Dinamika Pencapresan yang Masih Sepi dari Adu Gagasan
Para bakal calon presiden diharapkan lebih menampilkan ide dan program dalam melanjutkan atau membawa perubahan setelah 2024. Hal ini akan memungkinkan masyarakat menentukan pilihan.
Meski telah menunjukkan sikap, para bakal calon presiden masih minim memaparkan ide dan program dalam melanjutkan atau membawa perubahan setelah 2024. Padahal, masyarakat menantikan hal ini untuk menetapkan pilihan.
Saat ini, para bakal calon presiden (capres) yang menguat, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, sudah mulai menunjukkan sikap. Anies yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan menawarkan perubahan. Ganjar dan Prabowo akan melanjutkan pembangunan Presiden Joko Widodo.
Saat berpidato di hadapan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gelanggang Olahraga (GOR) Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (11/6/2023), Anies menyebut, pemilu bukan sekadar meneruskan atau tidak meneruskan (kepemimpinan) yang kemarin. Pemilu menjadi saat untuk berhenti, mengevaluasi apa yang sudah dilakukan, dan menentukan arah berikutnya.
Sementara itu, Ganjar Pranowo, bakal capres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, Jumat (9/6/2023), memastikan akan melanjutkan dan mempercepat pembangunan yang dilakukan Presiden Jokowi. Menurut dia, pembangunan yang telah dirintis Presiden Jokowi tak boleh berhenti, harus dilanjutkan, bahkan dipercepat. Bukan hanya terkait konektivitas dan infrastruktur, pembangunan Ibu Kota Nusantara dan hilirisasi industri juga demikian.
Adapun Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hasyim Joyohadikusumo, saat deklarasi Laskar Prabowo 08 di Gedung Juang 45, Jakarta, Kamis (15/6/2023), memastikan Prabowo akan melanjutkan program-program Presiden Jokowi. ”Tentu Pak Prabowo akan melanjutkan program Pak Jokowi. Sebab, program Pak Jokowi adalah program Pak Prabowo juga,” kata Hasyim.
Kendati sudah menetapkan sikap, semua bakal capres belum memaparkan bagaimana akan melanjutkan atau membuat perubahan tersebut. Tak ada elaborasi gagasan, apalagi program dan langkah yang akan diambil untuk merealisasikan sikap tersebut.
Padahal, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menyampaikan kode-kode mengenai harapannya atas keberlanjutan pembangunan yang sudah dilakukan. Terakhir, Presiden Jokowi mengumpamakan kepemimpinan Indonesia seperti anak bersekolah yang semestinya terus berlanjut dan naik kelas dari TK, SD, SMP, SMA, tingkat sarjana, S-2, dan S-3.
Baca juga: Hasil Rapimnas, PPP Akan Lobi PDI-P agar Sandiaga Jadi Pendamping Ganjar
Presiden juga mengibaratkan kepemimpinan Indonesia seperti tongkat estafet. ”Bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin, ’Pak, dimulai dari nol ya’, sama ditunjukkan. Apa kita mau seperti itu,” ujarnya dalam peluncuran Indonesia Emas 2045, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Beberapa program pembangunan yang diharapkan berlanjut, antara lain, hilirisasi industri dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Oleh karena itu, keberlanjutan dan kepemimpinan yang kuat, cerdas, dan berani dinilai penting untuk terus maju. Apalagi, Indonesia akan memiliki bonus demografi di tahun 2030. Hal tersebut juga diperlukan untuk mendapatkan hasil optimal dan mampu mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 seperti perkiraan sebelumnya.
Program strategis
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, Jumat (16/6/2023), di Jakarta, menilai, waktu menuju Pemilihan Presiden 2024 semakin sedikit dan masyarakat pemilih sangat menunggu para bakal capres untuk menunjukkan dan menjelaskan program-program strategis mereka. Apalagi, tantangan ekonomi di dalam negeri dan global tak akan semakin ringan. ”Seharusnya, di waktu yang semakin singkat ini, para capres sudah secara lebih jelas membicarakan apa yang mereka perjuangkan,” ujarnya.
Waktu menuju Pemilihan Presiden 2024 semakin sedikit dan masyarakat pemilih sangat menunggu para bakal capres untuk menunjukkan dan menjelaskan program-program strategis mereka.
Arya menambahkan, para bakal capres seakan masih menahan diri karena beberapa kondisi, seperti situasi internal koalisi masing-masing. Penentuan bakal calon wakil presiden (capres) saat ini belum clear. Kerja sama antarpartai politik yang mendukung setiap bakal capres pun relatif masih cair. Akhirnya, para bakal capres lebih ikut mengurusi hal ini ketimbang membicarakan isu yang lebih besar ataupun program-program yang diperlukan masyarakat.
Pemaparan ide, gagasan, dan program dinilai penting untuk merebut suara masyarakat. Apalagi, masih banyak masyarakat yang belum menetapkan pilihan. Survei Kepemimpinan Nasional yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang 29 April sampai 10 Mei 2023 menunjukkan sebanyak 43,7 persen responden belum merasa yakin nama yang mereka pilih sudah final.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo ketika dimintai pandangan menuturkan, masyarakat Indonesia mesti mulai dapat melihat adanya sebuah kontestasi politik dalam pemilu atau demokrasi elektoral. Namun, sejatinya, substansi pembangunan atau arah bangsa ke depan harus menjadi konsensus bersama, siapa pun yang menjadi pemimpin nasional.
