Mengapa Perancis, Mengapa Rafale
Sebagai bagian dari NATO dan pemegang hak veto di DK PBB, kristalisasi kerja sama pertahanan dengan Perancis akan memengaruhi diplomasi internasional Indonesia yang mengadopsi prinsip ”non-alligned movement”.
Dalam rangka modernisasi alutsista, pemerintah membeli total 42 pesawat jet tempur paling mutakhir, Rafale ”twin engine lightweight fighter jets” dari Perancis.
Pembelian enam unit Rafale twin engine lightweight fighter jets generasi 4,5 buatan pabrikan pesawat tempur Dassault Aviation oleh Indonesia yang sudah dilakukan awal tahun ini merupakan kristalisasi dari diplomasi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang cukup panjang pasca-ditandatanganinya kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement) medio 2021.
Kontrak pembelian pesawat tempur ini secara resmi ditandatangani pada 10 Februari 2022 di Kementerian Pertahanan RI saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bertemu Menteri Angkatan Bersenjata Perancis Florence Parly. Nilai kontrak untuk pembelian enam pesawat berikut sistem pendukungnya adalah 1,1 miliar dollar AS (Rp 116 triliun).
Dalam perencanaan yang lebih panjang, Kemenhan menargetkan membeli 36 unit lagi pesawat tempur yang sama guna memperkuat alutsista TNI AU, mengingat pesawat ini jenis jet tempur multifungsi atau dapat diaplikasikan dalam air-to-air maupun air-to-ground operations. Pembelian 42 pesawat tempur Rafale ini merupakan pembelian terbesar yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia. Peningkatan kekuatan alutsista tempur, tak dimungkiri, menjadi barometer display kekuatan pertahanan suatu negara. Bagi Indonesia, isu ini juga memiliki jangkauan kebijakan yang lebih spesifik, yaitu modernisasi alutsista.
Pembelian 42 pesawat tempur Rafale ini merupakan pembelian terbesar yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia.
”Timing” dan transfer teknologi
Dari aspek efisiensi anggaran, pembelian alutsista tempur ini dilakukan pada saat (timing) yang tepat karena penawaran harga yang cukup rasional dan ini berkat kegigihan diplomasi pertahanan dari Tim Kemenhan yang dipimpin langsung Menhan Prabowo.
Terkait aspek strategi pertahanan, harus dipahami bahwa pengadaan pesawat tempur ini merupakan subsistem dari pertahanan udara; yang adalah subsistem dari sistem pertahanan negara. Dengan demikian, efektivitas penggunaannya akan sangat bergantung pada perspektif dari sistem pertahanan udara.
Dengan kata lain, desain pertahanan udara harus menjadi ekosistem yang mengombinasikan secara tepat gelar kekuatan pertahanan udara, termasuk infrastruktur pangkalan udara, sistem radar, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa pengembangan infrastruktur menjadi konsekuensi utama bagi Indonesia saat memutuskan pembelian untuk pertama kalinya jenis jet tempur buatan Perancis ini.
Baca juga : Setelah Rafale dan F-15ID di Depan Mata, Saatnya Benahi Pertahanan Nasional
Untuk mengantisipasi hal ini, bersama-sama dengan mitra dari Perancis, Kemenhan telah pula merancang sebuah strategi yang mengombinasikan tiga instrumen inti dalam gelar kekuatan ini: perangkat lunak, perangkat keras, dan SDM. Adapun rancangan strategis yang telah dirumuskan oleh Kemenhan dapat dilihat dari turut serta ditandatanganinya sejumlah nota kesepahaman (MoU) antara badan usaha milik negara strategis (Bumnis) sektor pertahanan dengan mitra Perancis.
Salah satu Bumnis itu adalah PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang menandatangani MoU dengan Dassault Aviation dalam program Imbal Beli (offset) dan Transfer Teknologi (ToT). MoU ini sekaligus mengukuhkan keterlibatan secara langsung PTDI dalam proses pemeliharaan, perbaikan, dan pemeriksaan (maintenance, repair, and overhaul/MRO), yang keseluruhan prosesnya akan dipersiapkan dengan membangun infastrukturnya di Indonesia. Proses MRO ini juga berlaku untuk pesawat-pesawat Perancis di Indonesia, termasuk helikopter Caracal.
