Presiden Soroti Pemborosan Anggaran untuk Perjalanan Dinas dan Rapat
Presiden Jokowi menengarai cara penganggaran pemerintah saat ini masih tak konkret dan lebih banyak untuk perjalanan dinas, rapat, dan honor. Pengamat menilai semestinya ada audit kinerja, alih-alih audit keuangan.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo meminta supaya penganggaran berorientasi hasil. Pengawasan internal pemerintah juga perlu mengawal penggunaan anggaran daerah maupun anggaran nasional dengan orientasi hasil, bukan sekadar prosedur.
Presiden Joko Widodo menyentil model penganggaran di daerah dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Internal 2023 di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jakarta, Rabu (14/6/2023). Hadir dalam acara ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ketua KPK Firli Bahuri, Jaksa Agung St Burhanuddin, dan Penjabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono.
"Cara penganggarannya saja banyak yang enggak benar, contohnya ada anggaran (penanganan) stunting Rp 10 miliar, saya cek betul untuk apa Rp 10 miliar itu. Saya minggu lalu cek di APBD (yang dipegang) Mendagri, coba saya mau lihat. Perjalanan dinas Rp 3 miliar, rapat-rapat Rp 3 miliar, penguatan pengembangan bla bla bla Rp 2 miliar. Yang benar-benar untuk beli telur enggak ada Rp 2 miliar, kapan stunting-nya akan selesai kalau caranya seperti ini. Kalau (anggaran) Rp 10 miliar, mestinya 8 M untuk telur, ikan, daging, sayur, berikan ke yang stunting; lain-lainnya baru Rp 2 miliar," tutur Presiden Jokowi.
Tanpa menyebutkan nama daerahnya, Presiden kembali memaparkan program pengembangan UMKM di suatu daerah dengan total anggaran Rp 2,5 miliar. Namun, Rp 1,9 miliar untuk honor dan perjalanan dinas. "Sisanya yang Rp 0,6 miliar itu nanti juga masih mutar-mutar saja, pemberdayaan pengembangan yang istilah-istilahnya absurd tidak konkret. Seharusnya langsung saja, beli mesin produksi, untuk marketing, untuk pameran, jelas," tuturnya.
Program pembangunan balai penyuluh pertanian di suatu daerah juga dialokasikan anggaran Rp 1 miliar. Setelah dicek, ternyata Rp 734 juta untuk honor, rapat, dan perjalanan dinas atau 80 persen. "Ini nggak bisa lagi dan ini tugas berat BPKP. Begitu bisa membalikkan 80 persen (anggaran) untuk (kegiatan) konkret dan 20 persen untuk perjalanan dinas dan rapat, (barulah) anggaran APBN/APBD produktif," tambah Presiden.
BPKP pun diminta berorientasi pada hasil ketimbang prosedur. Presiden berharap BPKP bisa mengarahkan instansi pusat baik kementerian, lembaga, maupun BUMN serta pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran pada hal-hal konkret. Dengan demikian, anggaran negara bisa produktif dan membawa hasil untuk masyarakat.
Sebelumnya, Kepala BPKP Yusuf Ateh dalam laporannya menyebutkan bahwa ada banyak ruang perbaikan yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dalam pengawasan, didapati beberapa pelaksanaan program belum optimal penyelesaiannya. Pada sektor Infrastruktur misalnya, 58 proyek strategis nasional belum dimulai pembangunannya. Ini akan berakibat penyelesaian proyek terlambat dan manfaat pembangunan proyek tidak optimal.
Pembangunan manusia dan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga belum merata. “Contoh, penyelesaian stunting tidak sesuai target RPJMN 2020-2024 di 378 daerah, kualitas ruang kelas sekolah masih harus ditingkatkan di 241 daerah provinsi, kabupaten, kota,” tutur Ateh.
