Jika Mau, Ruang Negosiasi Pembebasan Pilot Susi Air Masih Terbuka
Jumat (30/6/2023) ini menjadi batas akhir yang ditentukan oleh KKB untuk pembebasan pilot Susi Air. Jika referendum yang jadi syarat tak juga dipenuhi, mereka mengancam eksekusi pilot tersebut pada Sabtu (1/7/2023).
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski batas waktu negosiasi pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, disebut berakhir pada Jumat (30/6/2023) ini, beberapa kalangan meyakini masih ada ruang untuk bernegosiasi. Agar bisa terwujud, dibutuhkan komitmen dan orang yang tepat untuk bernegosiasi.
Melalui sebuah video, seperti diberitakan sebelumnya, kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dipimpin Egianus Kogoya menyatakan, batas waktu negosiasi pembebasan Philip adalah Jumat (30/6/2023). Dia mengancam akan menghilangkan nyawa Philip pada tanggal 1 Juli.
Menanggapi ancaman tersebut, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri menyatakan, Pemerintah RI menolak tuntutan Egianus yang meminta pelaksanaan referendum di Papua sebagai syarat pembebasan Philip. Pemerintah pun menawarkan hal lain kepada Egianus, seperti pemberian uang tebusan untuk membebaskan Philip.
Tuntutan Egianus yang meminta pelaksanaan referendum di Papua sebagai syarat pembebasan Philip jelas tidak bisa dipenuhi.
Profesor riset yang juga peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, berpandangan, tuntutan Egianus yang meminta pelaksanaan referendum di Papua sebagai syarat pembebasan Philip jelas tidak bisa dipenuhi. Justru karena itulah, ketidakmungkinan itu menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk melakukan negosiasi dalam rangka penyelesaian yang lebih maju.
”Kalau sepakat bernegosiasi, seharusnya masing-masing pihak menyiapkan atau menunjuk tim negosiator khusus untuk membicarakan pembebasan sandera. Selama ini konflik tidak pernah selesai dengan kekerasan, maka sekarang saatnya diselesaikan dengan dialog,” tutur Cahyo ketika dihubungi pada Jumat (30/6/2023).
Menurut Cahyo, sebenarnya kesempatan untuk berdialog sempat terbuka ketika ditandatangani nota kesepahaman oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pada November 2022. Namun, upaya itu tidak terwujud karena Pemerintah RI tidak menindaklanjuti kesepakatan itu. Hal itu pun dilihat oleh TPNPB-OPM sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.
Meski demikian, Cahyo meyakini kelompok yang dipimpin Egianus Kogoya masih bisa diajak bernegosiasi. Meskipun mereka berasal dari generasi milenial yang tampak lebih militan dan radikal, kelompok tersebut masih merupakan bagian dari TPNPB-OPM yang pernah menyatakan bahwa pada dasarnya mereka mau untuk berunding.
Keyakinan bahwa ruang negosiasi masih terbuka untuk dilakukan juga diutarakan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf. Menurut Al Araf, penyelesaian dengan membuka ruang dialog atau negosiasi dinilai lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan keamanan yang selama ini diambil.
”Kita tahu dalam pengalaman banyak pihak di berbagai negara, negosiasi dalam membebaskan penyanderaan bukan barang haram, sebaliknya dilakukan banyak pihak. Tapi, sayangnya, di kita dalam konteks Papua itu seolah menjadi tabu, kontroversi dan sebaliknya cenderung memilih pendekatan koersif sehingga akibatnya menjadi rumit,” kata Al Araf.
Menurut Al Araf, dalam situasi ini, diperlukan langkah cepat dari Presiden untuk mengambil langkah yang nyata dan cepat untuk membuat perencanaan yang matang dalam rangka bernegosiasi untuk membebaskan Philip. Selain itu, Presiden mesti menunjuk negosiator yang tepat, entah dari kalangan pemerintah atau non-pemerintah, TNI atau Polri.
Al Araf meyakini ada orang-orang yang sebenarnya mengenal baik pihak-pihak di Papua dan bisa menjadi negosiator, tetapi selama ini tidak diberi ruang. Demikian pula langkah tersebut memerlukan ketegasan dan komitmen dari Presiden untuk menyelesaikannya. ”Terkait negosiasi, tentu mereka pada awalnya menuntut referendum. Namun, di tangan negosiator yang tepat, hal itu bisa dikikis atau diberi alternatif lain. Masalahnya di kita ada di kemauan atau tidak,” ujarnya.
Al Araf meyakini ada orang-orang yang sebenarnya mengenal baik pihak-pihak di Papua dan bisa menjadi negosiator, tetapi selama ini tidak diberi ruang.
Masih terbukanya ruang negosiasi juga diungkapkan pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi. Menurut Khairul, pemerintah dapat menawarkan opsi-opsi lain kepada Egianus Kogoya. Proses negosiasi semacam itu bisa jadi menghasilkan opsi lain yang mungkin bisa berujung pada pembebasan Philip atau sebaliknya muncul ancaman lain.
Dengan adanya negosiasi, Khairul meyakini pihak Egianus Kogoya juga tidak akan begitu saja melakukan eksekusi. Sebab, jika eksekusi benar dilakukan, hal itu justru akan merugikan TPNPB-OPM atau KKB tersebut secara keseluruhan. ”Ini, kan, masih kelihatan bahwa mereka bukan sekadar memburu uang. Tidak serta-merta kalau besok deadline, begitu tidak terpenuhi maka langsung mengeksekusi. Saya kira masih jauh,” kata Khairul.
Menurut Khairul, selain bernegosiasi dengan Egianus Kogoya, yang juga penting dilakukan adalah bernegosiasi dengan faksi atau kelompok lain di dalam TPNPB-OPM. Negosiasi tersebut perlu dilakukan agar kelompok lain bisa turut menekan Egianus agar tidak bertindak sendiri dengan melakukan kekerasan.
Terkait dengan situasi tersebut, Kompas mencoba meminta tanggapan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan. Namun, Ahmad tidak merespons.