Pertemuan antara para elite partai politik, bakal capres, dan sejumlah tokoh potensial cawapres semakin intens terjadi, terutama di akhir pekan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Partai-partai politik terus menjajaki sejumlah tokoh potensial yang akan diajukan sebagai bakal calon wakil presiden atau cawapres pada Pemilu 2024. Sepanjang akhir pekan lalu, sejumlah elite partai politik dan bakal calon presiden dari koalisi berbeda bertemu dengan figur potensial cawapres, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, di waktu dan tempat yang berbeda.
Lobi politik untuk menentukan posisi bakal cawapres itu menunjukkan partai-partai politik belum memiliki mekanisme seleksi kepemimpinan nasional yang memadai.
Perjumpaan salah satunya terjadi antara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPP PDI-P Prananda Prabowo. Mereka sama-sama menghadiri pembukaan Pesta Kesenian Bali 2023 di Bali, Minggu (18/6/2023).
Sandiaga telah ditetapkan sebagai bakal cawapres dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Rapat Pimpinan Nasional VI PPP, Sabtu (17/6/2023). Politisi yang belum genap satu pekan bergabung dengan PPP itu akan diusulkan menjadi calon pendamping Ganjar Pranowo, bakal capres dari PDI-P yang juga didukung PPP dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VI PDI-P, awal Juni, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menyebut bahwa Sandiaga merupakan salah satu tokoh yang dipertimbangkan untuk menjadi pendamping Ganjar. Selain itu, ada pula nama Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri BUMN Erick Thohir, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Sehari setelahnya, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menambahkan, Basuki Hadimuljono juga masuk dalam radar cawapres untuk Ganjar.
Pada hari yang sama, di Lombok, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) sekaligus Ketua Harian Perindo Muhammad Zainul Majdi juga bertemu dengan Ganjar yang tengah bersafari politik ke NTB. Politisi yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu bahkan menyopiri Ganjar saat berziarah ke makam pahlawan nasional asal NTB, Syekh Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Menurut Hasto, TGB telah diusulkan Perindo sebagai pendamping Ganjar.
Sementara di Jakarta, Puan juga bertemu dengan Agus Harimurti Yudhoyono di kawasan Gelora Bung Karno. Meski mengaku lebih banyak membahas soal kebangsaan ketimbang Pilpres 2024, Puan membenarkan bahwa Agus juga merupakan salah satu sosok yang dikaji PDI-P untuk menjadi pendamping Ganjar.
”Kami akan cermati perkembangannya, bagaimana ke depannya, siapa yang cocok dengan PDI Perjuangan, cocok dengan Mas Ganjar Pranowo, tentu saja harus ada kesamaan visi dan misi. Untuk menyamakan hal tersebut, kita perlu bicara, ngobrol, melihat dinamika politik nasional,” kata Puan.
Bertemu Yenny Wahid
Pembicaraan mengenai bakal cawapres juga terus berjalan di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang sudah mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal capres. Tiga partai dalam KPP, yakni Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), masih menjajaki berbagai kemungkinan sebelum Anies menetapkan nama pendampingnya.
Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali bersama Ketua DPP Nasdem Effendi Choirie, misalnya, menemui Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid di kediamannya di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (17/6/2023) siang. Ketiganya berbincang mengenai kebangsaan dan dinamika politik terkini selama empat jam sambil menyantap aneka makanan.
Bergulirnya pertemuan para tokoh potensial bakal cawapres dengan elite parpol dan koalisinya memperlihatkan bahwa partai tidak memiliki mekanisme seleksi kepemimpinan nasional. Parpol kesulitan untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung, terlebih lagi untuk posisi cawapres.
Meski tidak secara langsung menawarkan Yenny untuk menjadi pendamping Anies, Ali mengakui, putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu memiliki bekal yang mumpuni untuk menjadi pemimpin di masa depan. Sebab, Yenny berpengalaman mendampingi dan belajar langsung dari Gus Dur dan mengimplementasikan pemikiran ayahnya mengenai pluralisme dalam aktivismenya saat ini.
Tak hanya itu, sebagai nahdliyin dan keturunan pendiri NU, Yenny memiliki modal sosial yang kuat. Merujuk hasil survei sejumlah lembaga, keterpilihan Anies di kalangan nahdliyin Jawa Timur dan Jawa Tengah masih perlu ditingkatkan. ”Yenny layak untuk mendampingi siapa pun. Kalau memang dia menjadi pilihan Anies, kami (Nasdem) tentunya dengan senang hati akan merespons itu,” ujar Ali.
Partai Gerindra yang telah memutuskan untuk mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto, untuk menjadi bakal capres juga menerima sejumlah usulan pendamping. Misalnya, Airlangga Hartarto dan Erick Thohir yang diajukan PAN, selain Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sudah berkoalisi dengan Gerindra.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, usulan dari beberapa parpol itu merupakan bagian dari dinamika penjajakan koalisi. Namun, untuk bergabung dalam koalisi, ada beberapa syarat yang dinegosiasikan.
Sementara secara terpisah, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, bergulirnya pertemuan para tokoh potensial bakal cawapres dengan elite parpol dan koalisinya memperlihatkan bahwa partai tidak memiliki mekanisme seleksi kepemimpinan nasional. Parpol kesulitan untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung, terlebih lagi untuk posisi cawapres.
Oleh karena itu, penentuan cawapres lebih dipengaruhi oleh proses lobi ke elite, juga kontribusi tokoh dalam kampanye dan logistik. ”Para tokoh potensial cawapres (pun) saya lihat ada kecenderungan untuk mencoba kemungkinan dan lobi-lobi dengan elite partai dari ketiga poros koalisi,” kata Arya.
Menurut dia, proses penentuan bakal cawapres saat ini krusial karena jarak suara antarbakal capres yang ada tak terpaut signifikan, sehingga tak ada yang dominan secara elektoral. Lobi-lobi yang terjadi masih akan terus berlangsung hingga mereka mencapai kesepakatan. Adapun faktor yang mempengaruhi kesepakatan penentuan bakal cawapres di antaranya keberimbangan kekuatan parpol di koalisi. Sementara bakal cawapres non-partai biasanya akan dilihat dari kontribusi elektoral dan finansialnya kepada bakal capres.