Setelah Rafale dan F-15ID di Depan Mata, Saatnya Benahi Pertahanan Nasional
Jika datang semua, pesawat tempur yang diincar Indonesia belum mengubah kekuatan strategis negeri ini. Meski begitu, ini peluang membenahi tata kelola persenjataan nasional. Indonesia lebih leluasa dari ancaman embargo.
JAKARTA, KOMPAS — Pembelian 42 unit jet tempur Rafale dari Perancis serta rencana membeli 36 unit jet tempur F-15ID dari Amerika Serikat dan penjajakan pembelian dua kapal selam kelas Scorpene (Perancis) menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam penguatan pertahanan Indonesia. Pemerintah dapat memanfaatkan transaksi itu untuk membenahi tata kelola dan postur pertahanan nasional.
AS dan Perancis mengumumkan rencana penjualan persenjataan itu hampir bersamaan. Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly mengumumkan penjualan Rafale dan Scorpene pada Kamis (10/2/2022) siang di Jakarta. Sementara Departemen Luar Negeri AS menyusul mengumumkan persetujuan penjualan 36 unit F-15ID beberapa jam kemudian.
Baca juga : Indonesia Borong 42 Jet Tempur Rafale dan Jajaki 2 Kapal Selam Scorpene dari Perancis
Nilai kontrak untuk pembelian semua pesawat mencapai 22 miliar dollar AS. Pada kurs Rp 14.000 per dollar AS, nilainya setara Rp 308 triliun.
Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan (DSCA) AS menyatakan, persetujuan usulan penjualan itu akan mendukung tujuan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Tujuan yang dimaksud adalah meningkatkan keamanan mitra regional penting AS yang juga kekuatan untuk menjaga stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di Asia-Pasifik.
”Sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan dan memelihara kemampuan bela diri yang kuat dan efektif,” kata DSCA.
Baca juga : AS Isyaratkan Penjualan 36 Jet Tempur F-15ID ke Indonesia
Pembelian F-15ID masih menunggu persetujuan Kongres AS. Seperti dikutip Bloomberg, Kongres AS punya waktu 30 hari untuk mengkaji penjualan 36 unit F-15ID itu ke Indonesia. Setelah disetujui Kongres, Indonesia bisa bernegosiasi dengan Boeing selaku kontraktor.
Di Jakarta, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, Jumat (11/2/2022), mengatakan, Komisi I DPR berencana memanggil Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk meminta penjelasan pertimbangan pembelian pesawat tempur dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) lainnya.
”Pada kesempatan yang akan datang, pasti kami akan meminta penjelasan secara detail dari Menhan atas rencana pembelian tersebut agar kita mengetahui persis keuntungan melakukan pembelian atas pesawat-pesawat tersebut,” katanya.
Belum terpenuhi
Menurut Koordinator Lab45 Andi Widjajanto, pengadaan semua pesawat itu masih dalam kerangka rencana pengembangan pertahanan nasional yang disusun sejak 2006. Jika semua datang, kekuatan udara Indonesia belum terpenuhi.
”Kalau proyek KFX (pengembangan jet tempur bersama Korea Selatan) jadi, baru lengkap,” ujarnya, Jumat (11/2/2022), di Jakarta.
Baca juga : KF-21 Proyek "Pengubah Permainan"
Hal senada dikemukakan peneliti Lee Kuan Yew School of Public Policy, Evan A Laksmana. Mengacu pada rencana pembangunan pertahanan nasional, kedatangan semua pesawat tempur itu belum mengubah kekuatan Indonesia secara strategis. Sebab, tambahan pesawat itu tetap belum mencukupi kebutuhan minimum pertahanan nasional. ”Pembelian persenjataan hanya salah satu aspek dalam pengembangan pertahanan nasional,” ujarnya.
Apalagi, pembelian itu masih dalam tahap perundingan. Bahkan, untuk F-15ID, masih menunggu persetujuan Kongres AS. Selain itu, karena nilainya pengadaannya jauh di atas anggaran tahunan Kementerian Pertahanan, perlu dipikirkan cara pembayarannya.
