Dugaan kebocoran hasil penyelidikan KPK dan pungli di rutan KPK patut jadi perhatian mengingat sejumlah kasus serupa terjadi sebelumnya. Indikasikan integritas KPK keropos.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan bocornya hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi dan dugaan pungutan liar di rumah tahanan KPK, mengindikasikan mengeroposnya integritas di kalangan insan lembaga antirasuah tersebut. Sebab, sejumlah hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya di KPK.
Hingga kini, dugaan bocornya hasil penyelidikan KPK untuk dugaan korupsi tunjangan kinerja tahun 2020-2022 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral disidik oleh Polda Metro Jaya. Kasus ini sempat diproses oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, dengan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai terperiksa, tetapi kemudian dihentikan dengan alasan kurangnya bukti.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, di Jakarta, Rabu (21/6/2023), menyatakan, KPK mendukung penuh proses hukum yang berjalan di Polda Metro Jaya. Pimpinan KPK akan kooperatif dan jika dibutuhkan akan memenuhi panggilan pemeriksaan. Meski demikian, lanjutnya, hingga kini belum ada koordinasi antara kepolisian dan KPK membahas dugaan pidana kebocoran informasi penyelidikan terhadap dugaan korupsi di Kementerian ESDM.
”Kami tidak mau berandai-andai. Jika memang ada proses hukum, tentu sebagai bagian warga negara harus taat hukum, mengikuti prosesnya di kepolisian,” ujarnya.
Terkait dengan dugaan pungli di rutan, KPK merotasi sejumlah petugas yang diduga terlibat dalam kasus itu. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, para pegawai yang terindikasi terkait dengan pungli itu dirotasi ke bagian yang tidak mengganggu sistem kerja KPK. Dengan demikian, mereka bisa lebih mudah dipanggil guna kepentingan pemeriksaan dan penyelidikan oleh KPK.
Ali tak menjelaskan secara rinci jabatan sejumlah pegawai yang terkena rotasi. Namun, ia memastikan bahwa rotasi itu untuk memutus praktik pungli di rutan yang dikelola KPK. "Dalam dugaan pungli itu setidaknya terdapat tiga persoalan, yakni dugaan tindak pidana, pelanggaran etik, dan disiplin. Untuk dugaan pidana saat ini sedang diselidiki Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK,” kata Ali.
Dugaan pungli itu diungkap Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang memperoleh laporan dugaan pelanggaran etik, salah satunya informasi pungli di rutan KPK yang nilainya mencapai Rp 4 miliar. Diduga pungli itu terjadi di Rutan Gedung Merah Putih KPK. Dewas KPK merekomendasikan agar kasus itu diselidiki karena mengandung unsur pidana.
Terjadi berulang
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Roh,man mengingatkan bahwa pungli di KPK bukan kali ini saja terjadi. Pertengahan Juli 2019, contohnya, KPK mendapati pengawal tahanan KPK menerima uang Rp 300.000 dari ajudan Idrus Marham. Saat itu Idrus menjadi tersangka suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Ombudsman pun menemukan dugaan malaadministrasi saat Idrus keluar dari Rutan KPK untuk berobat di Metropolitan Medical Center, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Atas kejadian itu, pengawal tahanan KPK, Marwan, diberhentikan tidak hormat (Kompas.id, 16/7/2019).
Di tingkat pimpinan KPK, ada mantan pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar yang diduga menerima gratifikasi tetapi kasus itu tak sampai tuntas ditangani Dewas KPK karena Lili mengundurkan diri dari KPK. Ada pula bekas penyidik KPK, Ajun Komisaris Stepanus Robin Pattuju, yang menerima suap hingga Rp 11 miliar dari sejumlah pihak yang beperkara di KPK. Atas perbuatannya, Stepanus divonis hukuman 11 tahun penjara.
Dari sejumlah kasus yang telah terjadi hingga saat ini, menurut Zaenur, menunjukkan KPK mempunyai masalah pada sistem pengawasan dan pembinaan di ruang lingkup KPK sehingga gagal mencegah terjadinya pungli. ”Apa yang terjadi di lembaga antirasuah itu menunjukkan adanya pengeroposan nilai integritas di internal KPK. Nyatanya, mulai dari level pegawai hingga pimpinan KPK ada saja yang melakukan pelanggaran etik dan pidana,” ujarnya.
Untuk kasus pungli yang terakhir, Zaenur mengatakan, KPK harus mengusutnya secara transparan, tidak hanya pelaku di level pegawai, tetapi juga diproses atasannya.
Tak ada harapan
Sementara itu, Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha menyayangkan sikap Dewas KPK yang lebih menyoroti pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum pada level staf/pegawai, seperti halnya dugaan pungli oleh petugas rutan KPK. Sebaliknya dugaan pelanggaran etik pembocoran hasil penyelidikan, dengan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai terlapor, tak ditangani dengan tuntas dengan alasan kurang bukti.
Dengan kondisi demikian, Praswad menyatakan, tak ada harapan yang dapat disematkan kepada KPK. Hal tersebut baik terhadap KPK maupun Dewas KPK.