”Jadi, bagaimana estafet kepemimpinan itu juga merupakan estafet capaian atau kemajuan Indonesia. Jangan sampai dengan pemilu, lalu berganti arah dan kebijakan,” kata Ari di Atambua, Nusa Tenggara Timur, ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Baca juga: Sosok Pendamping Anies Baswedan di Pilpres 2024 Disebut Sudah Dikantongi
Ari menuturkan, terjadinya kondisi keterbelahan—dengan adanya fragmentasi politik—ketika yang dilihat bukan lagi gagasan Indonesia ke depan, melainkan lebih melihat siapa yang melontarkan suatu gagasan. ”Jadi, yang dilihat bukan what-nya, melainkan lebih ke who. Oleh karena lebih melihat ke faktor who itu, maka lalu ada sentimen politik; ini warisan Pak SBY, ini warisan Pak Jokowi, dan bukan melihat ke what-nya, Indonesia maju itu seperti apa,” ujarnya.
Kontestasi politik demokrasi elektoral tidak berjalan linier dengan gagasan atau garis besar Indonesia ke depan. Hal ini karena sistem politik demokrasi elektoral Indonesia memang terfragmentasi. Dari sisi pemimpin nasionalnya, yakni presiden, dipilih langsung oleh rakyat. Demikian pula gubernur, bupati, dan wali kota juga dipilih langsung yang masing-masing memiliki visi misi tersendiri.
”Jadi, tidak ada koherensi soal visi misi Indonesia ke depan. Tidak ada koherensi soal gagasan dari level pemimpin nasional, jadi berganti presiden berganti visi misi. Belum lagi gubernurnya. Jadi, divergen (ketika bicara) soal gagasan Indonesia maju ke depan,” tutur Ari.
Kontinuitas atau keberlanjutan dan stabilitas pembangunan, politik, dan ekonomi membutuhkan adanya tahapan-tahapan jelas yang mesti ditapaki.
Visi negara
Kontinuitas atau keberlanjutan dan stabilitas pembangunan, politik, dan ekonomi membutuhkan adanya tahapan-tahapan jelas yang mesti ditapaki. Di tengah fragmentasi politik dengan demokrasi elektoral, menjadi tantangan bagi Indonesia agar tetap satu visi dalam mencapai tujuan negara.
”Amerika Serikat serta beberapa negara maju, seperti Jepang dan Korea, sudah punya visi negara ke depan yang disepakati bersama. Siapa pun presidennya, tidak akan keluar dari situ. Kita, kan, tidak ada (visi negara) seperti itu,” ujar Ari.
Di Indonesia memang ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). ”Tapi itu, kan, juga tidak ditangkap sebagaimana dulu konsep seperti Repelita (rencana pembangunan lima tahun) atau GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang posisinya adalah berupa ketetapan MPR, di atas undang-undang. Kita butuh sebenarnya implementasi legalitas regulasi panduan nasional soal garis-garis besar pembangunan negara ini ke depan. Dengan demikian, siapa pun presidennya tidak akan keluar dari situ,” kata Ari.
Ketiadaan visi negara ini, menurut Ari, menjadikan setiap petahana merasa insecure, resah atau risau, apakah kebijakannya akan diteruskan oleh penggantinya. Demikian pula akan menjadi persoalan ketika pemilu hanya berkutat pada kontestasi atau perseteruan politik. ”Sentimen identitas, sentimen personal, atau sentimen figur yang begitu kuat tidak baik karena (menjadikan) kita tidak akan ke mana-mana,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Kembali Tekankan Keberlanjutan dan Kepemimpinan Kuat
Ari menuturkan, saat ini nama yang digadang sebagai capres memang belum menjelaskan secara gamblang gagasannya. ”Pak Ganjar meneruskan Pak Jokowi seperti apa dalam konteks 2045? Dalam konteks membangun Indonesia ke depan dan memanfaatkan bonus demografi seperti apa? Pak Prabowo meneruskannya seperti apa? Lalu, Mas Anies dalam konteks perubahannya bagaimana?” ujarnya.
Ari tidak menampik kemungkinan adanya perbedaan langgam atau hal yang memang harus diubah. ”Tapi base line-nya harus sama. Dan, kemudian arahnya harus sama, bahwa tahun 2030 itu puncak bonus demografi, kemudian di 2045 momentum 100 tahun Indonesia yang kita mesti punya visi misi sama. Siapa pun presidennya harus menghindarkan Indonesia dari middle income trap dan membawanya dari negara berkembang menjadi negara maju. Kesempatan atau momentum ini tidak datang dua kali,” katanya.
Terkait hal itu, Ari mendorong capres-capres menyampaikan gagasan karena hal itu sebenarnya ditunggu publik. Tapi, sekarang fasenya lebih pada sedang menata posisi siapa cawapres yang akan mendampingi dan belum mengarah ke gagasan substantif. ”Mungkin menunggu nanti pasangan capres cawapres ada, berpasangan, dan lalu, bagaimana konsolidasi di antara koalisi yang terbentuk,” katanya.
Survei Kepemimpinan Nasional yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang 29 April sampai 10 Mei 2023 menunjukkan sebanyak 43,7 persen responden belum merasa yakin nama yang mereka pilih sudah final. Artinya, masih banyak masyarakat yang belum menetapkan pilihan. Di titik ini, pemaparan ide, gagasan, dan program dari para kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2024 dinilai penting untuk merebut suara rakyat.