Dalam APBN 2022, total anggaran Kementerian Pertahanan Rp 134 triliun. Dana itu termasuk untuk gaji dan operasional kementerian. Sementara nilai kontrak untuk pembelian pesawat saja mencapai Rp 308 triliun.
Namun, Andi dan Evan tetap mengapresiasi keputusan Indonesia membeli Rafale dan F-15ID. Untuk pembelian Rafale, Indonesia akan menjadi pengguna keempat—bukan kedua, seperti ditulis Kompas (11/2/2022)—di Asia setelah Qatar, India, dan Uni Emirat Arab.
Pada Desember 2021, Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo mengungkap rencana pembelian F-15 dan Rafale. Kala itu, Fadjar memperkirakan F-15 pertama akan diterima TNI AU pada 2027. Dari pembelian seluruh Rafale dan F-15 itu, TNI AU berencana membentuk paling tidak tiga skuadron tempur. Sampai beberapa tahun mendatang, Indonesia berencana memiliki 12 skuadron tempur.
Pembenahan
Evan mengatakan, pengadaan Rafale adalah peluang untuk membenahi tata kelola persenjataan nasional. ”Indonesia adalah negara dengan jumlah pemasok persenjataan paling banyak di kawasan, 33 sumber,” ujarnya.
Keragaman pemasok memang membuat Indonesia berpeluang lebih leluasa dari potensi embargo. Di sisi lain, keragaman yang amat tinggi itu membuat Indonesia harus mengeluarkan investasi besar untuk pengadaan dan perawatan serta pelatihan para awak pengguna.
”Pembelian persenjataan tidak selesai dengan kedatangan barangnya. Harus ada investasi lanjutan untuk melatih sumber daya yang akan menggunakan dan merawatnya,” kata Evan.
Diperlukan pula investasi untuk memastikan persenjataan dari beragam pemasok itu bisa digunakan bersamaan saat dibutuhkan. Kecocokan antaralat dalam operasi (interoperability) memang menjadi salah satu isu bagi negara dengan pemasok yang amat beragam seperti Indonesia. ”Memang, saat ini produsen mengembangkan sistem yang relatif bisa cocok satu sama lain,” kata Evan.
Dengan kedatangan Rafale, Indonesia perlu membenahi tata kelola persenjataan nasional. Sebab, dengan keterbatasan Indonesia, perlu pembagian sumber daya agar seluruh persenjataan itu bisa digunakan dan dirawat. Kini, paling tidak Indonesia harus mengalokasikan sumber daya untuk menggunakan dan merawat pesawat buatan Amerika, Eropa Barat, Brasil, hingga Rusia.
”Ini momentum untuk membenahi cetak biru postur pertahanan nasional. Akan ke mana arahnya dengan kondisi sekarang,” lanjut Evan, yang juga mantan peneliti senior CSIS Indonesia.
Baca juga : Rafale Perkuat Kemitraan RI-Perancis
Selain soal pengadaan senjata, pembentukan postur pertahanan juga harus menjawab pertanyaan cara Indonesia mengintegrasikan kekuatan militernya dengan kekuatan lain. “Bagaimana Indonesia akan mengelolanya bersama kekuatan ekonomi, politik, dan aspek-aspek lain untuk meningkatkan kemampuan pertahanan nasional?” ujar Evan.
Sikap realistis
Menurut Andi, pengadaan dua jenis pesawat itu merefleksikan sikap Indonesia yang realistis dengan kondisi global. Meski berusaha meragamkan pemasok untuk menekan potensi kesulitan karena embargo, Indonesia tetap bersandar ke satu blok. “Tidak ada pilihan, harus ke NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara),” katanya.
Upaya Indonesia membeli Sukhoi SU-35 dari Rusia terbentur oleh anggaran. Perundingan selama bertahun-tahun gagal mencapai kesepakatan soal imbal beli komoditas Indonesia untuk pembayaran pesawat itu. ”Komoditas yang dibutuhkan Rusia tidak cocok dengan yang ditawarkan Indonesia, ujar Andi.
Karena itu, untuk saat ini, rencana pembelian SU-35 bisa dianggap tertunda untuk sementara waktu. ”Mungkin ada peluang di kemudian hari, kalau ada terobosan perundingan,” tambah Andi.
