Kemenhan RI Beli 12 Pesawat Tempur Bekas, DPR Pun Bertanya
Pasca-penandatanganan pembelian Mirage 2000-5 bekas dari Qatar, muncul sejumlah pertanyaan. Selain biaya pemeliharaan yang tinggi, transfer teknologi juga seperti apa.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertahanan atau Kemenhan RI telah menandatangani kontrak pembelian 12 pesawat tempur Mirage 2000-5 dari Qatar. Informasi penandatanganan kontrak pembelian pesawat tersebut disampaikan Kepala Biro Humas Kemenhan Edwin Adrian Sumantha saat dikonfirmasi, Selasa (13/6/2023).
”Info dari Kabid (Kepala Bidang) Matra Udara Baranahan, kontrak sudah ditandatangani,” ujar Edwin.
Menurut informasi dari pejabat Kemenhan lainnya, anggaran untuk pembelian pesawat asal Perancis ini besarnya 734,5 juta dollar AS yang berasal dari pinjaman luar negeri sebagaimana telah disetujui Menteri Keuangan. Pesawat tempur bekas yang pertama kali diperoleh Qatar dari Perancis pada tahun 1997 ini tercatat yang tertua berusia 26 tahun.
Pembelian pesawat bekas ini, tambah informasi tersebut, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan operasional TNI AU sementara sampai pesawat tempur Rafale yang dibeli Indonesia datang. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berkali-kali mengatakan, jangan membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) bekas.
Baca juga: Pesawat Tempur Rusia Ditinggalkan, Rafale dan F-15EX Produk Perancis dan AS Dilirik
Sebelumnya, Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo di sela-sela pemberian KSAU Award, 31 Mei lalu, mengatakan, Mirage 2000 adalah pilihan untuk mengisi kekosongan pesawat tempur TNI AU. Menunggu kedatangan pesawat baru membutuhkan waktu sekitar lima tahun. ”Bapak Menteri (Pertahanan) memiliki perencanaan untuk mengisi gap tersebut,” kata Fadjar.
Berbagai situs berita asing sebelumnya juga telah mengabarkan berita ini dengan sumber informasi dari luar Indonesia. Situs berita israeldefense.il pada 12 Juni 2023, misalnya, menyebutkan, 12 pesawat Mirage tersebut telah dalam proses pengiriman ke Indonesia. Akan tetapi, saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama R Agung Sasongkojati mengatakan, pihaknya belum mendapat kepastian. ”Keputusan ada di Kementerian Pertahanan,” kata Agung.
Info dari Kabid (Kepala Bidang) Matra Udara Baranahan, kontrak sudah ditandatangani.
Pesawat bekas yang tua
Anggota Komisi I dari PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, mempertanyakan pembelian pesawat tempur bekas ini. Ia mengatakan, ia sepakat dengan TNI AU yang ingin menunggu kedatangan Rafale, pesawat tempur buatan Perancis. Alasannya, selain biaya pemeliharaan yang tinggi, sangat dipertanyakan membeli pesawat sementara yang usianya sudah tua. ”Kondisi apa yang mendesak sampai kita harus membeli pesawat bekas yang tua,” kata Tubagus.
Menurut data, pesawat Mirage 2000-5 ini diproduksi oleh Dassault, pabrik yang sama yang memproduksi Rafale. Pesawat ini mulai terbang tahun 1978 dan dipakai mulai tahun 1984 oleh Perancis. Pesawat Mirage 2000 ini pernah hadir di Indonesia dalam Indonesia Air Show tahun 1986. Saat itu, pesawat ini kalah bersaing dengan F16 yang juga tampil dalam pertunjukan yang sama.
Pertanyaan yang disampaikan anggota DPR lainnya, Bobby A Rizaldi dari Partai Golkar, mengatakan, dari sisi anggaran memang telah ada alokasi untuk mengganti pesawat tempur Skyhawk dan F5 yang sudah tua. Alokasi ini sesuai dengan rencana pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum.
Anggota Komisi I ini mengatakan, sesuai aturan, DPR tidak bisa menelaah rencana pembelian alat utama sistem persenjataan hingga rinci, termasuk merek dan asal negara. Informasi tentang jenis dan merek alutsista yang dibeli pun informasinya diperoleh dari media. ”Karena itu, DPR pun tidak ada kompetensinya untuk mengatakan alutsista yang dibeli pemerintah bagus atau tidak,” kata Bobby.
Ia mengatakan, dari sisi geopolitik, pembelian pesawat yang berasal dari Perancis ini sudah tepat. ”Kalau kita lihat negara-negara tetangga kita, seperti Australia dan Singapura, kan, beli pesawat dari AS. Nah, baik kalau kita beli dari Perancis yang memang berseberangan dengan AUKUS,” kata Bobby.
Komisi I DPR, lanjut Bobby, akan melakukan fungsi pengawasan setelah proses pengadaan selesai lewat telaah BPK. Salah satu yang dipertanyakan, apakah kontrak pembelian tersebut memenuhi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Menurut Bobby, dalam undang-undang tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa pembelian alutsista harus disertai dengan transfer teknologi yang pada dasarnya bisa dilakukan ketika yang dibeli alutsista baru. ”Nanti akan kita lihat bagaimana BPK. Apakah pembelian (pesawat) bekas itu bisa mengikuti batasan-batasan UU industri pertahanan,” kata Bobby.
Tubagus mengatakan, DPR tentunya akan mengawasi kontrak yang telah ditandatangani tersebut. Namun, menurut dia, selama ini Kementerian Pertahanan cenderung mengabaikan UU Industri Pertahanan. Hal ini sangat disayangkan karena implementasi dari UU tersebut dilaksanakan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang ketuanya Presiden. ”Harusnya presiden menegur Menhan,” kata Tubagus.
Situs israeldefense.co.il
Dalam catatan Kompas, praktis pesawat tempur TNI AU saat ini tidak maksimal tingkat kesiapan operasinya. Pesawat Sukhoi, salah satunya, menghadapi masalah ketersediaan suku cadang dan pemeliharaan karena ada perang Ukraina dan Rusia. Adapun pesawat F-16 TNI AU telah berusia di atas 30 tahun walaupun telah mengalami peremajaan dengan program Falcon Structural Augmentation Roadmap (Falcon STAR) Enhanced Mid-Life Update (EMLU) kerja sama dengan Amerika Serikat.
Baca juga: Mengapa Perancis, Mengapa Rafale
Yang menarik tentunya proses di balik pembelian ini. Situs israeldefense.co.il dalam artikel berjudul ”Who is Behind the Mysterious Sale of Qatari Mirage Planes to Indonesia?”menyebutkan sosok Habib Boukharouba. Pria berkebangsaan Perancis ini disebutkan sebagai sosok yang menjadi perantara antara Indonesia dan Qatar sehingga bisa menyingkirkan Bulgaria dan Ukraina yang konon juga berminat.
Artikel juga menyebutkan, di sisi finansial ada keterlibatan perusahaan Excalibur International dari Cekoslowakia. Dari hasil penelusuran Kompas, Habib diketahui beberapa kali bertemu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sementara Excalibur selama ini diketahui menjalin hubungan bisnis dengan sebuah industri pertahanan swasta nasional.