Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh
Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan pemulihan pelanggaran HAM berat dimulai dan dipusatkan di Aceh. Bersamaan dengan itu dimulai pemulihan di wilayah lain dari 12 kasus pelanggaran HAM lainnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah pada awal pekan depan di Aceh segera memulai pemulihan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. Pelaksanaan kick off atau dimulainya penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat, rencananya akan diresmikan Presiden Joko Widodo di Rumah Geudong dan Pos Sattis, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers di kantor Menko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023) menuturkan, pemulihan pelanggaran HAM berat dipusatkan di Aceh. Bersamaan dengan itu, dimulai juga pemulihan pelanggaran HAM berat non yudisial di wilayah lain dari 12 kasus yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM. "Itu daerahnya memang banyak, ada beberapa tapi kita pusatkan kick off-nya di Aceh," ujar Mahfud.
Berdasarkan hasil rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM), ada 11 rekomendasi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi terkait penyelesaian HAM berat. Dari hasil rekomendasi itu, pemerintah berupaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat untuk masa yang akan datang, dan berjanji untuk memulihkan hak-hak para korban.
Sejauh ini, tercatat ada 12 kasus pelanggaran berat, yaitu Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999. Kasus lainnya Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Wamena, Papua 2003, dan Jambo Keupok, Aceh 2003.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, pemilihan Aceh sebagai lokasi kick off cukup baik. Pasalnya, di Aceh sudah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Komisi itu mandat dari Kesepakatan Helsinki tahun 2005 yang ditandatangani Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. "Di Aceh itu ada sekitar 2.500 korban yang bisa mendapatkan program reparasi mendesak. Persoalannya, apa yang digali oleh Tim KKR Aceh belum semuanya diidentifikasi dalam cakupan kerja-kerja Tim PPHAM, agar tidak menciptakan fragmentasi korban, seharusnya semua korban disasar korban pemulihan atau reparasi ini," ujarnya.
"Itu daerahnya memang banyak, ada beberapa tapi kita pusatkan kick off-nya di Aceh"
Terus verifikasi data
Sekretaris Kemenko Polhukam Letnan Jenderal Teguh Pudjo Rumekso menambahkan, meski kick off dijalankan, tim pemantau rekomendasi Tim PPHAM juga masih harus memerifikasi data korban. Penyelesaian non yudisial memang fokus kepada pemulihan hak-hak korban. Namun, juga untuk mencegah peristiwa serupa tak terjadi lagi. "Pemulihan hak korban ini meliputi dua kategori yaitu secara individual dan komunal," tambahnya. Bantuan yang akan diberikan, lanjut Teguh, seperti Jaminan Kesehatan Prioritas oleh Kementerian Kesehatan. Jaminan kesehatan itu bersifat prioritas dan berbeda dengan kegiatan yang reguler. Misalnya, korban dan keluarga korban akan mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat satu. Mereka bisa mengakses ke seluruh rumah sakit pemerintah. Biaya pelayanan dalam satu tahun sekitar Rp 28 juta.
"Pemulihan hak korban ini meliputi dua kategori yaitu secara individual dan komunal"
"Ada juga Jaminan Kesejahteraan Prioritas. Ini akan diberikan oleh Kementerian Sosial. Jadi, dalam satu bulan itu akan mendapatkan sekitar Rp 1,1 juta," kata Teguh. Untuk jaminan pendidikan, yang akan diberikan oleh pemerintah juga Jaminan Pendidikan Prioritas. Siswa Sekolah Dasar (SD) biaya pendidikan yang diterima Rp 250.000 per bulan, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rp 500.000 per bulan, Sekolah Menengah Atas (SMA) Rp 750.000 per bulan, dan perguruan tinggi Rp 6 juta per bulan. Jika ditambah dengan biaya hidup, biaya buku, dalam satu tahun bisa mencapai Rp 9,5 juta sampai Rp 30 juta.
Meluruskan sejarah
Lebih jauh, menurut Mahfud, pengungkapan kebenaran adalah salah satu prasyarat rekonsiliasi atau keadaan saling memaafkan antara korban dan pelaku pelanggaran HAM berat. Karena itu, selain memberikan program kedermawanan, pemerintah mengharapkan dapat meluruskan sejarah.
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah, tetapi tidak mungkin itu menjadi satu-satunya kebenaran karena setiap penulis sejarah itu memiliki orientasinya sendiri dan harus dihargai"
Soal pengungkapan sejarah, tambah Mahfud, sudah dibicarakan tetapi penulisan sejarah dibuat versi berbeda-beda. Untuk itu, pemerintah mendorong berbagai pihak yang mau menulis sejarah secara akademik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan sediakan dananya.
Mahfud mencontohkan, sejarah kasus pelanggaran HAM berat seperti Peristiwa 1965 sudah ditulis berkali-kali. Namun, hasilnya selalu berbeda sesuai dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut oleh penulisnya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk lebih memerhatikan korban pelanggaran HAM berat.
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah, tetapi tidak mungkin itu menjadi satu-satunya kebenaran karena setiap penulis sejarah itu memiliki orientasinya sendiri dan harus dihargai," katanya.
Mahfud menambahkan, pemerintah juga menyediakan dana bagi siapa saja yang mau menuliskan sejarah. Namun, hal itu tidak menjadi kebijakan utama pemerintah. Pemerintah hanya akan memberikan insentif kepada penulis sejarah yang mengkaji secara akademis. (DEA)