"Cara penganggarannya saja banyak yang enggak benar, contohnya ada anggaran (penanganan) stunting Rp 10 miliar, saya cek betul untuk apa Rp 10 miliar itu. Saya minggu lalu cek di APBD (yang dipegang) Mendagri, coba saya mau lihat. Perjalanan dinas Rp 3 miliar, rapat-rapat Rp 3 miliar, penguatan pengembangan bla bla bla Rp 2 miliar"
Belum optimal
Dari aspek efektivitas dan harmonisasi pembangunan di daerah, perencanaan dan penganggaran daerah belum optimal. Berdasarkan pengawasan BPKP, 43 persen program berpotensi tidak optimal untuk mengungkit sasaran pembangunan pada daerah yang diuji petik. Selain itu, ditemukan potensi pemborosan alokasi belanja daerah 21 persen dari nilai anggaran yang diuji petik.
Presiden Jokowi pun menyebut peran BPKP sangat penting dalam pengawasan pembangunan. “Saya minta pengawasan itu orientasinya bukan prosedurnya, tapi orientasinya pada hasilnya, mau apa,” ujar Presiden.
Presiden mengakui pula, pemerintah di Indonesia lemah di pelaksanaan rencana dan anggaran. “Kita memang lemah di sisi itu. Jika tidak diawasi, jika tidak dicek langsung, jika tidak dipelototi langsung... Itu saja masih ada yang bablas, apalagi tidak,” tambahnya.
Secara terpisah, Pengajar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Gabriel Lele menjelaskan, perencanaan anggaran yang tidak tepat tak hanya terjadi di pemerintah daerah, tetapi juga di pemerintah pusat. “Di pusat juga sama ugal-ugalan dan mengerikan. Ini problem yang sudah lama sekali. Orang mengejar (tambahan pendapatan dari) perjalanan dinas, uang rapat, dan sebagainya,” tuturnya dari Yogyakarta.
Untuk mengatasinya, sesungguhnya model pemberian gaji di DKI Jakarta bisa ditiru. Gaji pegawai negeri sipil di DKI ditingkatkan, tetapi tidak ada lagi honor ini dan itu.
Kualitas perencanaan daerah juga perlu dibenahi dan ini menjadi tugas baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pemeriksan Keuangan, maupun BPKP.
“Di pusat juga sama ugal-ugalan dan mengerikan. Ini problem yang sudah lama sekali. Orang mengejar (tambahan pendapatan dari) perjalanan dinas, uang rapat, dan sebagainya”
Selama ini, menurut Gabriel, Kemendagri ingin memfasilitasi daerah tetapi instrumen yang diberikan terlalu mendikte, bukan menguatkan kapasitas pemda. Akibatnya, pemda malah bermain-main dengan instrumen yang ada. Hal terpenting untuk mereka adalah uang keluar dan pertanggungjawaban administratif ada. Dengan demikian, secara hukum mereka patuh. Namun, hasil tidak ada.
Fungsi asistensi
Di sisi lain, BPK dan BPKP yang memiliki fungsi pemeriksaan dan fungsi asistensi dinilai belum optimal menjalankan fungsinya. Fungsi asistensi menjadi tampak kurang berjalan dan membuat ada dugaan bahwa pemeriksaan bisa menjadi transaksi.
Gabriel juga menilai salah satu penyebab masalah ini menahun adalah audit anggaran negara yang selama ini hanya berkisar pada kepatuhan prosedural dan audit keuangan. Tidak pernah ada audit kinerja. Akibatnya, anggaran yang naik terus, pertanggungjawaban berstatus wajar tanpa perkecualian (WTP), tetapi stunting tak teratasi dan angka kemiskinan tetap tinggi.
Karenanya, Gabriel menyarankan supaya Presiden Jokowi memulai dari pemerintah pusat dan menerapkan audit kinerja dengan lembaga audit independen seperti akuntan publik. Bila BPKP dan BPK bisa berbenah dan menunjukkan integritas, lembaga ini juga bisa melakukan audit kinerja. Ketika ditemukan belanja yang tidak sesuai kinerja, semestinya dianggap kerugian negara. Karenanya, alokasi tersebut harus dikembalikan ke kas negara atau dimasukkan kategori korupsi.
“Bisa juga dimasukkan sebagai korupsi, substansinya kan bertentangan atau menyeleweng dari kepentingan publik, korupsi meskipun secara prosedur legal,” tuturnya.