah mata. (Persoalan) diselesaikan di hulu, tetapi hilirnya masih ke tempat-tempat lain,” katanya.
Terbengkalai di akhir
Dihubungi secara terpisah, Wahyu menambahkan, upaya menelisik lebih jauh mata rantai TPPO skala nasional dan keterlibatan aparat perlu dilakukan. Jangan sampai semangat menindak TPPO ini hanya berjalan pada awalnya saja dan terbengkalai di akhir.
Menurut data Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, korban TPPO sebanyak 1.861 orang pada 5-28 Juni 2023. Dalam periode yang sama, pihaknya menangkap 668 orang dari 578 laporan polisi di seluruh Indonesia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, modus TPPO yang paling banyak terjadi adalah korban dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga hingga 412 modus. Hal itu diikuti 167 modus pekerja seks komersial, 41 modus eksploitasi anak, serta 9 modus anak buah kapal, seperti dikutip dari siaran pers Kamis (29/6/2023).