Isu alih teknologi
Andi dan Evan juga menyinggung soal alih teknologi yang sulit didapat dari pembelian persenjataan. Alasan pertama, nilai pembelian Indonesia terlalu kecil untuk bisa mendorong produsen setuju mengalihkan sebagian teknologi. Kedua, Indonesia tidak termasuk aliansi militer mana pun. Lazimnya, teknologi persenjataan diberikan ke sesama sekutu dalam aliansi militer.
Kondisi ini, menurut Evan, juga menghadirkan tantangan penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. UU itu mewajibkan alih teknologi hingga imbal beli.
Evan dan Andi mengapresiasi keputusan Indonesia membeli Rafale dan F-15ID. Sebab, berdasarkan informasi awal, pesawat-pesawat itu menggunakan teknologi yang bisa diandalkan sampai beberapa puluh tahun mendatang.
”Memang, tetap harus bersabar sampai barangnya benar-benar ada. Sekarang baru tahap sangat awal dalam proses pengadaan. Masih banyak sekali harus diselesaikan sampai barangnya datang,” kata Evan.
Dalam pernyataan Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan (DSCA) AS, Indonesia telah mengajukan pembelian 36 unit pesawat F-15ID dan sejumlah peralatan terkait. Di antaranya 87 mesin F110-GE-129 atau F100-PW-229 (72 terpasang dan 15 suku cadang), 45 Radar AN/APG-82(v)1 Advanced Electronically Scaned Array (AESA) (36 terpasang, 9 suku cadang), serta 45 AN/ALQ-250 Eagle Passive Active Warning Survivability Systems (EPAWSS) (36 terpasang, 9 suku cadang).
Ada pula 48 komputer digital Advanced Display Core Processor (ADCP) II (36 terpasang, 12 suku cadang), 80 Joint Helmet Mounted Cueing Systems (JHMCS) (72 terpasang, 8 suku cadang), dan 92 perangkat keamanan Sistem Pemosisian Global (GPS)/Sistem Navigasi Inersia (EGI).
Pemerintah RI juga memesan peralatan serta suku cadang pendukungnya. Di antaranya adalah tangki bahan bakar konformal; sekam dan suar; pesawat dan peralatan pendukung dan pengujian personel; serta tiang, adaptor peluncur, antarmuka senjata, dan tangki bahan bakar. Ada juga laboratorium peralatan pengukuran presisi, kalibrasi; dan simulator serta suku cadang dan perbaikan, layanan perbaikan dan pengembalian.
Turut dipesan adalah layanan jasa pelatihan personel dan peralatan pelatihan; jasa pengelolaan fasilitas dan fasilitas, desain dan/atau konstruksi; layanan dukungan teknik, teknis dan logistik Pemerintah AS dan kontraktor. Total nilai pesawat dan peralatan-peralatan itu disebut DSCA mencapai 13,9 miliar dollar AS atau senilai Rp 199,56 triliun
Transparan dan akuntabel
Secara terpisah, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, Jumat (11/2/2022), mengatakan, pembelian puluhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Perancis harus dibarengi dengan pengadaan yang transparan dan akuntabel. Pembelian harus dilakukan langsung kepada produsen atau Pemerintah Perancis, tidak melalui pihak ketiga atau broker. Hal ini penting mengingat dalam pembelian alutsista sebelumnya selalu dihantui dengan isu penggelembungan harga ( mark up) dan korupsi. Baca juga : Hindari Pembelian Alutsista melalui Broker
”Tidak boleh lagi ada broker yang bermain mengambil keuntungan. Pembelian pesawat tempur ini haruslah semata untuk memperkuat kekuatan TNI dan bukan proyek untuk memperkaya diri,” katanya. Oleh karena itu, menurut Araf, dibutuhkan peran lembaga pengawas yang kuat seperti Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemberantasan Korupsi agar pembelian alutsista ini tepat dan bebas dari korupsi. Jangan sampai TNI mendapatkan pesawat tempur berkualitas buruk akibat mark up dan korupsi yang dilakukan oknum tidak bertanggung jawab.