Penandatanganan MoU ini tentu merupakan kesempatan besar bagi pemberdayaan produsen pesawat domestik seperti PTDI; karena, selain membuka peluang baru bagi masuknya teknologi mutakhir, kerja sama dengan Dassault Aviation juga membuka peluang terserapnya tenaga teknisi Indonesia. Hal ini diharapkan akan bermuara pada kemandirian PTDI kelak dalam memproduksi pesawat jet tempur serupa.
Pembangunan ekosistem pendukung ini wajar karena pembelian pesawat tempur dari satu negara tertentu sebagai produsen akan berdampak pada skema aplikasi dan pengoperasian peralatan pendukung di darat (ground support equipment), laboratorium kalibrasi, serta taktik dan strategi yang khas dari tiap pesawat. Selain membangun instalasi, pengembangan SDM yang bertugas mengendalikan, memelihara, dan mendukung sistem di darat (ground support system) jadi pertimbangan utama lain. Artinya, kerja sama pertahanan dengan Perancis akan pula berpengaruh besar pada skema pendidikan dan pelatihan.
Skema ini tentu saja dimungkinkan karena menjadi bagian dari mekanisme offset yang disepakati dengan Perancis. Target mekanisme offset ini adalah dapat dicetaknya lebih banyak teknisi dan instruktur yang memahami platform pesawat jet tempur sejenis Rafale. Kemenhan sendiri berharap kerja sama strategis sektor pertahanan dengan Perancis akan membuka kesempatan baru bagi Indonesia dalam pengembangan sistem radar dan rudal antiserangan udara.
Hal ini merujuk pada serangkaian MoU lain yang turut ditandatangani, termasuk MoU PT Pindad dan Nexter Munition, yang menyepakati pembuatan amunisi untuk keperluan persenjataan darat dan amunisi kaliber besar. Sebagaimana diketahui, Perancis sendiri produsen rudal antikapal exoset, yang salah satunya bertipe MM40 Block-3 berdaya jangkau hingga 180 km. Rudal ini menjadi bagian dari alutsista yang dimiliki TNI AL. Selain itu, TNI AD juga menggunakan Meriam Caesar 155 yang diproduksi PT Nexter.
Perkembangan positif dari kerja sama RI-Perancis juga dirasakan PT LEN Industri dan PT PAL.
Perkembangan positif dari kerja sama RI-Perancis juga dirasakan PT LEN Industri dan PT PAL. Untuk PT LEN, kerja sama strategis dengan mitranya, Thales Group, berkaitan dengan pengembangan sistem navigasi sensor perkapalan terintegrasi (integrated navigation system for mid-life modernisation [MLM]). Adapun MoU PT PAL dan Naval Group mengedepankan kerja sama dalam rangka rencana Pemerintah RI membeli dua kapal selam kelas Scorpene AM2000, lengkap dengan persenjataan dan suku cadang yang dibutuhkan. Pembelian dua Scorpene ini tengah dalam proses negosiasi.
Pengembangan R&D juga menjadi poin penting dari MoU ini, termasuk langkah untuk mendirikan R&D center yang membuka peluang keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia yang bergerak sebagai pendukung komponen alutsista perkapalan.
Selain kerja sama terkait modernisasi alutsista, masih ada beberapa kesepakatan bidang pertahanan lainnya, meliputi pertukaran perwira dalam program pendidikan kemiliteran.
Teman dalam percaturan global
Hubungan Indonesia dengan Perancis tak banyak mengalami pasang-surut; bahkan bisa dibilang Indonesia telah sejak dulu menggunakan beberapa jenis alutsista buatan Perancis, terutama untuk produksi tank. Sebut saja tank ringan jenis AMX 13, rancangan Atelier de Construction d'Issy les Moulineaux (AMX) yang diproduksi Groupement des Industries de l'ArmÉe de Terre (GIAT Industries). Pada 1968, Indonesia juga membeli Tank AMX 10 untuk memperkuat Korps Marinir TNI AL. TNI AL juga telah mengoperasikan tiga kapal riset buatan Perancis, salah satunya adalah Baruna Jaya 2.
Tak hanya itu, pasukan TNI yang bergabung dalam misi perdamaian di bawah bendera Dewan Keamanan PBB di Lebanon pun menggunakan tank buatan Perancis, Vehicule I’Avant Blinde (VAB) 4x4, produksi Renault Truck Prancis. Sebagai bagian dari NATO dan pemegang hak veto di DK PBB, kristalisasi kerja sama dengan Perancis tentu akan memengaruhi diplomasi internasional Indonesia yang mengadopsi prinsip non-alligned movement. Yang pasti, Perancis akan melihat kita sebagai teman dalam percaturan politik global.
M Herindra,Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia